El mulai suka menulis ketika duduk di bangku SMP. Awalnya hanya mimpi-mimpinya untuk memiliki kehidupan yang lebih baik yang dia tuliskan. Seperti membentuk seorang El baru. El yang ingin ia wujudkan di dunia nyata, tetapi hanya bisa tertuang dalam goresan tinta. Satu cerita pertamanya tentang seorang remaja perempuan yang menjadi idaman teman-teman lelakinya sukses membuat jatuh hati nyaris satu warga sekolah. Cerita itu diterbitkan di papan mading, dan majalah sekolah. Menarik El ke klub menulis di sekolahnya.
Namanya semakin eksis di jenjang SMA. Dia mengikuti ekstrakurikuler jurnalistik dan OSIS yang menjadi dua pioner sekolah. Juga ekstrakurikuler pecinta alam yang eksklusif. Jarang duduk diam di kelas, tapi nilai akademiknya tetap baik. Kesayangan para guru di bidang non-akademik, karena di bidang akademik ada seorang Aji Ernawa Gumelar yang sering memborong piala-piala olimpiade sains dan matematika. Bukan masalah yang besar bagi El saat itu. Dia tidak suka berteman dengan orang yang hanya berkutat dengan buku-buku bahkan ketika duduk di kantin.
El dan Aji seakan menjadi dua kutub magnet yang memiliki daya tarik masing-masing. Keduanya tidak tarik menarik hanya karena saling berjauhan. Hingga saat senja El memenuhi janji wawancaranya bersama Aji, berkesempatan mengamati Aji langsung dari dekat, El merasa tertarik.
Aji saat ini bukanlah lelaki cupu yang dulu membawa bukunya ke kantin. Dengan kemeja warna biru langit yang lengannya sudah tergulung hingga siku, dasi polos warna navy, dan rambut rapinya, Aji bisa menjadi most wanted CEO under 30. Apalagi sederet pencapaian, dan kemisteriusan sosok Aji menambah pesona lelaki itu. Apalagi dengan efek golden hour, nilai ketampanan Aji meningkat drastis.
Semburat jingga mengintip malu-malu di celah gedung pencakar langit. Menerobos kisi-kisi ruang kerja Aji Ernawa Gumelar. Menyilaukan pandangan si empu ruangan terhadap seorang wanita di hadapannya. Dalam hati Aji merutuki peletakan sofa yang menghadap ke arah matahari terbenam. Menghalanginya menatap lawan bicaranya di saat seperti ini. Interview time. Aji objeknya.
"Okay, kita mulai ya?" El mencoba rileks. Menatap narasumbernya lekat. "Aji, emb...curiculum vitae-nya dikirim lewat email aja ya? Kita langsung bahas tentang hal-hal yang lebih..."
"Ayo mulai."
"Eh..okay. Jadi gimana hidup lo setelah SMA?"
"Itu ada di curriculum vitae."
"Eh...oke, selanjutnya bagaimana ceritanya kamu mendirikan Ventilarchi?"
"Aku kuliah di UGM Jurusan Teknik Arsitektur"
"Lalu?"
"S2 di Nanyang Technological University Singapore di jurusan yang sama. Sambil mulai jadi arsitek freelancer"
"Gimana ceritanya kamu mendirikan Ventilarchi?"
Aji tidak segera menjawab. Ia tidak begitu suka membeberkan cerita hidupnya pada orang lain. Apalagi pada El, yang notabene seorang jurnalis. Sedang di tempatnya duduk El sudah jengah menunggu Aji angkat bicara.
"Ji, lo bisa percaya sama gue." ucapan El terdengar meyakinkan, tapi tidak sekali-dua kali Aji tertipu oleh jurnalis yang mengingkari janjinya.
"Bisa menanyakan hal lain?"
El termangu. Ada hal yang mengusik Aji tentang sejarah berdirinya Ventilarchi, perusahaan yang bergerak di bidang arsitektur yang dipimpin Aji. Atau Aji yang bermasalah dengan wartawan.
"Eemm" El menilik ulang daftar pertanyaan yang telah disusunnya. semua berurutan. berawal dari awal berdirinya Ventilarchi. sekarang El kebingungan. Seharusnya wawancara ini tidak membuatnya lengah hingga tidak mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan cadangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Liar
Short StoryKamu bisa membohongiku, tapi kamu tidak bisa membohongi dirimu sendiri, dan matamu mengungkapkan hal terjujur yang bahkan enggan kau akui. Sayangnya, aku bisa membaca matamu, El.