BAB 1

149 17 7
                                    

Suara teriakan sudah jadi makanan sehari-harinya. Begitu pula dengan suara perabotan pecah di dapur. Lebam terukir indah di setiap jengkal kaki dan tangan. Jika sudah begitu dua orang yang disayanginya akan saling menyalahkan dan berujung pada pertengkaran hebat lainnya.

Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali ulang tahunnya dirayakan. Yang jelas, sekarang Meia Lyndis sudah genap berusia enam tahun. Namun, tidak ada satu pun orang yang peduli. Mereka semua terlalu sibuk dengan dunia masing-masing.

"Aku sudah muak denganmu! Cukup sudah kau manfaatkan aku!" Tuan Clinson berteriak marah. Jemarinya menunjuk-nunjuk sosok wanita di depan.

"Justru kau yang memanfaatkan aku! Kau tidak becus sebagai kepala keluarga!" balas Nyonya Marie sambil sesekali mengacak rambut lembutnya dengan frustrasi.

Ini hari ulang tahun Meia. Seperti biasa, setiap tahun tidak ada kado, kue, apalagi pesta. Dua orang itu selalu sibuk bertengkar. Padahal pokok perkaranya tidak jelas, seakan-akan emosi keduanya akan naik tiap kali dipertemukan.

Meia duduk di kursi meja makan. Netranya memandangi pertengkaran kedua orang yang paling disayanginya dengan tatapan datar. Namun, meskipun begitu, diam-diam lengannya gemetaran menahan muak. Meia benci keadaan ini. Meia ingin mati.

"Cukup!! Aku akan meninggalkanmu!!" teriak Tuan Clinson sebelum pada akhirnya tubuh tegap pria itu menghilang ke balik daun pintu yang terbanting keras.

👑

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Meia yang terkantuk-kantuk seketika kembali terjaga secara sempurna saat pintu rumah diketuk. Gadis itu menguap sebentar lalu bangkit dari sofa ruang tamu. Dengan dua kali putaran kunci, daun pintu pun terbuka dan memperlihatkan sosok wanita setengah baya dengan pakaian kantor minim bahan. Tidak ketinggalan, aroma minuman keras pun turut menguar dari tubuhnya.

"Lembur lagi?" sinis Meia. Sudah lama gadis itu menyimpan rasa muak kepada ibunya.

"Bukan urusanmu," balas Nyonya Marie sambil melempar asal tas selempangnya ke lantai.

Meia hanya bisa mendengkus sebal melihat kelakuan sang ibu. Serta merta dirinya langsung memungut tas yang baru saja terlempar lantas berceletuk, "Aku anakmu, lho."

Nyonya Marie tampaknya tidak peduli dengan celetukan anak kandungnya. Mungkin saja memang dirinya sudah tidak menganggap Meia sebagai anaknya lagi. Wanita itu terlalu sibuk mencurahkan segala perhatian dan rasa cintanya terhadap seorang pria muda yang menjadi CEO baru kantor tempat dirinya bekerja.

Lidah Meia berdecak sebal. Tanpa bisa dikontrol, bibirnya pun mengeluarkan suara, "Bersenang-senang dengan pria murahan itu lagi?"

Mendengar hal tersebut, tentu saja Nyonya Marie berjengit. Ada sengatan listrik yang menyambar dadanya hingga menimbulkan nyala bara emosi. Dengan tergesa, wanita itu pun berbalik menghadap ke arah Meia dan langsung mendaratkan satu tamparan keras.

"Jaga ucapanmu, Meia. Masih untung aku bisa menghidupimu tanpa si Clinson sialan itu!" cerca Nyonya Marie emosi. Satu tatapan nanar ia layangkan kepada anak semata wayangnya.

Meia tersenyum kecut. Dengan cekatan, ia mengembalikan tas selempang yang ada di tangannya ke arah sang pemilik lantas berlalu ke arah kamarnya di lantai dua. Memang, hatinya sakit. Dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Namun, menangis di hadapan Nyonya Marie adalah kegiatan yang percuma karena hati ibunya sudah mati.

Sudah sepuluh tahun berlalu sejak orangtuanya bercerai. Dan hal tersebut membuat keadaan mental Meia bertambah parah. Sempat terpikirkan bahwa setelah melewati perceraian orangtuanya, hidupnya bisa sedikit agak tenang karena tidak harus lagi mendengar teriakan dan umpatan.

Namun, Meia salah besar. Gunjingan tetangga membuat Nyonya Marie frustrasi. Wanita itu tidak segan-segan menjadikan anaknya sendiri sebagai kambing hitam atas semua hal buruk yang diterimanya. Sejak itulah, Meia menjadi lebih pendiam. Sekalinya dia bicara, pastilah yang keluar dari bibir adalah nada sinis.

"Tuhan, jika Kau punya cara agar aku bisa mati lebih cepat, maka segera beritahu aku caranya," gumam Meia serak. Netranya memandangi bulan purnama di luar jendela dengan tatapan tersiksa. Lama-kelamaan, ada bulir bening yang meluncur dari sana.

"Kalau bisa, aku ingin mati tanpa rasa sakit."

👑

My Prince Of OZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang