BAB 4 : The Other Side

11 4 0
                                    

         Satu injakan telak tepat mengenai sebelah kaki gadis muda yang ada di depannya, rambut merahnya teruai kasar menutupi wajah biru lebam yang dipenuhi air mata dan darah. Mata gadis itu bengkak dan terasa nyeri, Thomas bisa merasakan perihnya namun itu menyenangkan. Ketika Thomas meraih surai merah kasarnya, menjabak lebih tepat, kepala si gadis mendongak menatap takut wajah yang di depannya.

"Hmmm! Hrrmm!" Gadis itu memberontak dengan mulut yang masih tersumpal kain putih kotor dan lusuh.

Cik... Cik... Cik...

Suara kran air terdengar di telinga Thomas, dia yang menyalakan kran tersebut. Lelah mendengar gumaman si gadis yang dia lupa namanya beberapa waktu lalu, dilepas sumpalan tersebut membuat gadis tersebut bisa bernapas lega.

"Kau membodohiku!" teriak si gadis, "Kau ingin membunuhku!"

Thomas tetap diam.

"Psyhopath gila! Lepaskan aku sekarang juga, Brengsek!" lanjut si gadis dengan suara parau.

Dia butuh air, pikir Thomas.

Ada hening beberapa saat sebelum terdengar suara yang cukup berat mengisi ruangan yang sepi dan seperti penjagalan itu, "Kau butuh air," katanya manis menangkup pipi tirus tersebut, meninggalkan jejak darah di sela-sela jarinya.

Wajah si gadis penuh iba, dahinya mengkerut dalam membuat goresan luka itu berdarah lagi. Oh, betapa dia suka warna merah. Semua yang gadis di depannya ini kenakan berwarna merah, rambutnya merah, pakaian dalamnya merah, darahnya merah dan air matanya pun merah.

Ruangan itu gelap, sempit dan berbau aneh. Ada tempat tidur di sudut tergelapnya, sebuah meja kecil dan sofa rusak berada di sudut samping, kemudian ada sepetak tempat makan kecil yang diterangi bohlam lampu kecil remang-remang dan tub mandi kecil di dekat tempat tidur, sisa dari itu tidak ada apa-apa selain jeritan kesakitan dan kepuasan yang selalu terdengar sekali sebulan.

"Kumohon, aku mohon padamu..." gumam si gadis serak, "Apa salahku?!"

Thomas melepas semua yang ada di tubuh si gadis, kini dia telanjang bulat dengan tatapan ngeri diberikan pada Thomas yang tersenyum kecil. Dengan satu rangkulan mudah, tubuh si gadis sudah melayang di udara, membawanya ke tub kecil dan menurunkannya dengan pelan.

Air sudah menggenang di atas bahu si gadis, hampir menenggelamkannya. Ikatan kaki dan tangan si gadis masih ada di sana, biarkan itu hangus bersama dengan tubuhnya yang indah. Thomas masih mendengar sayup-sayup suara tangisan di telinganya. Kaki polosnya menapaki kasur keras dan memperhatikan si gadis menggeliat tidak nyaman.

Baru saja gadis itu ingin merangkak kembali keluar dari tub, tubuh si gadis langsung menegang karena aliran listrik menyambar seluruh tubuhnya. Sengatan itu mendadak dan membuat si gadis kejang-kejang, teriakan kesakitan memenuhi ruangan.

Agghh... dia suka ini.

Suara orang-orang kesakitan terdengar seperti alunan musik indah baginya, wajah—wajah kesakitan mereka seperti surge yang ingin dilihatnya lagi.

Diperhatikan mata si gadis menggeliat-geliat tidak tahan, menyisakan lepuhan kulit yang meleleh, terbakar hangus dan menghitam. Mata biru yang dulunya cantik itu kini menghitam terbakar, kulit yang dulunya sehalus sutra kini berasap dan mengeluarkan aroma daging panggang.

Oh tentu saja, dia bukan kanibal. Tidak akan sudi memakan daging orang sekalipun, dia hanya menyukai membuat mereka merengek minta ampun dan meminta tolong untuk tidak menjadi malaikat pencabut nyawa.

Irony in DarknessWhere stories live. Discover now