Prolog

14 4 2
                                    

"Nav, bangun."

Nav membuka matanya dengan perlahan. Ia mengerjap beberapa saat, mengamati sekitarnya yang masih gelap. Udara sekitar masih amat dingin. Apalagi jarum pendek jam weker di bawah lampu tidur masih menunjuk angka tiga. Seharusnya saat ini Nav masih bergumul dengan selimut tebal tanpa gangguan. 

"Nav, ini Abang. Bangun bentar, deh," kata suara dari sebelah kanan Nav, suara yang ia deteksi sebagai suara Maheswara. 

Navvya mendudukkan diri sambil mengusap matanya yang masih lengket. Ia bergumam setelah menguap, "Ngapain ke kamar Nav, pagi buta gini sih, Bang?"

"Ada yang mau Abang omongin sama kamu." Maheswara duduk di sisi kasur dengan gelisah. Beberapa kali ia melirik Rolex yang terpasang di tangan kirinya.

Nav mengerutkan dahi. Ia berusaha berpikir di antara kesadarannya yang masih mengambang. "Ngomongin apa sih, Bang? Harus banget sepagi ini?"

Mata Maheswara menatap Nav dengan serius. "Harus banget sekarang. Kamu harus dengerin dan lakuin apa yang Abang minta, ya?"

Nav tertegun sejenak. Tatapan mata Mahes tak pernah seserius ini. Biasanya ia akan mengerlingkan tatapan penuh jenaka yang bercahaya. Sejenis tatapan yang membuat semua orang bahagia, tapi kenapa kali ini tidak?

"Oke, Nav akan turutin asal gak aneh-aneh."

"Abang punya permintaan,” Maheswara menghela napas sejenak, “Jangan pernah kasih tahu Mama Papa kalau pagi ini Abang pergi ke kamarmu." Lagi-lagi Maheswara melirik penunjuk waktu mungil yang ada di tangannya.

"Emangnya kenapa?" Pertanyaan Nav mengambang, tak terjawab.

Mata Nav berusaha melihat lebih jelas kondisi Maheswara dalam temaram cahaya kamar. Bang Mahes tampak rapi, seperti siap bepergian. Apalagi ia menggendong tas ransel dengan ukuran cukup besar di punggungnya. "Abang mau pergi?"

Maheswara mengangguk mantap. “Iya, Abang mau pergi, tapi jangan kasih tahu Mama Papa.

Dahi Nav semakin berkerut. “Emangnya kenapa? Abang mau pergi ke mana?

“Kamu masih inget Pondok Taekwondo di pinggiran kota?” tanya Mahes mengalihkan pertanyaan Navvya.

“Mana mungkin, Nav lupa. Itu pondokan tempat Papa dulu. Pondokan yang selalu Nav ingin pakai buat latihan,” kata Nav sembari mengingat tempat yang selalu ia kunjungi tanpa pernah bisa ia gunakan untuk berlatih.

Maheswara mengambil paper bag yang sedari tadi berada di antara dua kakinya. Ia menyodorkan pada Nav.

“Apa ini?” tanya Nav sambil mengeluarkan isi yang ada di dalamnya.

Maheswara tak mempedulikan sang adik. Ia semakin gelisah saat jarum Rolex yang ada di tangannya sudah menunjukkan pukul 04.30. “Waktu Abang ga banyak, Nav. Semua yang kamu ingini ada di dalam tas itu. Abang cuma minta satu hal aja. Jangan kasih tahu Mama Papa soal kepergian Abang. Kamu cukup diam, menggeleng, atau pura-pura gak tahu aja. Oke?”

“Tapi⸺”

“No. Gak ada tapi-tapian. Abang pergi dulu. Jaga diri baik-baik. Jangan deket sama sembarangan cowok, ya,” kata Maheswara sambil mengusap rambut Navvya, “Abang bakal kangen kamu, nih. Bye.”

Kejadian itu berlalu begitu cepat. Tak ada jeda waktu bagi Nav untuk menyela dan mencegah kepergian sang kakak.

Navvya termenung, memikirkan kejadian barusan. Kenapa Bang Mahes memilih buat pergi? Dia mau ke mana? Sampai berapa lama? Dan yang paling penting, “Kenapa Abang ninggalin Nav sendirian?”

Air mata Nav mengalir. Dia tak bisa lagi membendung perasaan bingung nan sedih yang bercampur menjadi satu. Tanpa ia sadari, jam wekernya berbunyi, menandakan bahwa ia harus segera bangun dari tempat tidur untuk memulai hari. Hari-hari tanpa Bang Mahes lagi. Hari-hari yang tak akan lagi sama.

***

Hai, aku Oci. Ini cerita perdanaku di tahun 2019. Gimana pendapat kalian tentang prolog TGC? Komentar membangun sangat kunantikan, yaa..

Sign,
ayocchii.

The Golden CageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang