Kiran |1| Jadi begini ceritanya!

617 30 4
                                    

" Kiran minggu depan ujian Ma, bukannya waktu itu Mama bilang gak apa-apa kalau Kiran gak pulang dipernikahannya kak Lia. Kok sekarang maksa-maksa Kiran sih Ma? " Kiran berbicara lewat benda pipih warna abu-abu yang sudah hampir 2 tahun ini menemaninya seraya membuka lemari dimana tempat ia menyimpan persediaan makanannya. Bukan kulkas, tapi lemari makanan yang terbuat dari kayu yang letaknya tergantung di atas pantry sederhana kos-an Kiran ini. Kiran mendesah pelan, hanya ada mie instan. Beginilah nasib anak kos-an yang hidup di perantauan. Jika ujung bulan datang kadang bisa makan kadang harus minum promag biar bisa tidur tenang. Dimasa-masa seperti inilah Kiran dibuat dilema. Minta uang ke orang tua segan, gak minta bisa-bisa mati gak makan. Kiran sudah coba cari pekerjaan dengan bermodal-kan ijazah SMAnya itu, sementara untuk ijazah kuliah, skripsi saja belum bagaimana ceritanya Kiran bisa punya ijazah perkuliahan. Lagi pula Kiran masih semester dua, masih lama untuk skripsi dan punya ijazah sendiri. Kiran bekerja di sebuah Cafe yang jaraknya lumayanlah ketika harus berjalan kaki dari kosannya ini. Tapi, karena sudah terbiasa, ya rasanya jadi biasa saja, hitung-hitung diet secara alami.

" Mama udah pesanin tiket buat kamu, Mama tidak mau tau. Nanti malam kamu harus sampai di rumah! "

" Tapi Ma... "

'Tuut'

Kiran hanya bisa bernapas pasrah, belum selesai ia menyuarakan ketidak sukaannya sambungan telepon malah diputus oleh sang Mama. Entah hal apa yang membuat keluarganya mengharuskan Kiran untuk kembali ke kampung, padahal satu bulan yang lalu mereka sudah sepakat kalau Kiran tidak masalah tetap berada di Jakarta dan tidak menghadiri pernikahan Lia. Iya, pernikahan kakak sepupunya. Kiran dengar pernikahan ini adalah bunga dari mufakat oleh para Mamak (Paman) di kampung dan berbuah perjodohan Lia dan lelaki yang sedikit pun mungkin belum pernah Kiran jumpai. Kiran hanya sedikit mendengar cerita Mamanya mengenai calon suami kakak sepupunya itu. Katanya, lelaki itu berdarah campuran Minang dan Jawa, hanya saja ia sudah sangat lama menetap di Jawa. Selebihnya Kiran tak terlalu peduli, tak begitu ingin tahu, dan lebih bodoh amat pada hal-hal yang menurut Kiran bukanlah hal penting yang harus ia ketahui, kecuali itu calon suaminya. Hahaha. Lagi pula siapa yang ingin menikahkan Kiran di umurnya yang masih 19 tahun ini. Terlalu imut dan menggemaskan untuk menyandang status sebagai seorang istri. Kiran menggelengkan kepalanya, lalu menghela napas dalam dan menghempaskannya dengan kasar. Kemudian mengelus perutnya. Notifikasi dari ponselnya membuat Kiran mengalihkan perhatian, itu adalah pesan dari sang Mama mengenai tiket pesawatnya. Keberangkatannya pukul 5 sore nanti, masih ada waktu bersiap-siap selama 2 jam, dan terjebak macet kota Jakarta hingga bandara Soekarno-Hatta selama kurang lebih 1 setengah jam.

" Oke cacing! Kita makan di rumah saja nanti! " Kiran menepuk permukaan perut ratanya seakan-akan cacing yang sudah meronta-ronta kelaparan itu bisa ia ajak berdamai hingga beberapa jam ke depan.

***
Setelah berada di atas awan dengan burung besi itu untuk beberapa saat, akhirnya Kiran sampai di bandara internasional Minangkabau yang terletak di kawasan padangpariaman itu, tapi entah kenapa kebayankan orang sering keliru mengenai keberadaan bandara ini, orang-orang lebih mengenal bandara ini berada di Padang padahal bukan.
Kiran menarik napas dalam, akhirnya ia bisa juga pulang dan menghadiri pernikahan kakak sepupunya itu. Ayolah, siapa yang tidak ingin datang di hari bahagia kakaknya sendiri? Kiran menolak untuk pulang dengan dalih ujian hanya tidak ingin menyusahkan keluarganya. Kiran paham betul, pernikahan dengan adat Minangkabau itu tidak murah dan mudah. Resepsinya memang dua hari satu malam, tapi yang di sebut baraleknya sudah mulai menyusahkan pihak keluarga sedari tanggal pernikahan di tetapkan oleh Niniak mamak. Dan masalah biaya, tidak semurah hanya sewa gedung saja. Di kampung Kiran tidak ada yang namanya resepsi di gedung, resepsi di adakan di rumah masing-masing ke dua mempelai, tapi biaya yang di keluarkan melebih-lebihi harga sewa gedung. Ck, sangat miris jika membayangkan ratusan juta uang melayang hanya untuk sebuah resepsi pernikahan. Ratusan juta untuk resepsi belum termasuk dengan uang ilang yang di berikan pihak perempuan pada pihak laki-laki. Apalagi kalau laki-laki itu merupakan orang Pariaman, siap-siap saja tanah, sawah, ladang, tergadaikan. Hahaha.
Kiran sangat-sangat bahagia, akhirnya tanpa meminta Tuhan mengabulkan ke inginannya untuk ada di acara kakak sepupunya itu.

" Kak Kiran! " ketika Kiran mengedarkan pandangannya ke segala arah untuk mencari orang yang akan menjemputnya, di ujung sana, di sebelah mobil Avanza hitam Kiran dapat melihat dengan jelas sosok Randy, anak dari Mak etek (paman paling kecil) Kiran yang kini sudah beranjak dewasa, padahal baru saru tahun lalu Kiran meninggalkannya. Kiran menghampiri Randy dengan tas ransel yang ia sampirkan di bahu kanannya, cukup berat, tapi Kirankan kuat!

**
" Kamu yakin udah bisa bawa mobil Ran? " Kiran akhirnya menyuarakan kekhawatiran yang sedari tadi membayang dibenak kepalanya, tahun lalu anak kelas satu SMA ini belum bisa apa-apa, ayolah! Tentu saja Kiran waspada sekarang. Memang sudah tidak ada lagi makhluk hidup di rumahnya yang bisa menjemput Kiran ke bandara.

" Kalau gak yakin, terus aku bawa mobil ke sini gimana dong? Dorong? Kurang kerjaan banget! " baiklah, mau tidak mau Kiran harus percaya saja dengan lelaki di sebelahnya ini. Kiran memasang sabuk pengaman diikuti dengan Randy yang kemudian menancap gas meninggalkan kawasan bandara ini.

" Senang banget deh bisa ikutan hadir di acaranya kak Lia " Kiran berujar dengan rasa senangnya yang begitu menguar-nguar, Kiran mengarahkan padangannya pada Randy yang menanggapi kebahagiaan Kiran dengan gumaman dan sentum tipis yang ia paksakan. Randy sungguh tidak tega jika harus mengatakan hal ini pada Kiran sekarang, bisa saja Kiran minta di turunkan di jalan dan kembali ke bandara menuju Jakarta. Sesuatu hal yang buruk tengah menantinya di rumah sana. Sesuatu yang benar-benar buruk, yang akan meng-hancurkan dan membunuh impian dan mungkin segala kehidupan Kiran di masa mendatang. Benar-benar nasib buruk yang tengah menanti kakak sepupunya itu. Randy ikut prihatin dan berduka atas keputusan keluarga dan nasib buruk yang tengah menimpa Kiran, dan beberapa saat lagi akan Kiran ketahui. Randy bahkan tidak akan bisa membayangkan bagaimana ekspresi dan tanggapan Kiran setelah tahu kabar ini nanti. Bahkan Randy tak ingin ikut-ikutan menjadi saksi akan perubahan hidup Kiran.

#Bersambung...

Hehe...
Halo kawan-kawan. Aku bawakan yang anget dan baru untuk kalian, setwlah mengalami writter blok dengan ceritaku my senior. Maafkan aku ya, aku berharap kalian suka dengan cerita ini, dan terus doakan aku agar bisa melanjutkan cerita my senior. Hehe....
Selamat malam kawan-kawan.

Padang, 16 Juni 2019.
Nurul Fazira.

KIRANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang