Blank

4.2K 364 17
                                    

Hari itu sama seperti biasanya. Namjoon tersenyum singkat pada pegawainya, bertemu klien, berhadapan dengan setumpuk berkas di meja kantornya. Tidak lupa dengan secangkir kopi hitamnya.

Jasnya tergantung di sandaran kursinya. Ruangan besar yang hanya ditempati satu orang terasa kosong bagi Namjoon. Tidak pulang selama tiga hari benar-benar membuat dia muak dengan ruangan ini. Tapi, ia tetap enggan untuk pulang. Beberapa karyawannya sering mengingatkan Namjoon untuk istirahat. Tetap saja, Namjoon sangat takut untuk melangkahkan kaki kedalam rumahnya.

Bukan karena tidak ada alasan dia tak pulang. Rumahnya masih utuh di atas tanah. Masih berdiri kokoh dengan design minimalis idealnya. Namun, bagi Namjoon rumah itu bukan lagi tempatnya untuk pulang. Ia sudah kehilangan tempat berteduhnya. Maka dari itu, walaupun sudah lelah, dia bingung harus berisirahat kemana. Ia hanya terus bekerja tanpa peduli bahwa ia bisa tumbang kapan saja.

Jam tangannya hanya dianggurkan begitu saja. Namjoon enggan menoleh ke jam tanganyanya yang tergeletak di meja tamu kantornya. Sia-sia jamnya memberitahu bahwa sekarang sudah jam satu dini hari. Namjoon menatap kosong berkas terakhirnya yang baru saja dia letakan ditumpukan dokumen-dokumen itu.

Sekarang harus apa lagi?

Namjoon bingung. Seluruh pekerjaannya sudah diselesaikannya. Tidak heran, mengorbankam jam tidur dan makannya, semua bisa selesai dalam tiga hari. Dia tak tahu mau melakukan apa lagi. Dia hanya butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya. Selama beberapa menit menatap kosong, akhirnya Namjoon melangkah keluar ruangannya. Ia menuju parkiran dan menghampiri mobilnya. Sudah berdebu, batinnya. Ia membuka pintu mobilnya dan masuk. Namun, ia bingung mau kemana.

Otak Namjoon tidak bodoh. Dia adalah pengusaha yang berperan banyak untuk ekonomi negaranya. Tapi sekarang, otaknya seakan-akan melayang di ruang hampa. Namjoon hanya diam di dalam mobilnya yang menyala. Dia tak punya energi untuk berpikir. Akhirnya, dia memutuskan untuk menjalankan mobilnya. Entah kemana.

Sudah satu jam dia hanya berkeliling entah dimana. Jalanan sudah sepi. Musim dingin kali ini terasa lebih menusuk untuk Namjoon. Biasanya ia suka musim dingin, tapi tidak kali ini.

Namjoon menyerah. Matanya sudah lelah menatap jalanan. Tubuhnya bahkan sudah sangat tidak berenergi. Dengan segumpal perasaan takut, ia melajukan mobilnya ke rumah. Ia benar-benar tak tahan sudah lelah. Tubuh maupun hatinya sudah lelah.

Gerbangnya terbuka otomatis. Gerbang yang dibuat dengan perdebatan sengit dengan Seokjin, kerena Seokjin lebih suka hal-hal tradisional. Seokjin adalah orang yang fotonya yang akan selalu menempel di dompet Namjoon. Bekerja menjadi seorang designer perhiasan, Seokjin juga yang memberikan gelang yang melilit di pergelangan Namjoon. Hasil rancangannya sendiri khusus untuk Namjoon. Dibuat khusus hanya untuk Namjoon, satu-satunya mahakarya Seokjin yang hanya pantas untuk Namjoon. Itu juga yang membuat Namjoon terjerat selamanya untuk Seokjin.

Nafas Namjoon sesak. Sesak sekali. Sekujur tubuhnya melemas. Terutama bagian dadanya yang luar biasa sakit. Namun, tetap dia lajukan mobilnya sampai terparkir sempurna dan gerbangnya tertutup. Namjoon mencoba untuk membenahi pikirannya sejenak. Setelah itu, kakinya terjulur keluar mobil dan memasuki pintu rumahnya yang berwarna abu-abu. Disentuhnya tombol untuk memasuki pintunya dan terbuka.

Melangkah masuk semakin membuat Namjoon jauh lebih sakit. Sempat terpikir untuk tidur di hotel, tapi entah apa yang merasukinya ia tetap memilih pulang.

Gelap.

Namjoon meraba-raba sisi tembok untuk menyalakan lampu. Tak ada yang berubah dari rumahnya itu. Tiga hari tak dipulanginya masih tetap tertata rapi. Seokjin tak suka kalau rumah mereka berantakan dan mengoceh panjang lebar kalau Namjoon asal-asalan menaruh barang. Tapi, Namjoon tak pernah keberatan dengan ocehan Seokjin. Bahkan, suara Seokjin adalah candu untuknya.

Namjoon melangkah masuk ke dapur. Udaranya semakin mencekik Namjoon. Seokjin sudah membersihkan segalanya karena tahu tangan Namjoon bisa membuat Seokjin kehabisan piring. Namjoon berdiri di depan kulkas.

Ada tiramisu di kulkas, awas kalau tidak dimakan! -Seokjin

Begitu tulis Seokjin dengan kertas berwarna biru yang ditempel di kulkas. Namjoon membuka kulkasnya dan benar, ada kue tiramisu persegi panjang yang cukup untuk dimakan berdua. Namjoon menatapnya beberapa saat dan memutuskan untuk mengambil air putih saja. Tak tega memakan tiramisu kesukaannya sendirian.

Kakinya yang panjang melangkah ke ruang tengah. Terdapat beberapa pajangan mario bros dan mainan-mainan lainnya tertata dengan baik. Tak lupa ada bingkai-bingkai foto yang menghiasi ruangan itu. Seokjin tersenyum di semua frame. Manis.

Namjoon merebahkan dirinya diatas sofa. Menatap langit-langit dengan mata kosongnya. Beberapa kali Namjoon menghela napas berat. Hingga akhirnya dia bergerak melihat kotak dan secarik kertas di atas meja. Sejujurnya, ia tak ingin melihatnya. Namun tetap dia gapai dengan perasaan tak menentu.

Tak semua hal bisa tetap tinggal, sekalipun sudah dijaga sebaik mungkin. -Taehyung.

Adik satu-satunya Namjoon memang memiliki akses masuk rumahnya, tapi siapa sangka Taehyung menaruh sendiri kotak misterius ini ditambah surat kecil yang terkesan seperti mengingatkan Namjoon. Dilihatnya kotak hitam berukuran setelapak tangan. Namjoon sangat benci perasaannya sekarang ini. Ingin sekali dia pergi keluar rumahnya sekarang juga, tapi yang ia lakukan sekarang malah membuka perlahan-lahan kotak hitam itu. Tangannya sedikit gemetaran.

Dibukanya dengan hati-hati. Terlihat sudah jam tangan berwarna silver mengkilat. Terdapat pahatan nama "Kim Namjoon" dengan tulisan sambung yang indah di benda itu. Kali ini benar-benar membuat Namjoon berhenti bernafas. Oksigen di sekitarnya terasa menipis. Diraihnya secarik kertas biru di dalam kotaknya.

Terima kasih sudah hidup selama 30 tahun dan menemukanku di sela hidupmu. -Kim Seokjin.

Energi Namjoon hampir terhisap habis hanya karena membaca tulisan itu. Pikirannya kembali memutar pemandangan dimana Seokjin terkapar tak berdaya di ruangan rumah sakit. Dihubungi rumah sakit dan mendengar Seokjin diambang kematian bukanlah hal pernah dibayangkan Namjoon. Apalagi sampai harus melihat Seokjin terluka begitu hebatnya karena kecelakaan. Harusnya hari itu menjadi hari dimana Namjoon memperingati harinya lahir. Namun, tanggal itu sepertinya takan terasa sama untuk tahun-tahun berikutnya.

Air mata Namjoon lolos dari matanya. Suara baritonnya serak dan gemetar.

"Bagaimana caranya aku terbiasa tanpamu, Seokjin?"

Empty Space (NAMJIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang