Derap langkah menggema memenuhi koridor. Matahari sudah bergerak menuju ufuk barat, para siswa sudah kembali ke kediaman masing-masing, menyisakan sepi yang membungkus atmosfer sekolah hingga pagi menjelang. Hanya penjaga sekolah dan beberapa anggota organisasi siswa yang masih setia menunjukkan eksistensinya di tempat ini. Dan pemuda pemilik derap tadi akan menemui salah satu dari mereka.
Langkah kakinya terlihat penuh penekanan, tangannya mengepal disisi kedua saku celana, menahan gejolak emosi yang menarik turunkan dada bidangnya, sebisa mungkin menenggelamkan keraguan akan keputusannya.
Farel, ia bukan lagi seorang siswa, gelar alumni sudah ia peroleh beberapa bulan lalu. Tujuannya kembali mengunjungi sekolah lamanya tidak lain untuk menemui seorang adik kelas yang menjadi kekasihnya sejak setahun lalu. Namun hari ini ia bertekad untuk menanggalkan status yang menggeluti mereka.
"Chil, ada yang mau aku omongin" ujarnya datar setelah menemukan gadisnya diantara anggota organisasi yang sedang mendirikan stan. Sepertinya ulang tahun sekolah kali ini akan berlangsung meriah.
"Kak Farel!" seru gadis itu takjub, senyum lucu terbit dari kedua belah bibirnya. "Mau bicarain apa?" Tanyanya kemudian tanpa menghilangkan jejak binar dari kedua netra coklat itu.
Pandangan Farel mengedar, menyapu penjuru lapangan. "Nggak disini, kita ke kantin aja." Ujarnya, kemudian dibalas anggukan oleh gadis dihadapannya.
Mereka berjala bersisian, tidak ada gandengan yang biasa menyertai langkah keduanya, dan gadis itu tidak terlihat keberatan maupun merasa curiga. Tidak ada percakapan yang berarti hingga mereka tiba di kantin sekolah, hanya pertanyaan-pertanyaan kecil dari bibir tipis yang sekedar menanyakan kabar Farel.
Netra coklat itu menatap Farel, menuntut pemuda ini untuk angkat bicara. Tatapan itu terlihat menggemaskan di mata Farel, ingin ia mengusap surai hitam yang tak lagi tertata rapi itu, namun ego sudah terlebih dahulu menguasai dirinya.
"Mochil, aku ngerasa hubungan kita nggak ada artinya," ucap Farel ambigu, mengundang gurat bingung pada kening gadis dihadapannya. Gadis itu tidak menyela, menunggu Farel menjelaskan maksud dari ucapannya.
"Kamu terlalu childdish, aku merasa jadi kakak kamu, bukan pacar kamu. Dan aku tahu, kamu nggak pernah serius suka sama aku."
Farel dapat melihat gadis itu mengerutkan keningnya.
"Disini yang mencintai cuma aku sepihak, benarkan? Seakan hubungan kita nggak berarti apa-apa untuk kamu." Farel menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya, mengabaikan netra coklat yang menusuk bola matanya tanpa jeda. "Jadi sebaiknya kita putus,"
Kalimat terakhir yang melesat dari lisan Farel seakan menghunus kerongkongan gadis yang dipanggil Mochil itu. Sadarkah pemuda ini dengan ucapannya? Bagaimana bisa ia menempatkan Mochil didalam kutipan 'gadis tanpa perasaan'.
"Kata siapa?" Farel dapat melihat tangan mungil itu mengepal kuat. "Siapa yang udah ngeracuni pikiran kakak dengan hipotesis seperti itu? Apa sayang aku tidak cukup bagi kamu, hm?" Perlahan, butiran nanar mulai berlomba melesat meninggalkan sepasang pelupuk indah Mochil.
"Kak Farel salah, kakak udah salah menilai aku. Aku mungkin terlihat kekanakan, tapi bukan berarti aku nggak bisa menjadi dewasa. Aku memang bodoh mengenai cinta, maka dari itu aku belajar dengan mencintai kamu. Dan kamu sendiri yang bilang kalau kamu nggak keberatan dengan itu. Aku selalu berusaha ngubur ego aku supaya engga merengek didepan kamu, aku juga coba memahami kamu, belajar sabar dan engga ngambek. Aku ngerubah semua kebiasaan buruk aku, aku juga coba bersikap lebih dewasa. Aku lakuin semua itu untuk menjadi pacar yang sempurna buat kamu." Gadis ini menunduk menyembunyikan wajahnya.
"Mochil," lisan Farel mendadak kelu, hanya itu yang berhasil keluar dari mulutnya. Rasa bersalah mulai menggerogoti hatinya.
Mochil menarik salah satu ujung bibirnya, membentuk seringaian tipis. "Aku nyiksa diri sendiri, membatasi pergerakanku. Dan bahkan kamu nggak menghargainya. Aku childdish, semua orang tahu itu. Dengan bodohnya kamu pilih perempuan childdish ini. Aku kira kamu beneran nerima apapun wujud aku. Ternyata kamu lebih suka bualan receh Rio." Gadis ini mengakhiri kalimatnya dengan kekehan sinting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mochilla
RomanceKudengar, jatuh cinta itu semanis cheri, yang tidak akan pernah bosan untuk dikecap. Hangatnya seperti kau memeluk langit jingga di penghujung senja, merasakan darahmu berdesir hebat bersamaan dengan letupan-letupan popcorn yang melompat nyata di ja...