Gerbang Depan

9.9K 1.3K 198
                                    

Gerbang Depan
MAMERAH

***

Tidak sulit menemukan Alice dalam permainan petak umpet yang selalu diajaknya. Anak itu selalu saja bersembunyi di tempat dan ruangan yang sama.

Sebagai sosok Kakak yang baik, aku memang harus bermain dengannya. Percayalah, walaupun kami adalah saudari kandung, tetap saja rasanya aneh karena jarak usia kami bisa dikatakan berselisih cukup jauh. Aku lima belas tahun dan Alice masih lima tahun menjelang enam tahun. Kami terpaut nyaris sepuluh tahun dan kurasa itu cukup untuk mendeskripsikan seberapa konyolnya permainan yang kami lakukan.

"Aku hitung sampai sepuluh, ya," ucapku sambil mendekatkan tanganku pada wajah.

Aku bisa mendengar suara langkah Alice berlari dengan semangat. Anak itu memang senang sekali tiap aku menjadi hantunya.

"Alice, aku sudah selesai menghitung. Sekarang aku akan mencarimu."

Pelan-pelan kujauhkan tanganku dari kedua mataku, lalu menemukan sekelilingku sudah gelap gulita. Ah, seharusnya aku tidak melupakannya. Hari ini adalah jadwal lampu padam bergilir di area perumahan ini. Namun biasanya itu hanya terjadi saat tengah malam, saat semuanya tengah terlelap dan tidak ada yang menyadarinya. Aku sering terbangun, jadi kurasa aku tahu jadwal listrik padam, sekitar pukul satu hingga tiga malam.

"Alice, mati lampu. Ayo kita hentikan permainannya!" seruku.

Pelan-pelan, aku berjalan ke arah tirai jendela yang sudah kututup. Kubuka tirai jendela dan hal itu membuat cahaya redup masuk ke dalam rumah. Saat ini langit sedang mendung dan kilat mulai tampak dari kejauhan. Kuintip keluar untuk memastikan bahwa saat ini memang sedang mati lampu. Jarak rumah lain dengan rumah ini bisa dikatakan lumayan terpaut jauh, tetapi aku bisa mengandalkan tiang listrik yang berdiri beberapa ratus meter dari sini. Entahlah memang padam atau lampu itu memang belum dinyalakan.

"Alice!" seruku lagi.

Adikku belum menunjukkan tanda-tanda bahwa dia akan kembali. Sepertinya dia masih kukuh untuk melanjutkan permainan. Kuhela napasku, lalu dengan berat hati melangkah ke meja kerja Ayah, mengambil senter tangan yang memang selalu tergeletak di sana. Aku mulai berjalan menelusuri lorong sambil menyoroti senter ke arah salah satu ruangan yang pintunya telah terbuka. Sudah pasti Alice berada di sini.

Aku mengambil napas banyak-banyak, sebelum akhirnya masuk ke ruangan itu. Isi ruangan itu cukup beragam dan sulit dijelaskan, tetapi banyak barang-barang aneh. Ayahku adalah seorang kolektor barang antik dan ruangan ini adalah tempat dia menaruh semua koleksinya di ruangan ini. Kami semua sepakat menyebut tempat ini sebagai kamar antik.

Alice memang selalu memilih kamar antik sebagai tempat persembunyiannya. Dia memilih bersembunyi di bawah meja bertaplak putih. Tentu saja aku sudah melihat kakinya begitu aku memasuki ruangan ini. Kupikir karena sudah terlanjur, maka aku akan menyelesaikan permainan ini dan membuat Alice merasa senang.

"Hm ... Alice sembunyi di mana, ya?" ucapku sambil menyoroti senter ke kolong lemari kayu.

Bisa kudengar suara Alice yang tertawa cekikikan dari bawah meja, tetapi kuabaikan dan kembali menyorot senter ke arah lain.

Kudekatkan langkahku ke jendela dengan maksud agar kamar antik lebih terang. Alice mungkin menghabiskan beberapa menit di kamar ini dengan perasaan cemas dan gugup karena terlalu gelap. Namun, saat aku menyingkirkan tirai jendela, dan kudapati langit merah kelam menyambutku. Ini memang sore yang mendung dan ini tidak wajar.

Sekeliling rumahku dibangun tembok satu setengah meter dan di atasnya terdapat pagar besi yang cukup tinggi dan kini aku bisa melihat bahwa semua bagian atas pagar sudah menjadi tempat para burung gagak bertengger di sana. Kukedipkan mataku selama beberapa kali untuk memastikan bahwa itu memang burung gagak, bukan plastik hitam yang diikat oleh orang yang usil.

MAMERAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang