April 2001, rasa yang menguak dalam penantian yang tak kunjung berakhir, akhirnya dapat menemukan jalan pulang, Rumah. Pada penghujung penantian ia kembali menemukan kebebesan untuk bercumbu.
3 tahun semenjak hari dimana darah berlimpah, tangisan tak henti, kepanikan yang tak kunjung reda, akhirnya ada sesuatu titik dimana ia harus kembali. Menggali segala rindu, memusnahkan segala haru, mengambil kembali tangan itu untuk kembali dapat bersatu.
Doa yang dilantunkan memang pasti akan terkabul. Ia kembali dalam pelukan seseorang yang semestinya. Meski begitu, ia tau semua tak akan pernah sama dengan sebelum nya, tatapan yang kala itu redup haru penuh keikhlasakan meninggalkan ia pergi, berganti menjadi tatapan dengki penuh benci. Namun, semua hanyalah masalah waktu. Untuk kembali ia harus menemukan tali, maka sampai saat itu tiba ia berjanji untuk tidak akan pernah pergi (lagi).
Tak ada yang benar-benar pergi, tak ada yang benar-benar menetap. Semua adalah semu. Pertemuan-kepergian, tawa-tangis, bahagia-kesedihan, akan selalu datang disaat yang benar-benar tak pernah diinginkan. Tentu tidak ada yang salah dalam hal ini, hidup memang penuh misteri. Dan jika kau ingin menjalani, kau harus siap mengikuti.
Segala perasaan dalam pikiran mengeruak ingin dikeluarkan. Perihal cerita perjalan panjang sampai akhirnya menemukan makna pulang. Pikiran tersebut selalu bergejolak dalam kepala nya. namun, ia tau bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk mengeluarkan semua itu.
Juisio soma, seorang laki-laki kacau yang tak mempunyai mimpi. 22 maret 1980, hari dimana juisio dilahirkan dengan penuh doa yang dilantunkan berharap ia akan berguna. Tidak berlebihan mengatakan hal tersebut, pasalnya, ibu juisio menukarkan nyawa nya hanya untuk manusia samar seperti ia. Ya, benar sekali. Ibunya meninggal dunia satu jam setelah juisio dilahirkan. Dan hari-hari anak laki-laki itu dihabiskan bersama ayah nya. Sampai pada usia nya menginjak 18 tahun, kejadian yang tak pernah ia inginkan terjadi. Ayah juisio adalah aktivitis militan yang bergerak menyuarakan suara semua orang. Era reformasi dimulai, ayah juisio harus ditangkap karena harus berdiri menjadi tembok melindungi orang-orang yang menurut ia(ayahnya) benar, dan melawan kejam nya rezim yang tak mengenal rasa kemanusian. Juisio kembali menjadi orang yang merasa bersalah, ia dipaksa harus meninggalkan tanah kelahirannya agar dapat bertahan hidup menyulam kembali mimpi nya. Mungkin karena itu ayahnya menyerah, menyerah dalam keterpaksaan, menyerah agar juisio, anak satu-satu nya dan harta yang paling berharga yang ia punya semasa hidup dapat terus hidup melanjutkan mimpi-mimpi nya lagi. Namun, nyatanya bukan hal itu yang juisio inginkan. Bukan sebuah pelarian haru seperti kisah romantis film-film barat. Juisio ingin bersama ayahnya, melihat ayahnya walau harus dihukum mati sekalipun. setidaknya, ia masih memiliki waktu untuk bercerita dan bercengkrama walau harus hidup dalam balik jeruji besi. Ia percaya, semua akan kembali. Semua akan baik-baik saja. Kali ini, percaya padaku, yah. Gumamnya pada saat itu.
Anak 18 tahun itu akhirnya menyerah, dan harus pergi, lari dari masalah yang ayahnya hadapi sendiri. Adelaide, kota kecil di selatan australia dimana ia mempunyai seorang teman yang masih tersisa dan bisa menampung nya untuk menetap disana. Bermodalkan seluruh tabungan ia dan ayahnya yang tersisa, ia pergi. Mengubur dalam-dalam semua kenangan yang ia punya, meninggalkan semua orang yang telah mewarna hidupnya. Ayahnya, sanak-saudaranya, teman-temannya, dan tentunya satu-satunya wanita yang mencoba menjadikan nya seorang pemimpi, lalu memulai kembali hidup sebagaimana mestinya.
Dan 1 tahun kemudian, setelah selama ini tak ada kabar masuk yang ia terima tentang ayahnya, tiba-tiba surat yang dikirimkan oleh salah seorang saudaranya yang pada kejadian reformasi silam ikut dipenjara bersama ayahnya, datang pada didepan halaman rumah tempat juisio tinggal. Surat tersebut menyampaikan bahwa ayah juisio telah berpulang dikarenakan sakit yang diderita nya. Semenjak dari hari itu, hidup juisio berubah. Laki-laki yang dahulu banyak mengenal mimpi, pada hari itu hancur. Seperti menegak pil racun yang membuat hatinya mati. Membaca surat tersebut, juisio hanya bisa diam, tak tau harus berbuat apa. Air matanya tak keluar lagi, bukan karena ia tidak bersedih, tapi dunia nya memang sudah berakhir. Orang yang selama ini menjadi panutan dengan segala kisah pahlawan yang di torehkannya harus mati, dalam balik jeruji besi, meninggalkan ia sendiri. Dan bagi juisio, pada saat itu hidup nya telah berakhir. Tak ada lagi mimpi-mimpi, tak ada lagi yang harus dilanjutkan. Ia berhenti.
Mengulang segala cerita tentang kehidupan masa lalu memang selalu membuat haru. Tragis memang, namun mau bagaimana lagi? Bukankah kita harus siap mengikuti?. Juisio memejamkan mata nya kembali, melihat dirinya di depan cermin, seraya mengucap 'hiduplah lebih lama, aku butuh aku'.
**
Pagi ini semesta mengantarkan bumi pada matahari. Membangunkan Juisio dari terpejam nya, menyadarkannya bahwa harus ada sesuatu yang ia kejar, Kepercayaan. Juisio membuka kembali lembaran itu, lembaran 3 tahun silam dimana mata itu dengan haru menghantarkan nya untuk pergi. Dan hari ini, ia pastikan akan menyapanya kembali, duduk berdua dan membicarakan semuanya pada hati yang ia sebut rumah itu.
Semesta, restui semua yang ku lakukan. Semesta, bantu aku untuk menjelaskan semuanya.
Juisio bergegas pergi menuju kediaman wanita itu. Wanita yang selama lebih dari 10 tahun ini ada di dalam hari-hari nya. Seberapapun ia merubah hidup nya, wanita tersebut tak akan bisa digantikan oleh apapun. Satu-satunya orang yang ia harap tak akan meninggalkannya sekalipun dalam keadaan gelap gulita. Ya benar, wanita tersebut telah menemani nya lebih dari 10 tahun hidup nya. Wanita tersebut adalah masa lalu Juisio, masa lalu yang kelam sekaligus membahagiakan. Wanita tersebut telah merubah kembali dunia gelap laki-laki kacau tersebut menjadi laki-laki yang punya mimpi. Dan satu-satunya mimpi ia sekarang adalah pulang kerumah. Dan rumah yang ia maksud adalah wanita itu, didalam rongga hatinya yang mungkin telah diisi oleh kebencian terhadap nya. Tapi, bukankah seburuk-buruknya rumah adalah tetap rumah? Jikapun rumah itu sudah hancur, kita bisa membangun nya kembali kan? Membersihkan apa yang kotor, merenovasi apa yang rusak. Pikiran Juisio dipenuhi kata-kata optimis.
"Selamat pagi bu?"
"Iya selamat pagi, mas siapa ya? Ada keperluan apa?"
"Saya Juisio bu, ini rumahnya keyla kan bu?"
"Ohh bukan mas, disini gak ada yang namanya keyla"
"Loh tapi setau saya disini alamat keyla bu?"
"Maaf mas sekali lagi, disini gak ada yang namanya keyla"
"Iya sudah bu kalo begitu, terima kasih"
"Yaa" jawab ibu yang lagi menyapu halaman itu sangat ketus seakan jengkel dengan kehadiran tak diundang Juisio.Kemana dia semesta? Satu-satunya kunci yang ku tau untuk menemukan dia nihil. Kemana lagi aku harus pergi?
Langkah Juisio tak tau arah, ia menaiki bus kota lalu pergi tanpa tujuan. Kemana ia ingin turun dan naik tak menjadi acuan lagi. Seperti hilang, seperti asing pada negaranya sendiri, seperti tak tau apa lagi yang harus menjadi tujuannya. Langkah Juisio membawa ia pada sesuatu yang tak asing, salah satu kedai kopi diujung jalan itu membuka kembali masa lalunya. Ia memasuki kedai itu, sekedar beristihat dari perih nya matahari. Jakarta pada saat siang begini memang tidak sangat bersahabat bagi siapapun, kecuali ojek payung. Juisio memandangi setiap sudut ruangan kedai itu, dan ia tau, tempat dimana kaki ia beroijak sekarang adalah pondok kecil yang ia dan ayahnya diami dahulu, pondok yang banyak mengisahkan cerita-cerita pahlawan. Dan kini, seseorang telah merubahnya menjadi kedai kopi yang lumayan ramai dikunjungi. Kenangan itu muncul kembali, Juisio tak bisa menahan nya. Seperti mendung yang datang tiba-tiba, rintik hujan membahasi pipi coklat itu. Ia ingkar janji, ia ingkar untuk tidak akan pernah menangis pada masa lalu, ia kalah. Lalu, belum sempat ia mempersilahkan mendung itu pergi seakan ada pelangi yang datang. "Keyla! itu Keyla" dengan cepat ia langsung menghampiri wanita yang duduk sendiri dipojokan kedai itu.
"Keyla!" Teriaknya keras. Semua mata pengunjung kedai itu langsung menatap laki-laki itu, termasuk wanita yang duduk dipojokoan kedai itu.
"Keyla?"
"Ju?" Dengan heran wanita itu menatap mata Juisio. Mata yang sama seperti dahulu.
"Kenapa kamu disini? Bukankah.."
"Ikut aku" belum sempat wanita itu melanjutkan bicara nya, Juisio langsung menarik tangannya.
"Kemana? Aku gak bisa"
"Kenapa? Ada yang harus aku jelasin sama kamu"
"Bukan, bukan aku yang butuh penjelasan"
"Hah? Maksudnya?"
"Satu-satunya kejelasan yang kamu beri itu kosong Ju. Dan, ahhh. Kenapa kamu harus dateng lagi sih"
"Key.."
"Ju denger ya, semua sudah berubah. Semua Ju, Semua"
"Termasuk kamu?"
"Iya, termasuk aku"
"Key tapi.."
"Ju liat aku, aku bukan aku yang dulu. Bukan keyla yang bisa kamu ajak kemana-mana dengan semua mimpi mu"
"Key ada hal yang perlu aku jelaskan. Aku gak bermaksud untuk gak ngabarin kamu, aku gak bermaksud pergi, aku gak bermaksud lari key. Aku cuma..."
"Cuma apa? 3 tahun Ju, 3 tahun aku berharap kamu ngasih kabar mu ke aku, 3 tahun aku nunggu kamu, 3 tahun aku cemas, kamu tau? Aku nanggung semua nya Ju" air mata wanita itu tak bisa dibendung lagi.
"Aku tau key, aku tau, aku cuma nyari waktu yang pas untuk dateng lagi kesini, untuk membuka masa lalu ku lagi, untuk bertemu dengan mu. Dan sekarang aku tau sesuatu key, kamu mimpi ku, kamu satu-satunya alasan aku pulang. Kamu rum.."