"Saya Thalita El Mahira, jurnalis dari Warta Hari Ini, bisakah saya membuat jadwal wawancara dengan Bapak Aji Ernawa Gumelar?" El melafalkan kalimat itu dengan percaya diri. Menunjukkan profesionalitas dan pengalamannya di bidang jurnalisme. Padahal ia mengeja nama Aji berulang kali, agar suaranya tidak terdengar aneh oleh wanita yang menerima telefonnya. Mungkin resepsionis, atau sekretaris Aji. El tidak begitu peduli.
"Maaf, Pak Aji tidak mau menerima wawancara"
Tut..tut..tuutttt....
Shit.
El mengumpat pelan.
Songong banget tuh orang, mentang-mentang udah dapet gelar eksmud.
Sambil terus menggerutu, El membuka ponselnya. Menggulir daftar kontak sambil mencari nama Aji. Bagi El, tidak ada narasumber yang tidak bisa dihubungi. Jika tidak bisa secara formal, mungkin ajakan ngopi bisa digunakan.
"Halo, Aji ya?" El menyapa ramah. Khas sapaan kepada teman lama.
"Iya, saya Aji. Ini siapa.."
"Ya ampun, Ji...lo lupa sama gue? Gue El, Aji..."
Terjadi hening beberapa saat. Aji sedang mengingat-ingat, apa ia memiliki teman bernama El. Sedangkan El berharap cemas, apa triknya kali ini akan berhasil.
Di masa SMA dulu, El dan Aji memang bukan teman dekat. El adalah siswi yang aktif pada kegiatan ekstrakurikuler. Jurnallis sekolah, OSIS, dan klub pecinta alam. Hampir semua orang mengenal El. Aktivis sekolah yang sudah banyak memberikan sumbangsih untuk sekolah. Berkebalikan dengan El, Aji adalah bintang sekolah di bidang pelajaran. Aji membawakan banyak trofi penghargaan dari setiap olimpiade yang dijuarainya. Hampir semua warga sekolah juga mengenal Aji. Tapi kepribadiannya yang tertutup, membuat Aji tidak mempunyai banyak teman. Baik Aji, mau pun El, bagaikan dua magnet yang berbeda kutub. Mereka memiliki pusat dunia mereka masing-masing. Tidak tarik menarik hanya karena tidak berdekatan.
"El?" Suara Aji menandakan bahwa ia nyaris tidak ingat pada El.
"Iya, gue El. Thalita El Mahira..."
"Oh, cewek nggak bisa diem itu ya?"
*****
Dari hasil pembicaraan via telefon itu, sekarang El duduk di sudut gelatto sambil memandang semburat senja yang menyinari jalanan ramai oleh aktivitas sepulang kerja. Di depannya, segelas moccachino mengepulkan uap. Belum tersentuh sama sekali. Di otak El, serangkaian kata menari-nari. Membuat tangannya gatal untuk menulis. Tapi, ia menahan tangannya untuk mengambil buku yang selalu ia bawa kemana-mana. Sore ini jadwalnya wawancara, ia tidak mau kegiatan menulisnya terganggu. Hobinya itu harus tersalurkan dengan maksimmal, tidak setengah-setengah.
"El?" Sapa seorang lelaki dengan kemeja warna biru laut yang lengannya tergulung sampai siku, dan Kacamata minus membingkai mata. Sekilas pandang, El langsung tahu bahwa ia Aji.
"Hai, Aji kan? Ayo duduk Mau pesan apa?"
Sebelum menjawab, Aji menilai El sekilas. Rambut diikat kuncir kuda, make up natural, blus sederhana warna violet, El gadis yang tidak begitu peduli penampilan. Dari caranya menyambut Aji, El sepertinya orang yang mudah bergaul.
"Em...americano saja"
El lantas memanggil waiter. Menyampaikan pesanan Aji.
"Apa kabar, Ji?" Tanya El basa-basi. Salah satu trik wawancara adalah membuat narasumber nyaman. Dengan begitu, narasumber akan merasa nyaman, dan menyampaikan informasi tidak terduga.
"Baik, kamu?""Baik juga, emm...bisa nggak kita bicaranya santai aja. Jangan kaku gitu"
Aji menghela napas. Permintaan sederhana El mungkin sulit ia penuhi."Kamu ngomong gue-lo aja engga apa-apa. Aku engga terbiasa ngomong gitu soalnya"
Dasar orang kantoran. Batin El.
"Okay" Ucapan El terhenti oleh kedatangan pelayan yang mengantarkan pesanan Aji. Sebelum El kembali angkat bicara, Aji lebih dulu menanyakan tujuan El mengajaknya bertemu. Aji hafal betul, tidak ada yang sudi bertemu dengannya tanpa alasan, dan tujuan tertentu.
"Gini, Ji. Gue mau tanya-tanya nih tentang lo, pekerjaan lo, dan beberapa hal lagi"
El tidak mahir berbohong. Apalagi posisinya sebagai jurnalis sebuah harian ternama, bohong sedikit saja akibatnya bisa sampai penjara. Jadi, El terang-terangan mengatakan alasannya mengajak Aji bertemu."Oh, kamu paparazi? Dari media apa? Kamu tahu kan, kalau saya tidak menerima wawancara apa pun?"
Ungkapan sarkasme Aji membuat El melongo. Tapi sudah sejauh ini, mana mungkin El mundur?"Iya, gue wartawan. Gue juga tau kalo lo engga menerima wawancara dari sekretaris lo. Tapi, apa salah kalo gue pengen kenal lo lebih dekat setelah dulu waktu SMA kita engga kenal dekat?"
Kini ganti Aji yang terkejut dengan jawaban El. Aji kira wanita di depannya akan menyerah.
"Aji? Boleh kan? Setahu gue, di agama yang lo yakini, engga boleh memutus tali persaudaraan. Bener kan?"
*****
Aji kini termenung. Menatap kosong belantara kota waktu malam dari balkon apartemennya yang terletak di lantai 18 sebuah gedung real-estate karya pertamanya 3 tahun yang lalu. Gedung 20 lantai. 3 lantai untuk mal, 1 untuk gymnasium, 14 untuk apartemen, 1 untuk club, dan rooftop untuk kolam renang dan taman. Apartemennya memang bukan yang termewah. Ia tidak begitu suka kemewahan. Hasil didikan kedua orang tuanya yang tinggal di desa. Jadi, Aji membuat apartemennya seperti rumahnya dulu dalam bentuk lebih modern. 2 kamar, ruang utama yang merangkap ruang tamu, 1 kamar mandi, dan kitchen island yang cukup lengkap untuk ukuran laki-laki. Memasak adalah hobi kedua Aji setelah bekerja. Selama 3 tahun tinggal di apartemen ini, Aji selalu merasa nyaman. Senyaman ia tinggal di apartemen ini, ia juga nyaman dengan pekerjaannya. Baru kali ini ia merasa janggal. Setelah sore tadi ia memperkenankan seorang wartawati menyimpan selembar kartu namanya.
"Sim, lo tau El?" Akhirnya Aji memilih menghubungi Qasim. Sahabatnya.
"Yang tadi ketemu lo itu? Baru tau tadi sih, tapi gue sering lihat dia kongkow di mal"
"Menurut lo dia gimana, Sim?"
"Cantik, tapi kayaknya matre. Cocok sih sama lo, dia bisa ngabisin duit lo yang engga habis-habis itu"
Qasim tertawa."Sialan lo"
"Udahlah, Ji. Kalo lo mulai suka sama tu cewek, embat ajalah. Jangan bikin kendor"
Sisa pembicaraan itu hanya berisi umpatan-umpatan yang Aji ucapkan untuk menimpali ledekan Qasim.
*****
Di lantai dasar gedung yang ditinggali Aji, di waktu yang sama, El duduk sambil memainkan ponselnya. Mengabaikan Naya yang berceloteh tentang koleksi baru Dior, Zara, dan sederet merk-merk terkenal lainnya.
"Lo dengarin gue nggak sih, El?" Ucap Naya setelah menyadari bahwa El sedari tadi hanya mengetik sebuah nomor, lalu menghapusnya, lalu mengetiknya lagi, lalu menghapusnya, begitu berulang kali.
"Mendengar tidak berarti harus sambil melihat pembicaranya, Naya" El mejeda ucapannya dengan menarik napas. "Gue dengerin kok, lanjutin aja"
"Itu nomor siapa sih, El? Seinget gue, lo cuma hafal nomor lo, orang tua lo, dan nomor kantor"
El tidak menjawab pertanyaan Naya. Alih-alih, dia memberikan selembar kartu nama Aji.
"Astaga El, lo mau apain bos gue?"
El lupa bahwa Naya adalah salah satu pegawai di perusahaan Aji. Jadi sebelim menjawab, El menghela napas lagi.
"Gue mau wawancara, tapi kerena tadi dia ada kesibukan, dia ngasih kartu nama buat penjadwalan wawancara ulang"
Naya menatap El tidak percaya. Mana mungkin Aji meninggalkan kartu namanya kepada seorang paparazi? Bukankah rumor yang beredar mengatakan bahwa Aji tidak melayani wawancara apa pun?
"Serius El?"
"Iya, buat apa gue bohong?"
"Ya, siapa tahu itu cuma akal-akalan lo aja biar engga keliatan jomblo..."
El menimpuk kepala Naya menggunakan sling bagnya.
*****
Yeay, part 1 selesai.😉 thank's for read, ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Liar
Short StoryKamu bisa membohongiku, tapi kamu tidak bisa membohongi dirimu sendiri, dan matamu mengungkapkan hal terjujur yang bahkan enggan kau akui. Sayangnya, aku bisa membaca matamu, El.