1 ;

322 44 6
                                    



Mereka melakukannya lagi. Saling berteriak, saling melukai, saling usir-mengusir.

Seorang pria kecil berumur tujuh tahun hanya terdiam di sudut kamarnya, kedua telapak tangannya yang penuh luka gores ia gunakan untuk menutup kedua telinganya. Takut—hanya itulah yang ia rasakan saat ini.

Mulutnya berbisik-bisik pelan, menggumamkan ungkapan-ungkapan doa agar kedua manusia yang tengah beradu mulut—yang merupakan kedua orangtuanya sendiri tersebut agar tidak memasuki kamarnya. Ia tak ingin kejadian kemarin terulang kembali. Ia tak ingin salah satu dari mereka datang ke kamarnya untuk melampiaskan kemarahan mereka padanya.

'Brak!' Pintu terbuka dengan kasar, menghasilkan suara yang bisa dibilang sangat keras. Tubuh pria kecil tersebut bergetar dalam sekejap, air mata perlahan mulai keluar dari kedua mata indahnya. Belum sempat melontarkan sepatah kata-pun, perempuan didepannya tersebut sudah menghempaskan tangannya pada pipi pria kecil tak bersalah tersebut. "Berhenti menangis seperti perempuan, Seokjin," perempuan itu mengangkat dagu sang pria kecil yang sedari tadi tak berani menatap wajahnya. "Aku akan pergi dari rumah ini. Kau yang memilih akan ikut aku atau dia," lanjutnya.

Pria kecil tersebut—Seokjin, ia hanya terdiam. Ia tak bisa memilih salah satu dari kedua orangtuanya tersebut—bukan karena ia membencinya. Seokjin tak pernah membenci kedua orangtuanya. Sejahat apapun mereka berdua, mereka berdua-lah penyebab Seokjin bisa hadir di dunia ini—itulah prinsip hidup Seokjin—dan prinsip hidupnya tersebut-lah yang menyebabkan dirinya tersiksa sampai saat ini.

Seokjin masih belum menjawab. Tak lama kemudian seorang laki-laki memasuki kamar Seokjin. "Kau sudah gila? Apa yang kau lakukan pada Seokjin?!" sang ayah menghampiri Seokjin lalu membelai pelan surai hitamnya. Sang ibu tertawa pelan. "Jangan berlagak seperti tanganmu tak pernah mendarat padanya sebelumnya," ucapnya sembari menunjuk Seokjin.

"Sudah cukup, aku pergi."

Sang ibu pun keluar dari ruangan bernuansa merah muda tersebut, meninggalkan kedua lelaki yang memiliki hubungan yang kurang baik tersebut dengan suara bantingan pintu.

Suasana kamar Seokjin kini sangatlah hening. Sang ayah yang semula tengah membelai rambut Seokjin tersebut kini telah meninggalkan Seokjin sendirian di kamarnya. Seokjin mengusap air mata yang keluar dari kedua matanya. Ia bukanlah perempuan, seorang laki-laki tidak seharusnya menangis—begitu yang ada di pikirannya saat ini.


***


Sudah sembilan tahun berlalu semenjak kejadian pahit tersebut. Pria kecil tersebut telah tumbuh menjadi orang yang berbeda. Seokjin sudah bisa melupakan semuanya. Kini ia tinggal di sebuah kamar di salah satu apartment sederhana yang terletak di ibukota.

Kamar tersebut seharusnya ditinggali oleh dua orang—ia dan ayahnya. Namun tebak siapa yang tak pernah kembali lagi setelah pamit untuk berangkat bekerja pada suatu pagi?

Kini Seokjin bekerja sebagai penulis novel. Karya-karyanya yang terkenal sangat dalam dan hitam tersebut memiliki cukup banyak peminat, pendapatannya juga lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, namun ia memilih untuk tak menghambur-hamburkan itu semua. Meskipun karyanya tersebut dikenal oleh banyak orang, namun ia lebih memilih untuk tak menunjukkan dirinya di hadapan orang-orang. Dalam dunia per-novel-an, ia bukan dikenal sebagai 'Kim Seokjin' melainkan sebagai 'Whalien 52'

Seokjin terdiam di meja kerja-nya, ia menggaruk pelan kepalanya yang tak gatal, menunggu suatu ide untuk muncul di kepalanya—yang tak kunjung datang. Lelah, ia pun menutup laptop yang dua tahun terakhir ini setia menemaninya untuk meluapkan ide-ide fantastis dalam otaknya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mono ; NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang