pt.1

40 4 10
                                    

Sudah beberapa bulan aku berada di kota ini. 1 bulan? 2 bulan? 3 bulan? entahlah rasanya sudah lama sekali sejak pertama aku menginjakkan kaki ke ibu kota.

Benar kata pepatah yang mengatakan usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Berawal dari bekerja paruh waktu di salah satu restoran cepat saji. Kini aku telah menjadi pengusaha sukses.

Aku memiliki sebuah rumah bagaikan istana, kendaraan mewah dan tentu saja tabungan yang tak terhitung lagi jumlahnya.

Siang itu aku sedang bermain piano yang berada di ruang tengah. Aku memainkan lagu favorit ku yaitu Canon ciptaan Johann Pachelbel. Entah kenapa lagu ini selalu membuat ku merasa tenang sekaligus sedih.

Tiba-tiba aku teringat saat pertama kali aku mendengar lagu ini. Saat itu aku sedang bekerja paruh waktu mengantar makanan menggunakan motor ninja hitam kesayanganku. Dari kejauhan samar-samar aku mendengar suara biola. Suaranya sangat merdu dan memanjakan telinga, disaat bersamaan suara itu seakan melepas penatku.

Karena penasaran aku mencari arah suara itu. Tepat di ujung jalan yang ku lewati ada sebuah taman dan gazebo yang indah. Tapi ada 1 hal yang membuat mataku tak lepas dari keindahan itu semua. Disana ada seorang gadis yang sedang bermain biola. Dia menggunakan dress putih, bertolak belakang dengan biolanya yang berwarna hitam. Kulitnya putih pucat, dan matanya coklat terang. Apakah aku sedang melihat bidadari? Pikirku.

"Ah," gumamnya. Seketika ia memberhentikan permainan biolanya. Wajahnya tampak merah merona. Apa dia menyadari keberadaan ku? Pikirku lagi. Karena canggung aku bertepuk tangan namun rasanya aku membuatnya semakin canggung.

"Wow.. lagu apa itu?" Tanyaku dengan maksud memecah suasana. Dengan malu-malu ia menjawab, "Canon, ciptaan Johann Pachelbel."

"Wow, tidak hanya permainanmu. Tapi suaramu juga bagus! Siapa namamu?" Tanyaku lagi seketika wajahnya kembali memerah.

"Letta, Arletta." Jawabnya tersipu malu.

"Nama yang cantik!" Pujiku.

"Bagaimana dengan namamu?"

"Panggil aja Mamang." Jawabku dengan PD. ia tertawa.

"Mamang? Orang kek kamu nggak pantas di panggil Mamang."

"Tapi kerjaan ku jadi mamang, gimana dong?"
Dia memandang motor ninjaku yang dihiasi keranjang makanan. Sekali lagi dia tersenyum.

"Kyle Evren"

"Hah?"

"Panggil aja 'Kyle' aneh ya?"
Ujarku dengan malu-malu karena namaku terdengar seperti nama wanita.

"Nggak kok, namanya keren!"
Jawabnya sambil tersenyum manis. Seketika wajahku merona.

Sejak saat itu aku sering pergi ke kompleknya. Selain cari rezeki aku juga cari jodoh di sana. Siapa lagi kalau bukan Arletta.

"Let, aku punya kejutan."
Ujarku sambil membelai rambut coklatnya yang indah.

"Apa, mang?"

"Aku bisa main piano."

"Serius!?"
Tanya Arletta. Seketika ia terbangun. Secara tak sengaja bibir kami saling bersentuhan dan itu pertama kalinya kami berciuman.

Wajahku memerah, hal yang sama juga terjadi pada Letta sehingga kami merasa canggung satu sama lain.

"Jadi, kamu bisa main piano?"
Tanya Letta. Aku mengangguk.

"Selama ini aku kursus piano. Aku ingin sekali bermain piano denganmu,"
Jawabku dengan wajah memerah. Ini benar-benar hal bodoh yang pernah ku lakukan. Aku menyisihkan uangku demi belajar piano agar aku bisa bermain dengan Arletta.

White AlbumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang