satu

3.6K 298 8
                                    

Chimon menghela nafasnya, mengembalikan satu lembar kertas putih ke dalam map coklat. Matanya mengawang membayangkan apa yang selanjutnya akan terjadi pada dirinya.

Semakin melemah, semakin melemas dan perlahan... mati?

Ia memaksakan bibirnya untuk tersenyum, ia tidak peduli secemas apa perasaannya saat ini, yang ia pedulikan hanya bagaimana cara menghabiskan waktu sebaik mungkin. Chimon sangat sadar, ia tidak punya waktu banyak, oleh karna itu ia ingin melakukan segala hal yang masih bisa ia lakukan sambil menunggu waktu itu datang dengan sendirinya.

Chimon beranjak dari kursi tunggu rumah sakit, merapikan poninya sejenak sebelum membawa langkahnya yang semakin berat memaksa keluar dari tempat yang menjadi saksi hidupnya sejak empat tahun terakhir.

"Dia terlihat sangat sehat, tapi kenapa hasil lab-nya separah ini dok?"

"Dokter, Anak saya itu baik-baik saja, ia memang sering kehilangan keseimbangan beberapa kali tapi itu wajar kan?"

"Ngga, Dok, Chimon tidak sakit. Chimon sehat, Chimon akan selalu sehat."

Ia mengerjapkan matanya secepat mungkin, bayangan dimana saat dirinya divonis penyakit sialan itu kembali menghantui pikirannya.

4 tahun lalu, saat pertandingan basket antar sekolah berlangsung, Chimon tiba-tiba terjatuh dan tidak sadarkan diri dengan luka benturan yang sangat parah di dahinya. Disaat itu pula, ketika kedua orang tuanya membawa Chimon untuk memeriksa benturan itu, mewanti-wanti jika anaknya tersebut mengalami pendarahan di dalam atau tidak.

Namun kenyataan yang di terima lebih menyakitkan daripada itu, Chimon, Seorang remaja yang sangat periang tersebut tanpa disadari mengidap sebuah penyakit yang mengganggu otak kecil serta syaraf-syaraf motoriknya. Hidupnya tidak berjalan normal sejak hari pertama dokter memvonis penyakit seperti apa yang telah bersarang di dalam tubuh sehatnya.

Wajahnya yang berseri lambat laun menjadi sangat pucat. Bibirnya yang kemerahanpun sudah memudar. Chimon, hanya tinggal menunggu waktu.

"Aw!" teriak Chimon ketika lututnya menekan lantai rumah sakit. Ia mulai kehilangan keseimbangan. Lagi, Chimon tidak pernah bisa mengontrolnya. Ia menunduk sedikit berpasrah, matanya terpejam menahan rasa takut mengingat bahwa kaki kanannya mulai tidak bisa ia gerakan. apakah sebentar lagi kaki kirinya pun ikut terserang?

"Hey, Kamu nggak apa-apa?"

Chimon merasakan sentuhan telapak tangan di pundaknya, Ia membuka matanya perlahan dan melihat sepasang kaki seseorang yang menggunakan piyama di hadapannya.

Chimon mendongak, "Oh, Enggak apa-apa. Cuman keseleo," ujarnya.

"Aku bantu berdiri ya?" ucap orang tersebut mengambil lengan Chimon dan memapahnya untuk berdiri. "Kamu beneran nggak apa-apa?"

Chimon mengangguk, "Makasih ya." senyumnya. Matanya menatap tubuh orang tersebut, ia mengenakan baju tidur yang atasnya tidak ia kancingkan. sesekali matanya mengintip, melihat satu perban besar menempel di dadanya. dan.. mengapa ia membawa tiang infus dengan selang yang masih tertancap di lengannya?

Melihat Chimon yang menatap dirinya seperti itu, Ia tersenyum kecil, "Kamu lihat ini?" Ia menunjuk dada kirinya.

Chimon membuang pandangannya. malu, ia merasa tidak sopan, "Maaf,"

"Gapapa, Minggu lalu aku habis operasi." ucapnya, "Kamu bawa map coklat? habis CT-Scan ya? Btw, aku sering lihat kamu di rumah sakit ini, Kamu sakit?"

"Engga kok, Aku baik-baik aja." Chimon menyembunyikan map coklat tersebut di belakang punggungnya.

Pluem mengangguk, "Ah, Bagus deh. Oh iya, Aku Pluem, Kamu?"

"Chimon,"

"Nama yang lucu, Aku harap kita bisa jadi teman ya?" ujar Pluem, "Kalo gitu aku masuk ke ruanganku."

Chimon mengangguk, "Cepat sembuh." tuturnya.

Pluem tersenyum.

Dalam hatinya, Pluem bertanya apa yang terjadi dengan Chimon? Pasalnya, ia sering melihat Chimon datang ke rumah sakit itu. Ia sering memperhatikannya. Tanpa Chimon sadari.

"Pluem, kamu darimana saja?" seorang dokter yang sedari tadi berada di dalam ruangannya bertanya.

"Dari luar dok, Cari udara seger. Aku rindu bernafas lega." ucapnya menjawab pertanyaan sang dokter, "Oh ya dok, Dokter tau Chimon? Aku lihat dia bawa map coklat hasil CT-Scan, Dokter kan sering berada di ruangan itu, Mungkin dokter kenal?"

Dokter itu terlihat berpikir, "Oh, Maksudmu Chimon Wachirawit? Pasiennya Dokter Lee?"

Pluem membulatkan matanya, "Pasiennya Dokter Lee? bukannya Dokter Lee itu specialis syaraf ya Dok?"

"Betul. Dokter Lee sudah empat tahun ini menangani Chimon."

"Kalo boleh tau, Dia sakit apa dok?"

Dokter itu tersenyum, Ia menepuk pundak Pluem dengan lembut, "Lebih baik kamu pikirkan kondisimu terlebih dahulu, ya? Hasil lab terakhir saya simpulkan, jantung kamu masih sering tidak stabil, Saya akan ambilkan resep dahulu. Dan ingat, jangan keluar ruangan tanpa sepengetahuan saya, bahaya, oke?"

Pluem mengangguk. Pikirannya melayang membayangkan Chimon yang harus berurusan dengan Dokter Lee. Penyakit apa yang dialami teman barunya tersebut?

Tunggu, kenapa Pluem sangat begitu penasaran terhadap Chimon?


----
to be continue...

Sup guysss~~

haha tbh gue gak tega bikin Chimon dan Pluem jadi 'orang sakit' disini :'-) tapi pengen bikin cerita yang rada sedikit angst huhu semoga dapat feelnya yaaa hahaha

para deksia maafkan akuuuu membuat mereka menderita disini :'-)

About Time [pluemon | COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang