hll

4 0 0
                                    

Tahap-tahap Penentuan Awal bulan lPerspektif NU A. Khoirul, NU Online | Kamis, 27 N Dalam sejarah, sejak zaman Sahabat Rasulullah SAW hingga sekarang ternyata para khalifah, sultan, ulil amri menggunakan sistem rukyah sebagai dasar itsbat atau penetapan awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW, meskipun pada abad 8 masehi sudah masuk ilmu hisab dari India. Memahami, menghayati, dan mengamalkan ad-dinul islam, harus mendasarkan pada asas ta’abbudiy (ketaatan). Untuk mewujudkan kesempurnaan ta’abbudiy perlu didukung dengan menggunakan asas ta’aqquliy (penalaran). Dalam konteks ini, asas ta’abbudiy dilaksanakan dengan mengamalkan perintah rukyatul hilal. Untuk kesempurnaan rukyatul hilal perlu didukung dengan menggunakan asas ta’aqquliy, yakni dengan memanfaatkan ilmu hisab.<> NU dalam menentukan awal bulan Qamariah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah, melalui empat tahap, yaitu: 1. Tahap pembuatan hitungan hisab 2. Penyelenggaraan rukyatul hilal 3. Berpartisipasi dalam sidang itsbat 4. Ikhbar Tahap Pembuatan Hitungan Hisab Ilmu falak berkembang di kalangan NU sejak abad 19. Lembaga-lembaga pendidikan NU, seperti pesantren dan madrasah memberikan pendidikan ilmu falak/hisab. Dari pendidikan itu lahirlah ulama-ulama ahli falak/hisab NU tersebar di seluruh Indonesia. Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) didirikan dari tingkat pusat sampai daerah sebagai wadah berhimpunnya ahli hisab, astronom, dan ahli rukyah; menyelenggarakan diklat hisab dan rukyah dari tingkat dasar sampai tingkat mahir; menangani masalah-masalah kefalakiyahan dan pemanfaatannya. Setiap menjelang awal tahun, LFNU menyelenggarakan musyawarah ahli hisab, astronom, dan ahli rukyah untuk merumuskan hitungan hisab kalender tahun-tahun berikutnya. Hisab jama’iy/kolektif/penyerasian, diumumkan melalui almanak setiap tahun dan digunakan untuk penyelenggaraan rukyatul hilal. Hisab yang digunakan sebagai pemandu dan pendukung rukyah didasarkan pada metode rukyah yang tinggi akurasinya, terutama dari karya para ahli di kalangan NU, seperti antara lain: al-Khulashatul wafiyah karya KH Zubair Umar; Badi’atul Mitsal dan Durusul Falakiyah karya KH Ma’shum Ali; Nurul Anwar karya KH Noor Ahmad SS; Irsyadul Murid karya KH Ahmad Ghazali Muhammad Fathullah; Mawaqit karya Dr Ing H Khafid; dan Hisab dan Rukyah dalam Teori dan Praktik karya Drs H Muhyiddin, M Si. Metode-metode ini termasuk kelompok tingkat haqiqi tahqiqi dan tadqiqi/’ashri (kontemporer). Selain hitungan hisab didasarkan pada metode tahqiqi dan tadqiqi, NU juga menerima haddu imkanir rukyah (kriteria visibilitas hilal). Kriteria imkanur rukyah ini digunakan untuk menolak laporan hasil rukyah, sedang secara astronomis ketinggian hilal ketika itu belum memungkinkan dirukyah. Tetapi imkanur rukyah tidak dijadikan sebagai penentuan awal bulan qamariyah. Perhitungan hisab awal bulan qamariyah yang didasarkan pada metode haqiqi tahqiqi, tadqiqi/’ashri (kontemporer) dan kriteria imkanur rukyah, digunakan untuk memandu dan mendukung penyelenggaraan rukyatul hilal. Penyelenggaraan Rukyatul Hilal Sesungguhnya rukyat/observasi terhadap benda-benda langit khususnya bulan dan matahari telah dilakukan ribuan tahun sebelum masehi. Rukyat demi rukyat, observasi demi observasi dilakukan kemudian dicatat dan dirumuskan, lahirlah ilmu hisab/ilmu astronomi. Rukyat/observasi adalah ibu yang melahirkan ilmu hisab dan astronomi. Tanpa rukyat/observasi tak akan ada ilmu hisab dan astronomi. Tanpa ada rukyat/observasi yang berkelanjutan, maka ilmu hisab akan mandeg/statis. Dengan demikian rukyat itu ilmiah. Di satu sisi rukyat berfungsi mengoreksi hitungan hisab, dan di sisi lain hisab menjadi pemandu dan pendukung rukyat. Rukyat yang diterima di Indonesia ialah rukyat Nasional, yakni rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri dan berlaku satu wilayah hukum. Perbedaan hasil rukyat di Indonesia dengan Negara lain seperti Saudi Arabia tidaklah menjadi masalah. (Lebih lanjut mengenai ini akan dibahas di rubrik Syari’ah) Dengan panduan dan dukungan ilmu hisab, maka rukyat diselenggarakan di titik-titik strategis yang telah ditetapkan (saat ini ada 55 tempat) di seluruh Indonesia di bawah koordinasi LFNU di pusat dan di daerah. Pelaksana rukyat terdiri dari para ulama’ ahli fiqh, ahli rukyat, ahli hisab, dan bekerja sama dengan ormas Islam dan instansi terkait. Rukyat diselenggarakan dengan menggunakan alat sesuai dengan kemajuan teknologi dan yang tidak bertentangan dengan syar’i. Berpartisipasi dalam Sidang Itsbat Hasil penyelenggaraan rukyatul hilal di lapangan dilaporkan kepada PBNU. Dari laporan-laporan itu sesungguhnya NU sudah dapat mengambil keputusan tentang penentuan awal bulan, tetapi tidak segera diumumkan melainkan dilaporkan lebih dulu ke sidang itsbat, dengan tujuan agar keputusan itu berlaku bagi umat Islam di seluruh Indonesia. Ketika para sahabat berhasil melihat hilal, tidak serta-merta mereka menetapkannya dan mengumumkan kepada masyarakat mendahului penetapan Rasulullah SAW. Hasil rukyat dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Selanjutnya beliau sebagai Rasul Allah maupun sebagai kepala negara menetapkannya. Sebagaimana tersebut dalam hadits: “Dari Abdullah bin Umar ia berkata: orang-orang berusaha melihat hilal (melakukan rukyatulhilal) lalu saya memberitahu kepada Rasulullah SAW bahwa sesungguhnya saya telah melihat hilal, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar supaya berpuasa”. (HR Abu Dawud, Daruquthni, dan Ibnu Hibban) Hadits ini menunjukkan : 1. Tingginya semangat melaksanakan rukyat di kalangan para sahabat 2. Para sahabat tidak memutuskan sendiri dan tidak mau mendahului Rasulullah SAW 3. Itsbat sepenuhnya ada di tangan Rasulullah SAW. baik sebagai Rasul Allah, maupun sebagai kepala negara 4. Itsbat Rasulullah SAW. berlaku bagi semua kaum Muslimin dan mengatasi perbedaan yang mungkin timbul di kalangan sahabat Itsbat suatu terminologi fiqh untuk suatu penetapan negara tentang awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah. Di Indonesia wewenang itsbat didelegasikan kepada Menteri Agama RI. Menurut fiqh, itsbat harus didasarkan dalil rajih, yakni rukyatul hilal. Dalam mengambil itsbat, Menteri Agama RI menyelenggarakan sidang itsbat pada hari telah diselenggarakan rukyatul hilal, dan dihadiri anggota BHR, wakil-wakil Ormas Islam, pejabat-pejabat terkait, dan para duta dari negara-negara sahabat. Dalam kesempatan ini, NU melaporkan hasil penyelenggaraan rukyatul hilal dan perhitungan hisabnya sebagai bentuk partisipasi dalam rangka itsbat. Menteri Agama RI dalam itsbatnya didasarkan atas dasar rukyatul hilal dan hisab. Itsbat yang dikeluarkan oleh Menteri Agama RI berlaku bagi seluruh ummat Islam di seluruh NKRI tanpa terkecuali. Perbedaan yang mungkin terjadi harus sudah selesai ketika itsbat dikeluarkan, sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. dan para sahabat. Ikhbar (Pemberitahuan) Setelah dikeluarkan itsbat, maka NU mengeluarkan ikhbar tentang sikap NU mengenai penentuan awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah atas dasar rukyatul hilal yang didukung dengan hisab yang akurat sesuai dengan kriteria imkanur rukyat. Ikhbar akan mempunyai daya dukung terhadap itsbat, jika Menteri Agama RI memutuskan atas dasar dalil rajih. Sebaliknya