Kerlap-kerlip lampu khas natal berpendar menaungi sisi jalan di malam penyambutan istimewa. Memantulkan kilau kegembiraan dari balik kaca satu arah yang dapat memandangnya jelas. Warna-warni mencolok terpasang apik mendatangkan minat untuk mengagumi, tetapi kontras dengan dua obsidian elang yang terkesan redup dan datar.
Dari kilas kaca yang memantulkan bayangan semu bias lampu-lampu itu, Jeno menjatuhkan pandangannya. Kepulan asap Americano yang tersaji terus mengganggu penciumannya untuk beralih dari kaca toko. Namun, tak mengusik pertahanannya menatap pedestrian lengang dari balik kaca. Ditemani sayup-sayup instrumen khas natal jingle bell yang tak asing lagi di telinganya, Jeno menunggu.
Matanya bergulir refleks menuju pintu masuk toko ketika kilatan api putih muncul bersamaan wujud seseorang yang dinanti.
Ting.
Lonceng pintu berbunyi.
Dalam balutan mantel tebal kotak-kotak merah beserta lilitan scarf biru yang menempel di lehernya, Renjun memasuki coffee shop dengan terburu-buru. Tanpa makhluk itu sadari Jeno terus memperhatikannya hingga lambaian tangan mengarah di tempatnya duduk.
"Sudah lama menunggu?"
Jeno menggeleng tepat ketika Renjun menempatkan pantat manisnya di kursi. Segaris senyum menyertai pernyataan diam dari Jeno. Akan tetapi, Renjun tak melihat, tidak. Dia terlalu sibuk menepuk sisa bulir es di mantelnya.
"Maaf tadi aku kedapatan tugas mendadak, ada roh bayi di daerahku yang harus dilahirkan saat malam natal." Renjun beralih dari mantelnya. Menemukan sorot mata redup, tetapi terasa lembut menatapnya dari ujung kepala sampai kaki.
"Tidak apa. Itu sudah tugasmu, kan?" Jeno masih memandang lekat Renjun yang mengangguk pelan dan mengangkat seulas senyum manis mendebarkan hati. Rasanya organ yang tak harusnya hidup itu mengakselerasikan detakan dua kali lebih cepat. "Yang penting kau ada di sini sekarang."
Jeno mengusung senyum kemudian.
Renjun langsung saja menelengkan kepalanya ke samping. Kata beberapa juniornya, itulah reaksi alami dari kalimat yang ia pelajari tadi. Makna yang mendatangkan warna semu merah dan mungkin senyuman malu-malu. Ah Renjun terlihat makin manis dengan itu.
Renjun berdeham beberapa kali. Mungkin bermaksud menghilangkan canggung yang terasa menebal di setiap detiknya. Jeno tersenyum tipis nyaris tak terlihat, kali ini Renjun yang canggung malu-malu pun terasa menarik juga.
"Jadi kehidupan apa yang kau maksud harus kuberikan?"
Jeno menyandarkan punggung dengan kedua lengan yang bersedekap. Matanya menelisik tajam, tetapi tidak sedikit pun makhluk di hadapannya tertekan akan intimidasi yang menguar darinya. Jeno yang sekarang terlalu senang menebar senyum.
Penuh arti.
"Seharusnya kau tahu, Renjun," jawab Jeno dengan lantunan bicara lembut, tetapi terdengar menuntut di telinga.
"Kau memberiku nama yang katanya berharga, kau juga yang ...."
Jeno menjeda kalimatnya, ia beranjak setelah menyandar. Dengan mencondongkan badannya pada Renjun yang tengah bergeming akibat elusan tangan dingin Jeno di pipinya.
"Harus membawaku ke dalam kehidupanmu yang katanya tak ternilai."
"ARGH!"
Renjun menjerit kesakitan seketika begitu tangan dingin Jeno mengalirkan tegangan listrik di pipinya. Dia melempar jauh-jauh telapak sang Dewa kematian, meringis perih memegangi kulit pipi layaknya terbakar.
Bersamaan pula sekelebat bayangan melintas di celah penglihatannya. Kilasan demi kilasan tak urut terputar bak cuplikan dalam sebuah film.
Mendung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Relikui [NoRen]
Fanfiction"The sweetest sins have been passed down, united in a tangle of red threads until they are reincarnated." NoRen short fic Jeno x Renjun Warning! ⚠️ • Semua karakter yang dibentuk hanya ada dalam fiksi, dimohon untuk tidak menyamakan dengan keadaan a...