『𝐏𝐑𝐎𝐋𝐎𝐆』

17 5 0
                                    

Dari kejauhan, suara tawa riang terdengar saat melihat Piñata yang digantung rendah untuk anak usia tujuh tahun jatuh saat dipukul dan memecahkan isinya, membuat berbagai jenis permen serta makanan ringan manis berhamburan di tanah. Mereka semua berbagi kebahagiaan, saling bersalaman dan saling berbagi permen.

Tak ada yang mempedulikan seseorang di balik sudut pohon paling ujung dan jauh dari pesta yang meriah, seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun dengan rambut hitam agak panjang, kulit putih dan bermata biru gelap, tergelap yang pernah di lihat orang-orang. Mata yang akan membuat siapa saja bergidik ngeri saat menatapnya dan merasa terjatuh di dunia lain.

Dia anak yang pendiam dan jarang bergaul, mungkin bisa dikatakan tidak pernah, dengan kegelapan yang kadang menyelimutinya dan membisikan kalimat-kalimat aneh di kepalanya dan berakhir berdiam diri di dalam kamar selama lebih sebulan. Dia anak yang terisolasi dari dunia luar dan dunia anak-anak, tak ada yang mau mendekatinya dan tak ada yang mau bersusah-susah melakukan itu.

Sebagian orang mengatakan bahwa kepribadiannya aneh dan sebagiannya lagi mengatakan bahwa mungkin dia akan menjadi anak yang tidak memiliki akal sehat atau bisu. Bahkan orang tuanya sendiri bingung dengan keheningan yang di timbulkan setiap kali mereka bertanya masalah di sekolah dan sekitarnya.

Dia bahkan tidak tahu sebenarnya seperti apa kepribadian itu, terlalu banyak mulut yang berceloteh mengenai hal yang sama dan menurutnya itu semua tidak ada gunanya.

Siapa dia?

Mengapa Tuhan memberinya kepribadian yang 'aneh' seperti orang-orang sekitarnya bilang?

Apakah dia dikutuk?

Terlalu banyak pertanyaan yang harus Tuhan-nya jawab.

Dia masih merenung di bawah pohon besar samping rumah pemilik pesta, menatap tanah dan membiarkan helaian rambut panjang hitam itu jatuh menutupi matanya yang penuh kegelapan.

Angin di siang hari membuat semuanya tampak segar, kepalanya menengadah dan mata birunya tertuju pada rambut semerah darah yang bergerak lembut ke arahnya. Rambut merah itu adalah seorang gadis berusia tujuh tahun tercantik yang pernah dilihatnya, dengan mata hijau terang dan kulit sawo matang. Tampaknya dia membawa sekotak kue besar dan duduk di ayunan yang kosong, mata mereka bertemu dan gadis itu tersenyum manis sembari mengulurkan kotak kue yang di bawahnya tadi.

Dia menyambutnya dan meletakkannya di pangkuan, rupanya beberapa permen dan kue yang masih di bungkus plastic kemasan, "Terima kasih." ucapnya agak serak dan rendah. Sejak datang ke tempat itu, dia tidak pernah mengeluarkan suaranya.

"Aku melihatmu tidak ikut bermain dan memukul Piñata bersama kami, kenapa?" tanya gadis kecil itu dengan suara manisnya yang sedikit melengking.

Dia terdiam, masih berkutat dengan bungkusan gulali yang cukup sulit di lepas. Tidak mempedulikan kesunyian yang dia timbulkan lagi.

"Oh yah, kau harus mencoba ini! Aku barusan makan gulali ini dan sangat enak!" kata si gadis kecil dengan suara riangnya.

Dia berbalik dan menatap mata hijau itu lagi, ada ketulusan di sana. Gigi gadis itu ompong di tengah, namun dia masih cantik dengan balutan dress panjang selututnya yang berwarna merah. Seperti darah.

Jari-jari mungil itu tampaknya terlatih membuka bungkusan gulali yang cukup sulit dia lepas dari tadi, "Ngomong-ngomong, siapa namamu? Kalau aku Lucille, Ibu selalu memanggilku Lucy. Kalau kau?" tanya si gadis kecil dan menyerahkan gulali itu padanya.

Irony in DarknessWhere stories live. Discover now