ikhbar berfungsi sebagai kritik atas itsbat yang tidak didasarkan pada dalil rajih. Ikhbar adalah hak PBNU untuk menetapkan hasil rukyat yang dikeluarkan setelah itsbat, dan merupakan bimbingan terhadap warga NU, yang secara jam’iyyah (kelembagaan) harus dilaksanakan. Dari paparan di depan, dapat dipahami bahwa penentuan awal bulan Qamariah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah dengan memperhatikan 4 aspek, yaitu : 1. Aspek Syar’i, dalam bentuk pelaksanaan rukyatul hilal 2. Aspek Astronomis, dalam bentuk memperhatikan kriteria-kriteria imkanur rukyat tentang dzuhurul hilal (penampakan bulan sabit) 3. Aspek Geografis, dalam bentuk menerima rukyat nasional 4. Aspek Politis, yakni aspek intervensi negara dalam bentuk itsbat dalam kerangka wawasan NKRI dan mengatasi perbedaan KH A Ghazalie Masroeri Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) (+) Rukyatul Hilal Cara Sah Menentukan Awal Ramadhan Ulil, NU Online | Jumat, 27 Juni 2014 20:27 Metodologi penentuan awal bulan Qamariah, baik untuk menandai permulaan Ramadhan, Syawal dan bulan lainnya harus didasarkan pada penglihatan bulan secara fisik (rukyatul hilal bil fi'ly). Sedangkan metode perhintungan astronomi (hisab) dipakai untuk membantu prosesi rukyat.<> Jumhurul madzahib (mayoritas imam madzhab selain madzhab Syafi'iyyah) berpendapat bahwa pemerintah sebagai ulil amri diperbolehkan menjadikan ru'yatul hilal sebagai dasar penetapan awal bulan Qamariah, khususnya Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Adapun dasar hukumnya antara lain: a. Hadist muttafaq alaihi (diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) yang berbunyi: حدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ "Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal) Dan apabila tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari." (HR. Bukhari: 1776 dan Imam Muslim 5/354) Dari hadist diatas, jelas sekali bahwa Rasulullah SAW hanyalah menetapkan "melihat bulan" (rukyatul hilal) sebagai causa prima dari permulaan ibadah puasa dan permulaan Idul Fitri, dan bukan dengan sudah wujud tidaknya ataupun apalagi cara menghitungnya. Terbukti, dari penggalan kedua redaksi ucapan Rasulullah SAW di atas yang menyuruh menyempurnakan bulan Sya'ban sebanyak 30 hari apalagi tidak berhasil melihat walaupun secara perhitungan astronomis (hisab) mungkin sudah ada. b. Kenyataan yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, bahwa beliau memerintahkan puasa langsung setelah datang kepada beliau persaksian seorang muslim tanpa menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla' yang sama dengan beliau atau berjauhan. Sebagaimana dalam hadits: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا "Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud sang badui yaitu hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah? Dia berkata: Benar. Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata: Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Dia berkata: Ya benar. Kemudian Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berpuasa besok." (HR Abu Daud 283/6) c.Dalam kitab Fathul Qodir fiqh madzhab Hanafi pada jilid ke 4 hal 291 dijelaskan: وَإِذَا ثَبَتَ فِي مِصْرَ لَزِمَ سَائِرَ النَّاسِ فَيَلْزَمُ أَهْلَ الْمَشْرِقِ بِرُؤْيَةِ أَهْلِ الْمَغْرِبِ فِي ظَاهِرِ الْمَذْهَبِ "Apabila telah ditetapkan bahwa hilal telah terlihat di sebuah kota, maka wajib hukumnya penduduk yang tinggal di belahan bumi Timur untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang telah diambil kaum muslimin yang berada di belahan bumi Barat". Dalam ta'bir di atas telah dijelaskan bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam yang tinggal di daerah Timur untuk mengikuti ketetapan ru'yah yang telah diambil oleh kaum muslimin di wilayah Barat. Dan sebaliknya, apabila mereka yang tinggal di wilayah Timur terlebih dahulu telah melihat dan menetapkannya, maka kewajibannya lebih utama karena secara otomatis umat Islam bagian Timur terlebih dahulu melihat hilal dari pada mereka yang tinggal di Barat. d. Dalam kita Furu' Milik ibn Muflih fiqh madzhab Hambali juz 4 hal 426 disebutkan: َإِنْ ثَبَتَتْ رُؤْيَتُهُ بِمَكَانٍ قَرِيبٍ أَوْ بَعِيدٍ لَزِمَ جَمِيعَ الْبِلَادِ الصَّوْمُ ، وَحُكْمُ مَنْ لَمْ يَرَهُ كَمَنْ رَآهُ وَلَوْ اخْتَلَفَتْ الْمَطَالِعُ "Apabila bulan telah terlihat dalam suatu tempat, baik jaraknya dekat atau jauh dari wilayah lain, maka wajib seluruh wilayah untuk berpuasa mengikuti ru'yah wilayah tersebut. Hukum ini juga berlaku bagi mereka yang tidak melihatnya sepertihalnya mereka yang melihatnya secara langsung, dan perbedaan wilayah terbit bukanlah penghalang dalam penerapan hukum ini" e. Dalam kita Mawahib Jalil fi Syarh Mukhtashor Syaikh Kholil juz 6 hal 396 dijelaskan: أَمَّا سَبَبُهُ أَيْ الصَّوْمِ فَاثْنَانِ الْأَوَّلُ : رُؤْيَةُ الْهِلَالِ وَتَحْصُلُ بِالْخَبَرِ الْمُنْتَشِرِ "Adapun sebab diwajibkannya puasa ada dua, yang pertama: terlihatnya bulan, dengan syarat ru'yahnya melalui kabar yang sudah tersebar luas." Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa penetapan bulan Ramadhan hanya ditetapkan dengan terlihatnya bulan tanpa disebutkan adanya syarat-syarat lain untuk diterimanya ru'yah ini, yaitu diantaranya tanpa dengan menyebutkan ketentuan perbedaan terbitnya bulan pada wilayah yang berjauhan (ikhtilaf matholi'). f. Bughyatul Mustarsyidin لاَ يَثْبُتُ رَمَضَانُ كَغَيْرِهِ مِنَ الشُّهُوْرِ إِلاَّ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ أَوْ إِكْمَالِ الْعِدَّةِ ثَلاَثِيْنَ بِلاَ فَارِقٍ Bulan Ramadhan sama seperti bulan lainnya tidak tetap kecuali dengan melihat hilal, atau menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari. g. Al-‘Ilm al-Manshur fi Itsbat al-Syuhur قَالَ سَنَدُ الْمَالِكِيَّةِ لَوْ كَانَ اْلإِمَامُ يَرَى الْحِسَابَ فِي الْهِلاَلِ فَأَثْبَتَ بِهِ لَمْ يُتْبَعْ لإِجْمَاعِ السَّلَفِ عَلَى خِلاَفِهِ Para tokoh madzhab Malikiyah berpendapat: “Bila seorang penguasa mengetahui hisab tentang (masuknya) suatu bulan, lalu ia menetapkan bulan tersebut dengan hisab, maka ia tidak boleh diikuti, karena ijma’ ulama salaf bertentangan dengannya.” (red: Ulil H) (+) Beda Pendapat Ulama soal Penetapan Awal Ramadhan Khoiron, NU Online | Jumat, 11 Mei 2018 18:00 Setiap menjelang bulan Ramadhan, kita senantiasa disuguhi fenomena perbedaan pendapat terkait penetapan awal puasa. Ironisnya, perbedaan ini tidak jarang menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat berupa saling ejek dan saling klaim bahwa kelompoknya benar, sedangkan kelompok lain salah. Bulan yang seharusnya dijadikan sebagai momen peningkatan ibadah dan amal saleh justu dinodai oleh saling cemooh antarkelompok masyarakat. Kementerian Agama sebagai lembaga yang punya otoritas dalam penetapan awal puasa, telah berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut dengan menggelar sidang itsbat yang dihadiri oleh para ulama, ilmuwan, pakar hisab-rukyat, dan perwakilan dari berbagai organisasi massa yang ada di Indonesia. Hanya saja, terkadang ada kelompok yang tidak mengikuti hasil sidang itsbat dimaksud dengan alasan mereka telah memiliki metode penetapan sendiri. Karenanya menjadi sangat penting bagi masyarakat untuk mengetahui metode-metode yang digunakan oleh para ulama dalam menetapkan awal bulan Ramadhan. Dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, ulama berbeda pendapat. Pertama, mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa awal bulan Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan menggunakan metode rukyat (observasi/mengamati hilal) atau istikmal, yaitu menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Mereka berpegangan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 185: فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ “Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa (pada) nya.” Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari, hadits no. 1776). Pada ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya mengkaitkan kewajiban berpuasa dengan melihat hilal. Artinya, kewajiban berpuasa hanya bisa ditetapkan dengan melihat hilal atau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. (Lihat: Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Damaskus: Maktabah al-Ghazali, Juz 1980, hal. 210). Kedua, sebagian ulama, meliputi Ibnu Suraij, Taqiyyuddin al-Subki, Mutharrif bin Abdullah dan Muhammad bin Muqatil, menyatakan bahwa awal puasa dapat ditetapkan dengan metode hisab (perhitungan untuk menentukan posisi hilal). Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 5: هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu).” Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ “Jika kalian melihat hilal (hilal Ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal Syawwal) maka berbukalah. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka perkirakanlah ia.” Ayat di atas menerangkan bahwa tujuan penciptaan sinar matahari dan cahaya bulan serta penetapan tempat orbit keduanya adalah agar manusia mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Artinya, Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan kepada manusia agar menggunakan hisab dalam menentukan awal dan akhir bulan Hijriyah. Sedangkan poin utama dari hadits di atas adalah kata “Faqdurû lah”. Menurut mereka, arti kata tersebut adalah perkirakanlah dengan menggunakan hitungan (hisab).  Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat kelompok pertama yang menyatakan bahwa awal Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan rukyat dan istikmal merupakan pendapat yang sangat kuat, karena dalil-dalil yang mereka kemukakan sangat jelas dan tegas menyatakan hal tersebut. (Lihat: Mahmud Ahmad Abu Samrah dkk., Al-Ahillah Baina al-Falaq wa al-Fiqh, Jurnal al-Jami’ah al-Islamiyyah, Volume 12, Nomor 2, Halaman 241). Akan tetapi, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang ilmu astronomi, peran hisab sangatlah urgen dalam mendukung hasil rukyat. Apalagi, hisab yang didukung dengan alat modern memiliki akurasi yang sangat tinggi. Dalam konteks negara Indonesia, terdapat beberapa kriteria penetapan awal Ramadhan, di antaranya: Pertama, imkanur rukyat (visibilitas hilal). Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Kriteria ini mengharuskan hilal berada minimal 2 derajat di atas ufuk, sehingga memungkinkan untuk dilihat. Akan tetapi, adanya hilal belum teranggap sampai hilal tersebut dapat dilihat dengan mata. Kriteria ini digunakan oleh NU sebagai pendukung proses pelaksanaan rukyat yang berkualitas. Kedua, wujudul hilal. Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (Konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam, dan bulan terbenam setelah matahari terbenam. Jika kedua kriteria tersebut terpenuhi maka pada petang hari tersebut dapat dinyatakan sebagai awal bulan. Kriteria ini digunakan oleh Muhammadiyah. Ketiga, imkanur rukyat MABIMS. Yaitu penentuan awal bulan Ramadhan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS). Menurut kriteria ini, awal bulan Hijriyah terjadi jika saat matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2 derajat dan jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3 derajat, dan ketika terbenam, usia bulan tidak kurang dari 8 jam setelah ijtimak/konjungsi. Keempat, rukyat global. Yaitu Kriteria penentuan awal bulan Ramadhan yang menganut prinsip bahwa jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa. Kriteria ini digunakan sebagian muslim Indonesia dengan merujuk langsung pada Negara Arab Saudi atau menggunakan hasil terlihatnya hilal dari Negara lain. Dengan adanya metode dan kriteria penetapan awal Ramadhan yang sangat variatif, tidak mengherankan jika terjadi perbedaan dalam memulai puasa Ramadhan. Hanya saja, penting kiranya untuk berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut, mengingat bahwa amaliah di bulan Ramadhan dan lebaran di bulan Syawal merupakan syi’ar Islam dan momen kebahagiaan yang layaknya dilaksanakan dan dinikmati bersama-sama. Pemerintah melalui Kementerian Agama memiliki peran sentral dalam menyatukan perbedaan dimaksud, yaitu dengan menyelenggarakan sidang Itsbat awal Ramadhan yang didasarkan pada rukyat, dan hisab sebagai pendukung. Keputusan Itsbat bersifat mengikat dan berlaku bagi umat Islam secara nasional, sebagaimana kaidah fiqih: حُكْمُ الحَاكِمِ يَرْفَعُ الخِلَافَ “Keputusan Hakim (Pemerintah) dapat menghilangkan perselisihan.” Hanya saja, jika perbedaan penetapan awal Ramadhan masih saja terjadi maka prinsip toleransi sepatutnya tetap dikedepankan. Sebab, menjaga persatuan dan kerukunan umat merupakan perintah Allah yang wajib dilaksanakan. Wallahu A’lam. Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Pengurus LDNU Jombang. (+) Kapan Mulai Puasa pada Tahun 2019 Ini? Ilustrasi Masjid (Makasar) yang tengah bersiap menyambut Ramadan. Jakarta - Bulan Suci Ramadan sudah hampir tiba. Umat muslim di seluruh dunia sudah tidak sabar untuk menjalankan ibadah puasa. Dan pertanyaan klasik yang selalu terlontar di masyarakat pada saat ini adalah, kapan kita mulai puasa? Tentu saja pertanyaan tersebut disertai dengan perasaan bersemangat dan tersirat kebahagiaan. Jadi kapan puasanya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mengacu pada tim ahli yang sudah berpengalaman menentukan kapan tepatnya kita memasuki bulan yang penuh berkah itu. Isbat awal Ramadan dilaksanakan 5 Mei, bertepatan 29 Sya’ban 1440 H Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi terbesar telah menetapkan kalau tanggal 1 Ramadan 1440 Hijriah atau 1 Ramadan 2019 jatuh pada hari Rabu, 5 Juni 2019 Masehi. Penentuan tersebut diumumkan oleh PP Muhammadiyah yang tertulis dalam Maklumat PP Muhammadiyah Nomor 01/MLM/I.0/E/2019 tentang Penetapan Hisab Ramadan, Syawwal dan Zulhijjah 1440 Hijriah. Bagaimana para ahli tersebut menentukannya? Tentu saja penentuan waktu tersebut tidak dipilih secara sembarangan. Para ahli memilih tanggal krusial yang menjadi penentu ibadah umat mayoritas di negara kita ini secara hati-hati. Kalender hijriah jauh berbeda dengan kalender Masehi yang dihitung berdasarkan revolusi matahari. Hijriah dihitung berdasarkan pergerakan bulan. sedangkan metode penetapan awal bulan Ramadan pun cukup beragam. Beberapa ahli menggunakan mata telanjang atau yang sering disebut dengan metode rukyah hilal. Ada juga yang menggunakan hisab hakiki wal wujudul hilal yang selalu terhitung 29 hari. Namun saat ini banyak ahli hisab yang sudah akrab dengan teknologi modern (teropong canggih) untuk menentukan kapan saat yang tepat untuk mulai berpuasa. Selain itu, ada juga yang dinantikan oleh umat muslim (terutama ibu-ibu) sepanjang bulan Ramadan 2019/1440 H ini, yaitu jadwal imsakiyah. Jadwal itu bisa menjadi acuan bagi mereka menentukan apa hidangan yang akan disajikan di meja makan untuk berbuka puasa selama sebulan ke depan. Di sisi lain, hingga saat ini pihak pemerintah, yang dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Agama (Kemenag) belum menetapkan secara resmi kapan 1 Ramadan 1440 H/2019. Meskipun begitu Kemenag telah merilis jadwal imsakiyah selama bulan puasa Ramadan 2019 di seluruh wilayah Indonesia. Jadwal tersebut bisa dibaca di situs resmi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag. Kemenag Akan Gelar Sidang Isbat Pada Puasa 2019 Pihak pemerintah melalui Kementerian Agama mengumumkan akan menggelar Sidang Isbat atau sidang penetapan awal Ramadhan 1440 Hijriah. Sidang tersebut diagendakan pada 5 Mei 2019 di Auditorium H. M. Rasjidi, Kementerian Agama RI, Jakarta Pusat. "Isbat awal Ramadan dilaksanakan 5 Mei, bertepatan 29 Sya’ban 1440 H," kata Dirjen Bimas Islam Muhammadiyah Amin, di Jakarta, dilansir laman resmi Kemenag, Jumat 26 April 2019. Pihak-pihak yang diundang dalam sidang tersebut adalah Duta Besar Negara-negara sahabat, Komisi VIII DPR, Mahkamah Agung, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Selain itu ada pula Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Informasi Geospasial (BIG), Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB), Planetarium, Pakar Falak dari ormas-ormas Islam, Pejabat Eselon I dan II Kementerian Agama. Serta tidak ketinggalan, tim Hisab dan Rukyat Kementerian Agama juga pasti datang dalam sidang penetapan 1 Ramadan 1440 Hijriah. Namun sebelumnya, tidak lupa kami turut mengucapkan Selamat berpuasa di bulan suci ini. Semoga amal ibadah kita diterima di sisi-Nya. Marhaban ya Ramadan. [] (+) Mencari Titik Temu NU-Muhammadiyah Mencari Titik Temu NU-Muhammadiyah A. Khoirul, NU Online | Rabu, 10 Juli 2013 15:01 Seperti diperkirakan sebelumnya, penetapan awal Ramadhan 1434 H tahun ini cukup ramai. Sebagian umat Islam yang mengikuti Muhammadiyah menjalankan puasa lebih dulu, berbeda dengan ketetapan pemerintah. Bahkan jauh sebelum pemerintah menggelar sidang istbat, ormas dimaksud sudah menetapkan awal Ramadhan dengan metodenya sendiri.<> Kontan perbedaan ini menjadi bahan berita menarik bagi berbagai media massa. Secara “news” penetapan awal Ramadhan itu sendiri sudah menarik karena melibatkan rasa ingin tahu masyarakat, apalagi jika ada yang berbeda. Beberapa media menyederhanakan perbedaan penetapan awal bulan qamariyah itu sebagai perbedaan antara kubu hisab dan kubu rukyat. Kubu hisab diwakili oleh Muhammadiyah yang menjalankan puasa lebih dulu. Sementara kubu rukyat diwakili oleh NU yang didukung oleh pemerintah dan beberapa perwakilan ormas yang menghadiri sidang itsbat. Semestinya perbedaan tidak bisa disederhanakan hanya persoalan hisab da rukyat saja. Menempatkan posisi hisab dan rukyat secara berhadapan akan menjauhkan masyarakat dari akar perbedaan. Kalau diikuti betul, mereka yang melakukan rukyat pasti juga melakukan hisab atau perhitungan astronomis. Misalnya untuk mengetahui kapan matahari akan terbenam, dimana posisi hilal, bagaimana kemiringannya, dimana posisi hilal dan berapa derajat jaraknya dengan matahari, berapa ketinggian hilal saat matahari tenggelam, dan berapa lama hilal berada di atas ufuk, semuanya pasti memerlukan data hisab. Penentuan awal bulan selalu menggunakan hisab dan dalam perkembangannya data hisab yang dihasilkan tidak jauh berbeda antar beberapa metode. Para ahli hisab sudah hampir menemukan titik akurasi yang sepadan karena didukung berbagai alat yang canggih. Perbedaan justru muncul dari bagaimana menyikapi data hisab. Muhammadiyah memakai data hisab itu sebagai sumber utama penetapan awal bulan dengan memakai satu teori "wujudul hilal", yakni ketika peristiwa ijtima’ atau konjungsi atau bulan baru terjadi sebelum matahari tenggelam, maka keesokan harinya sudah dinyatakan awal bulan. Teori ini tidak mengharuskan adanya rukyatul hilal, karena jika dalam kondisi tertentu saat waktu ijtima’ sangat dekat dengan waktu matahari tenggelam, posisi hilal sangat rendah sehingga tidak akan bisa dilihat bumi. Sementara NU menempatkan data hisab sebagai pendukung pelaksanaan rukyat. Jadi hisab bukanlah penentu awal bulan, namun hanya sebagai alat bantu pelaksanaan rukyat. Beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW sudah sangat sharih dan bahkan seperti satu petunjuk pelaksanaan atau juklak, bahwa penetapan awal bulan qamariyah, khususnya Ramadhan dan Syawal didahului dengan proses rukyatul hilal. Dengan demikian teori wujudul hilal tidak bisa diterima karena mengabaikan proses rukyatul hilal yang jelas-jelas diperintahkan oleh nash. Persoalannya saat ini bukan bagaimana menyikapi perbedaan, karena masyarakat sudah sangat siap dengan berbagai perbedaan. Juga bukan soal apakah wajib mengikuti pemerintah atau tidak. Karena bagaimanapun juga Kementerian Agama yang memegang mandat sebagai wakil dari pemerintah adalah jabatan politis bisa diisi oleh orang yang lebih dekat dengan satu ormas tertentu. Persoalannya adalah kemauan para ahli falak dan ahli fikih lintas ormas untuk mempertemukan satu kriteria di bawah satu payung Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI), negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sidang itsbat juga bukan solusi, karena metode sidang itsbat yang menggunakan pedoman hisab dan rukyat sekaligus, pasti akan memenangkan rukyat, tepatnya memenangkan NU. Kritik yang sempat dilontarkan oleh Muhammadiyah, bahwa sidang itsbat hanya menghabiskan anggaran ada benarnya juga. Jadi sidang atau pertemuan antar ormas jika dimaksud untuk menyatukan kriteria penentuan awal bulan mestinya diselenggarakan jauh hari sebelum datangnya awal bulan qamariyah, terutama jika data hisab menunjukkan adanya potensi perbedaan. Jika perbedaan dalam penetapan awal bulan qamariyah bisa disederhanakan menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, semestinya solusi ada di tangan para ahli falak/astronomi dari kedua ormas itu. Dalam sejarahnya kedua ormas juga tidak menggunakan satu kriteria secara permanen. Sejak awal berdiri, Muhammadiyah juga memakai metode rukyatul hilal dalam penetapan awal bulan qamariyah. Kriteria Wujudul hilal baru dipakai pada sekitar tahun 50-an. NU juga telah melakukan berbagai terobosan di bidang ilmu falak, antara lain mengadakan penyerasian berbagai metode hisab yang dipakai di kalangan pesantren, sehingga hasil perhitungan antara berbagai metode atau berbagai kitab ilmu hisab bisa ditengah-tengahi. Pada tahun 2006 NU juga telah menerapkan metode "imkanur rukyat" atau visibilitas pengamatan dan diaplikasikan dalam almanak yang diterbitkan oleh Lajnah Falakiyah. penjelasan dari kriteria ini menyebutkan bahwa jika hilal dinyatakan belum imkanur rukyat maka kesaksian siapa pun melihat hilal akan ditolak, yang artinya secara tidak langsung NU sudah memakai hisab dalam penetapan awal bulan. Dan dalam konsisi seperti ini, seperti halnya dalam penetapan awal Ramadhan tahun ini, sebenarnya bagi NU tidak diperlukan adanya rukyat. Artinya titik temu itu sangat mungkin ada, hanya dengan sedikit mengubah kriteria penetapan awal bulan qamariyah masing-masing ormas yang berbeda, yang dalam sejarahnya juga pernah mengalami perubahan. (A. Khoirul Anam) (+)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 07, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

puasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang