Secret Romance

My Secret Feeling

Entah sejak kapan aku mulai merasakan perasaan ini. Rasanya ada sesuatu yang berbeda saat aku menatapnya. Ada sesuatu dalam hatiku yang terus bermekaran setiap saat dengannya. Dan hal itu terus berlanjut hingga sekarang.

Aku tidak pernah merasakannya pada Kak Gara. Rasa nyaman yang kurasakan setiap bersama Kak Gara berbeda dengan apa yang kurasakan pada Kak Ian. Sejak dulu, Kak Gara selalu menjadi kakak yang baik untukku. Tapi Kak Ian... Ia bahkan masih belum bisa menerimaku sebagai adiknya. Keberadaanku dihidupnya tak lebih dari sekedar status di kartu keluarga. Aku pikir seiring dengan berjalannya waktu, sikap Kak Ian akan berubah, tetapi semakin kesini mengapa jarak antara kita malah semakin lebar? Ini tak mudah bagiku, hidup bersama orang yang bahkan enggan untuk sekedar berbicara padaku. Dan yang lebih parahnya lagi, kenapa aku harus merasakan perasaan ini padanya?

Hari minggu yang suram... Sejak Kak Gara memutuskan untuk kuliah di Australia, kini setiap kali Mama dan Papa sibuk dengan pekerjaan mereka meski di hari libur sekali pun, hanya ada aku dan Kak Ian di rumah. Meski pun begitu, aku dan Kak Ian seperti hidup di dunia yang berbeda. Ia enggan untuk memasuki duniaku, begitu pula dengan aku yang tidak punya keberanian untuk menyatukan 'dunia' kami. Situasi ini selalu membuatku jengkel. Aku benci karena setiap kali aku berhadapan dengannya, aku akan merasa kikuk dan tegang. Dan sikap Kak Ian tidak membuat keadaan ini menjadi lebih baik. Aku berusaha untuk menghilangkan perasaan sesak yang sejak tadi aku rasakan. Pagi ini aku sengaja membuatkan pancake kesukaan Kak Ian, tapi ia bahkan tidak mau meliriknya sama sekali dan mengatakan akan pergi keluar. Mungkin dia ada janji dengan temannya, atau mungkin... Ada seorang gadis yang akan berkencan dengannya. Tidak. Tidak. Tidak. Sadarlah, Lyvia. Ian kakakmu. Meski pun tidak sedarah, tapi itu tetap tidak bisa merubah statusnya sebagai kakakmu. Harus berapa kali aku mengingatkan diriku sendiri bahwa perasaan ini tak semestinya ada... Dan kenyataannya, Kak Ian bahkan tak pernah 'melihat' keberadaanku.

Dari pada terus-terusan kepikiran Kak Ian, lebih baik aku melakukan video call dengan Kak Gara. Aku sangat merindukannya. Kak Gara tidak pernah membiarkanku bersedih, ia selalu mempunyai cara untuk membuatku senang, makanya aku merasa sangat kehilangan sosok Kak Gara.

"Kenapa wajahmu seperti itu, vi?"

Aku menatap wajah Kak Gara di layar komputer. Ia terlihat semakin dewasa dengan model rambut barunya yang dibuat cepak. Dulu Kak Gara punya rambut panjang seperti Bill Weasley di Harry Potter, tapi Mama selalu mengomentari model rambutnya itu, dan berusaha untuk membujuk Kak Gara agar memotongnya. Kak Gara selalu bersikap masa bodo, tapi ketika ia diterima di Universitas Cambridge, ia akhirnya memutuskan untuk memotong rambutnya sebagai brand new life. Tapi dari semuanya, aku sangat menyukai senyum manisnya. Kalau kata Rara sih, senyumnya Kak Gara itu bisa disetarakan dengan senyumannya Miura Haruma. Well, she's right.

"Aku lagi bete. Lagi-lagi Mama sama Papa nggak bisa ngabisin weekend bareng. Aku sendirian, boseeenn~"

"Kan masih ada Ian."

"Kakak kayak nggak tahu Kak Ian aja deh. Pagi-pagi aja dia udah kabur."

"Vi, Kakak udah pernah bilang kan ke kamu, kalo kamu harus mulai duluan ngedeketin Ian. Ian tuh orangnya emang kayak gitu. Dia susah buat ngebuka hatinya ke orang-orang. Dari dulu dia selalu membuat tembok antara dirinya dan orang lain. Dia nggak bakalan ngomong duluan kalau orang nggak ngajak dia ngomong duluan. Dia juga tipe orang yang punya kesulitan dalam menunjukan perasaannya. Kakak nggak ngerti kenapa tuh bocah bisa beda sendiri, tapi itulah Ian. Kamu paham kan, Vi?"

"Nggak semudah itu, Kak... Setiap kali aku berusaha untuk memperbaiki keadaan ini, Kak Ian selalu membuatnya tidak mudah."

Apalagi dengan perasaan cinta ini... Kak Gara tidak pernah tahu bahwa perasaan cinta inilah yang semakin membuatku kesulitan untuk memperbaiki keadaan kami.