20%

16 8 4
                                    

Senyum diwajahmu
Bahkan lebih indah dari senja
Haruskah aku pinta pada Tuhan?
Agar senja tidak melebihi keindahanmu.

•••

"Na! Buruan deh Abang tinggal nih!" ancaman Satrio--kakak Ina--membuat Ina mempercepat langkahnya.

"Sabaran napa sih Bang," gerutunya dengan tangan yang sibuk memutar kunci pintu rumah.

"Elu nya yang lelet bege. Buruan gue telat ini."

"Iya-iya sabar bentar napa sih." Selesai mengunci dan menyimpan kuncinya di tempat yang aman, Ina bergegas menaiki motor kakaknya dan setelah itu kuda besi itu melaju meninggalkan pekarangan rumah Ina.
"Bang, lo pulang malem lagi ntar?" tanya Ina saat sudah turun dari motir dan melepas helmnya.

"Iya, kenapa? Gapapa kan kalau gue ga jemput lagi?" tanya Satrio.

"Sans Bang, lagian gue udah gede ini." Setelah menyelesaikan ucapannya Satrio malah mengusak rambut Ina pelan.

"Gede apanya, bocel gini," ledek Satrio.

"Ihh Abangg," rengek Ina tak terima yang membuat Satrio tertawa.

"Ntar kalau lo udah selesai lihat kembaran lo langsung pulang ya, jangan ngelayap!" wanti Satrio.

"Kembaran? Emang gue ada?" Satrio memutar bola matanya malas mendengar pertanyaan Ina.

"Senja maksud gue. Udah ya gue cabut, tiati ya ntar sampe rumah kabarin." Motor Satrio melenggang pergi dari halaman sekolah Ina.

Ina menyusuri lorong sekolah yang sudah mulai ramai dengan para murid, tetapi yang paling menarik perhatian Ina adalah secarik kertas yang tertempel pada madding sekolah. Ina mendekat untuk membaca lebih jelas tulisan yabg tercetak disana.

"Pensi? Bukannya belum ujian ya?" monolgnya di depan kertas itu.

"Woy Na!" seseorang merangkulnya dari belakang yang membuat dirinya berjingkat kaget.

"Sialan lo Ta! Untung gue ga ada riwayat jantung," umpatnya pada Lita.

"Lagian gue lihat dari ujung lorong ngeliatin madding sampe segitunya, tuh madding juga ga bakalan hidup kali Na," seloroh Lita.

"Garing. Gue tuh lagi lihat kenapa ada pensi pas belum pada ujian?" Perhatian Lita saat ini langsung menuju pada kertas itu juga.

"Makanya jan tidur kalau ada jam kosong." Lita menengok ke arah Ina sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. "Osis kan kemarin udah bilang, ujian kita tuh dimajuin jadi 2 minggu lagi," jelasnya.

"What?! Dua minggu lagi? Gak kecepetan apa?" teriak Ina spontan.

"Na! Toa banget sih!" Lita reflek melepaskan rangkulannya dan mengusap telinganya yang berdengung.

"Eh maaf-maaf gue reflek," ucap Ina dengan sedikit ringisan.

"Itulah intinya. Eh Na, gue lihat tugas Kimia dong." Lita menampilkan ekspresi yang menurut Ina, menggelikan.

"Geli tahu gue lihat ekspresi lo. Ke kelas aja deh." Ina menarik pergelangan tangan Lita untuk menuju kelas mereka.

•••

"Na, lo mau langsung pulang apa gimana?" tanya Lita saat mereka sudah selesai membereskan peralatan sekolah mereka.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore yang artinya sekolah baru saja usai dan Lita serta Ina masih betah di dalam kelas.

"Kayaknya gue langsung ke tempat biasanya deh," jawab Ina sembari mengecek barang-barangnya.

"Iyadeh yang mau ketemu sapa tuh namanya, Putra?" tanya Lita sedikit menggoda.

"Apaan sih Ta! Gue tuh mau ketemu kembaran gue bukan Putra!" balas Ina sewot.

"Yaudah biasa aja sih gausah sewot gitu." Lita yang tadinya duduk di meja berjalan kearah Ina dan merangkulnya.

"Na, kayaknya nih hari gue ga bisa main ke rumah deh. Soalnya gue mau pergi hari ini." Mereka berdua sekarang berada di jalan menuju halaman.

"Gapapa kali Ta, tapi besok temenin gue beli buku ya."

"Iya. Yaudah gih sono udah mendung juga takut keburu hujan, gue duluan ya. Bye. "

Sampai di gerbang sekolah mereka berpisah jalan. Walaupun mereka bertetangga, tetapi jika sore selepas sekolah usai Ina akan mengambil arah kiri untuk menuju tempat ia biasa habiskan dengan melihat senja sedangkan Lita mengambil arah kanan untuk langsung pulang ke rumah.

Ternyata Dewi Keberuntungan tidak berpihak pada Ina hari ini, sesampainya di tempat itu hujan turun dengan deras membasahi tanah yang kering. Ina menghela nafas entah kenapa ia merasa hari ini senja tak ingin bertemu dengannya.

"Apa ini?" Matanya menangkap secarij kertas yang tergantung di salah satu pohon tempat biasa ia menunggu.

Dear Senja,
Gimana hari lo? Senja kayaknya gak bakalan dateng deh hari ini, jadi mendingan lo pulang sebelum hujan. Eh, tapi kalau udah hujan lo pakai aja payung di deket pohon.

Putra

Entah mengapa Ina tak menyadari jika ada payung di dekatnya. Dia mengambil payung itu dan bergegas membukanya untuk melindungi dirinya dari derasnya air hujan yang turun.

Hari ini senja tak datang, karena hujan yang mengguyur. Tetapi mengapa Putra juga tak datang? Entah kenapa kini Ina tak bisa memungkiri bahwa ia ingin melihat senyum indah dari Putra, senyum yang indahnya melebihi senja kesukaannya.

•••

Maaf buat late update nya. You publish lagi nih, feedback diperlukan ya. Makasih semuaa

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang