Ketakutan yang Terlupakan

196 29 38
                                    

Aku bangun dari tidurku dan hanya menyaksikan hari-hari berlalu. Tanpa melangkahkan kaki ke luar rumah—aku takut menghadapi dunia yang tidak bisa ditebak itu.

Beberapa tahun yang lalu, aku masih normal. Pergi ke sekolah untuk belajar, menghabiskan waktu dengan teman-teman, pergi ke tempat baru dan bertemu dengan orang baru pula. Setiap hari tidak ada kata bosan dalam hidupku. Namun, semuanya mulai berubah. Tidak—diriku yang berubah, menjadi badut yang memalukan.

Semuanya bermula saat aku berada di semester akhir, ketika skripsi menjadi beban yang harus kupertanggung jawabkan selama kuliah. Aku mulai sering berpikir yang aneh-aneh; penelitianku bagus tidak, pembimbingku tidak keberatan jika kuminta waktunya, kalau aku disidang aku bisa tidak menjawab semua pertanyaan, bisa tidak aku lulus tepat waktu. Aku kira diriku terlalu paranoid. Sempat aku mencoba bertanya ke teman-temanku. Ternyata mereka juga memikirkan hal yang sama, maka kuabaikan perasaan itu.

Akhirnya wisuda ada di depan mata, semua orang bersorak-sorai di hari bersejarah itu—tetapi tidak untuk diriku. Selama duduk, menunggu tali togaku di pindahkan ke sisi kanan, pikiran negatif datang menghantuiku. Penampilanku tidak aneh kan, nanti kalau aku naik harus melangkah cepat atau lambat, aku tersenyum ke arah kamera atau tidak, apakah ada yang akan menertawaiku dengan nilai IPK-ku, kenapa teman-temanku mendapatkan predikat cumlaude sedangkan aku tidak.

Selama kabut hitam itu memenuhi isi kepalaku, selama itu pula perutku terasa mulas. Padahal ada larangan untuk keluar masuk ruangan selama acara. Apalagi masih 300 orang lebih hingga namaku dipanggil. Dengan penuh rasa malu, aku pergi ke kamar kecil. Selama satu jam aku tidak keluar-keluar dari sana.

Berkali-kali aku buang air besar. Setiap kali selesai, tiba-tiba rasa sakit diperutku datang kembali disertai rasa mual. Ibu yang menemaniku dibuat kebingungan. Akhirnya saat namaku hampir dipanggil, aku naik dengan wajah pucat pasi, keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Aku yakin semua orang menyindir penampilanku. Hari terburuk sepanjang hidupku.

Ibu dan Ayah yang cemas segera membawaku ke rumah sakit. Aku kembali berpikir, apakah aku menderita penyakit berbahaya? Namun dokter tidak menemukan ada hal yang aneh di tubuhku. Beliau hanya menyatakan bahwa diriku mengalami diare dan dehidrasi. Kami bertiga merasa lega mendengarnya. Tetapi semenjak itulah, penyakitku yang sebeneranya mulai unjuk gigi.

Semakin hari, keadaanku memburuk. Aku mulai mengalami depresi berat. Semua temanku mulai melangkah menjauh; ada yang kerja, lanjut kuliah di kampus bergengsi, malah ada yang sudah menikah. Sedangkan diriku hanya terus berjalan melingkar—gagal masuk ke universitas impian, gagal dalam tes wawancara kerja, aku juga sudah jarang berkomunikasi dengan teman-temanku.

Puncaknya ketika Ayah mulai memarahiku dan membanding-bandingkan diriku dengan orang lain. Kabut itu semakin pekat, gelap—menutupi pandanganku. Saat itulah aku terkena panic attack. Tangan dan kakiku kaku, ada suara berdengung yang menyakiti telingaku, kepalaku seperti akan meledak. Aku meraung kesakitan sembari menangis seperti bayi. Orang tuaku kembali membawaku ke rumah sakit. Tepat pada hari itu, aku dinyatakan mengidap anxiety disorder atau gangguan kecemasan.

Aku mulai mengurung diri. Jarang berinteraksi dengan orang lain. Sosmedku sudah tidak kugunakan. Hanya buku dan musik yang menemaniku setiap hari. Ayah sudah menyerah dan membiarkan anak gadis satu-satunya mengurung di rumah. Dengan sabarnya, Ibu mengurusku, meskipun kadang serangan itu terjadi lagi. Tidak ada lagi yang kupercaya. Aku takut dengan manusia, aku takut dengan pikiran mereka, aku takut dengan sesuatu yang tidak kuketahui.

Ibu yang tidak kehabisan akal selalu menyuruhku pergi keluar jika obatku sudah habis. Awalnya aku kesal—artinya aku harus berjalan di antara kerumunan manusia. Aku benci keramaian. Tetapi obat-obat itu membantuku mengurangi rasa sakit. Terpaksa rutinitas membeli obat harus kujalani.

The Oblivion of Fear #YaIndoMentalHealthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang