6 1 0
                                    

Tahun ini adalah kunjungan ke delapanku pada Dokter Arifin. Ya, dokter yang telah kuceritakan dichapter sebelumnya.

Sebenarnya aku sudah malas bertatap muka dengan dirinya lagi, sungguh bosan dan memuakkan.

Dia selalu datang membawa koper berisi peralatan medis. Termasuk alat untuk menyakitiku, entahlah apa namanya itu yang jelas jika aku sudah dihipnotis olehnya rasanya dadaku semakin sesak, aku dibawa kembali kemasalalu dan dipaksa untuk bercerita.

Dan hari ini Ia kerumahku lagi kukira dia lupa dengan tugas rutinnya itu.

"Ayo sayang masuk dulu." Ucap Ibu sambil merangkul bahuku lalu menuntun keruangan yang memang dikhususkan untuk aku menjalankan terapi ini.

"Eomma," Rengekku pada Ibu hingga menimbulkan Air diujung mataku. Jujur, aku sangat takut dan sangat sungkan dengan semua ini.

"Tidak apa bae, jangan menangis Eomma ada disampingmu." Ibu menenangkanku, lalu mengelap pipiku yang basah.

"Sakit," Rengekku lagi.

"Sebentar saja ya, nanti kita kekedai ice cream yang baru buka didekat halte komplek. Eomma udah pernah kesana lho, Ice cream nya enak-enak bae harus coba!" Bujuk Ibuku yang sukses menbuat rasa takutku sedikit menghilang karena tergantikan oleh rasa tergoda akan tawaran Ibuku.

"Jeongmal?" Ucapku sambil menghapus kasar air mataku.

"Iya, nanti kita kesana ok!" Aku mengangguk semangat.

[♩]

"Hallo bae, apa kabar?" Sapa dokter arifin yang sedang menggeledah koper medisnya. Cih sombong sekali, menyapa saja wajahnya tidak menatapku.

Aku hanya mengangguk tanda berkata 'Baik' walaupun aku tahu dokter itu tidak akan melihatnya.

"Bosan ya melihat dokter?" Kini matanya teralihkan padaku.

Ya seharusnya kau mengetahui jawabanku, sudah tentu dan sudah jelas aku sangat bosan melihatmu, kalau bisa hari ini rasanya aku ingin kabur saja.

"Biasa saja," kataku sok tenang.

"Baguslah," katanya. Ia tersenyum lalu mengusak rambutku.

"O iya, pak han nya kemana ya bu?" Tanya dokter arifin pada Ibuku. Tak lama Ayahku datang lalu duduk disampingku. Kini aku diapit oleh Ibu dan Ayahku.

Dokter Arifin tersenyum, Ayahku membalas senyumnya.

Hei, Sungguh ini bukan waktu yang tepat untuk saling melempar senyum begitu. Aku jadi muak, mengapa mereka bertingkah seolah senang aku seperti ini.

"Bae hari ini tidak terapi dulu ya. Hari ini dokter hanya ingin berbincang-bincang saja mengenai permasalahan ini. Seperti biasa, Bae boleh keluar." Lihatlah dia mengusirku begitu saja.
Dia juga bilang 'Permasalahan ini' Ya ya ya aku tahu, aku ini hanya pembuat masalah.

Tanpa aba-aba aku pun bergegas pergi dari ruangan yang menjengkelkan itu menuju kedapur, yang ingin kulakukan saat ini adalah memakan makanan yang ada didalam rak, kulkas, maupun tudung saji. Tidak peduli dengan gemuk tidak juga peduli dengan pipiku yang semakin hari semakin mengembul. Tapi sayangnya tidak ada makanan barang sedikitpun.

Oh iya, berbicara tentang makan aku jadi penasaran dengan kedai Ice Cream yang Ibuku ceritakan. Syukurlah hari ini aku tidak terapi.

Tapi, mengapa ya? Kok hari ini aku tidak terapi?
Apa dokter itu sudah bosan menghipnotisku?
Ya sudahlah bersyukur jika itu benar.
Tapi, aku penasaran juga.
Ada baiknya jika aku menguping, eungg.. tidak salahkan? Itu masalah hidupku juga kan?

Aku beranjak dari dudukku untuk melaksanakan panggilan logikaku, tapi baru saja 3 langkah keluar dari kursi meja makan, Bi Arini datang seketika membuat langkahku tercekat.

"Den,.." Panggilnya.

Aku memiringkan kepala sambil menaikkan sebelah alisku, "Wae?" Tanyaku.
Bi Arini sudah terbiasa dengan bahasaku yang kadang dicampur dengan bahasa korea.

Ayahku adalah seorang CEO perusahaan milik kakek dinegri ginseng sekaligus pemilik sekolah teknik ternama dikota ini. Ayah memang asli Korea selatan, hingga kini wajahku sudah seperti   oppa-oppa korea yang sering anak gadis teriakki.

Tak jarang pula jika aku keluar banyak yang meminta berfoto denganku, walaupun aku selalu menolaknya mentah-mentah dan berakhir dengan omelan Ibu padaku.

Tidak semenyenangkan itu memang menjadi seseorang yang mempunyai keturunan dari negri lain, apalagi jika terlahir menjadi setampan ini, Hehe.

"Aden, mau dibikinin makanan apa hari ini? Maaf ya, bibi belum sempat bikin soalnya anak bibi dirumah sedang sakit parah." Jelasnya dengan tatapan sendu, aku bisa melihat kalo Ia sedang bersedih dan merasa bersalah hari ini.

Aku hanya tersenyum lalu mengangguk, "Gak papa bi, terserah bibi aja mau masak apa." Ucapku.

Bi Arini masih tertunduk sedih sambil mengelap pelan pipinya, mungkin Ia menangis?

"Lho bibi kenapa?" Tanyaku sambil memiringkan kepala agar bisa melihat wajah Ibu keduaku dirumah ini.

Bi Arini hanya menggeleng sambil tersenyum. Melihatnya begitu, aku jadi ikut terenyuh.

Cklek
Pintu ruangan khusus untuk aku berterapi terbuka lebar, menampilkan sosok Ibu, Ayah, dan Dokter Arifin yang berada didalamnya.

Yaa aku telat menguping deh.
Padahal aku ingin tahu, apa saja yang mereka sembunyikan dariku.


Ibu berjalan menghampiriku lalu tersenyum seraya berkata, "Bae ikut Eomma belanja yuk, buat keperluan besok!"

Aku mengernyit keheranan, "Besok? Kemana?" Tanyaku.

"Besok Bae mulai sekolah." Ayahku menimpali sambil tersenyum kecut, entahlah apa maksudnya.

Mataku seketika berbinar mendengar kata 'Sekolah' akhirnya, jalan satu-satunya ku untuk melihat dunia telah legal untukku.

"S-serius?!" Tanyaku dengan mata melebar, ya walaupun aku tahu mataku ini sulit untuk melebar. Ibu, Ayah, dan Dokter Arifin serentak mengangguk mengiyakan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Strange SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang