Jangan Lupa dengan Kintamani

0 0 0
                                    

Pagiku diusik oleh suara ketukan pintu, aku dan Era terkejut dan langsung terbangun dari tidurku. Tepat pukul  05:00 wita. “ cepat bergegas sudah jam 5 pagi” ujar dari seseorang yang selalu menuntutku harus bertindak sesuai kataku. Iya hari ini kami ada janji untuk bergi ke kintamani. Ini buka kali pertama aku ke kintamani.sudah kali ketiga aku pergi kesana namun selalu saja ada yang membuat aku menarik lagi untuk pergi kesana.
Motor-motor pun dinyalakan kami semua telah berkumpul tepat jam 6 pagi, tak sabar rasanya sampai disana. Kali ini aku pergi bersama teman-temanku terasa berbeda.
Mataku terbelalak kala itu, pagiku disuguhkan pemandangan yang membuat aku tercengang dan kagum akan ciptaan Tuhan yang maha Esa. Bangunan-bangunan yang berjejer di pingir jalan desa songan iti menarikku untuk ingin pergi ke kintamani. Bangunan sederhana yang terdiri dari batu batako dan tanpa atap. Bangunan itu membuatku selalu bertanya dengan temanku jro okta namanya, lalu sedikit demi sedikit dia mulai menceritakan bagaimana akhirnya terbebtuk bangunan itu.
Bangun tua yang sederhana itu tempat warga songan yang ingin bersembahyang di pura Jati Songan. Saat hujan turun disanalah tempat mereka berteduh. 2 hari sebelum hari rainan di pura Jati biasanya orang-orang desa yang berada jauh dari pura jati berbondong-bondong datang ke desa songan untuk membersihkan rumah-rumah tanpa ataap itu. Pahpah di ulat untuk dijadikan atap berteduh mereka.
Hari yang di tunggu pun tiba, raianan di Pura Jati seakan menjadi moment yang umah warga Songan dinanti, bagaimanatidak dihari itu hampir seluruh desa songan atas maupun bawah berkumpuldan memanjatkan doa di tempat ini.
Alunan gambelan dan kidung dewa yadnya di lantuntakan “Ide Ratu saking luhur. Kawula nunas lugrane. Mangde sampun titang tanwruh. Mengayat Betare mangkin. Titang ngaturang pejati. Canang suci mwang daksina. Sami sampun puput. Pratingkaning saji.” Alunan nada itu seakan begitu sakti dan sangat menenangkah hati.
Hujan turun seakan menganugrahi umat hindu yang bersembahnyang. Orang-orang memasuki bangunan tua yang sudah mereka persiapkan tersebut. Bersama keluarga besar mereka saling bersendau gurau dibawah rintikan hujan.
“kita berteduh disana saja nak” ujar ibu berpenampilan sederhana sambil menggendong anaknya dan menararik tangan anak yang seusia 6 tahun.
“maafkan bapak yang belum mampu membangun gedong-gedongan” raut wajah lelaki yang menghampiri ibu dan ketua anaknya ke emperan sebuah toko.
Bangunan itu seakan membedakan Kasta kekayaan bagi masyarakat disana, dibalik yadnya ada duka dan pilu yang tergambar diantara wajah kedua orang tua itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 16, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jangan lupa dengan KintamaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang