Musim semi selalu berbeda tiap harinya. Seharian kemarin, Crema diguyur hujan sedang, memaksaku memakai setelan piama karena suhu semalam lebih dingin dari biasanya. Pagi ini berbeda, sinar matahari menyapu wajahku seperti ombak laut mediterania. Kehangatan yang menyadarkanku.
Bersamaan dengan itu, seluruh inderaku kembali dapat berfungsi setelah istirahat tujuh jam lamanya. Hal pertama yang kusadari adalah sedari tadi aku menggaruk bagian seprai yang bolong. Suara burung berkicau di luar jendela dan harum kamarku juga perlahan memenuhi inderaku.
Tidak ada perubahan yang berarti pada kamarku, semuanya masih sama. Letak perabotan yang tidak berubah, bahkan pengharum ruanganku tidak pernah berubah. Rasa buah segar. Hanya dua atau tiga barang yang tidak aku pakai sudah berpindah ke gudang atau aku buang.
Aku bangkit untuk mengganti piama, rasanya melekap, aku tidak suka. Menggantinya dengan kaus dan celana lebih pendek dari lutut. Hari ini cukup hangat, mungkin karena musim panas semakin dekat.
Menyembulkan kepalaku dari jendela, menghirup udara musim semi dengan mata terpejam. Musim semi adalah musim terbaik di Eropa, tidak terkecuali di Crema. Bunga-bunga bermekaran, melengkapi dinding batu kecokelatan. Crema menjadi lebih berwarna.
Setelah puas, aku mendekat menuju meja. Tidak ada yang lebih aku cintai dari duduk di mejaku dan berkutik dengan transkripku. Hidup bersama Ayah seorang dosen dan tumbuh tanpa TV membuatku menghabiskan waktu dengan buku dan musik.
Mataku menangkap Phonurgia nova karya Athanasius Kircher. Literatur tentang musik yang dahulu ia pernah takjub padaku. Bicara tentangnya, selalu ada cara bagiku untuk mengingatnya. Setiap sudut rumah ini selalu mengingatkanku tentangnya.
Contoh nyatanya, ketika melihat penghubung antara kamarku dan kamarnya dulu, membuatku terbang ke masa lalu. Seakan lupa bahwa aku menangis sampai tertidur ketika ia menelepon kala itu.
Semalam, di antara dinginnya suhu Crema, aku memimpikannya. Bukan sekali atau dua kali aku bermimpi tentangnya. Namun, rasanya tetap sakit.
"Elio," panggilnya dalam mimpiku. Tanpa peduli ia meninggalkanku di stasiun, membuatku menangis selama perjalanan pulang. Tanpa peduli saat ia menelepon dan mengatakan dia akan menikah, membuatku menangis sampai tertidur. Tanpa peduli bahwa ia membuatku menangis dua kali.
Aku selalu menjawab panggilannya, "Oliver."
"Elio ba- Eh? Sudah terbangun rupanya." Itu suara Mafalda, menyadarkan dari lamunanku.
Aku menoleh dan mendapati Mafalda membawa keranjang pakaian kotor. Setiap pagi ia akan mengumpulkan pakaian kotor di kamar dan biasanya sembari membangunkanku.
Aku biasa bangun lebih siang atau aku pura-pura tidur untuk menghindari tetanggaku yang bertamu.
"Tidak ada yang bertamu, Mafalda?" tanyaku saat aku sadar pagi ini sepi.
"Tidak, semalaman hujan turun. Rumput masih basah dan halaman menjadi sedikit becek. Bukan sesuatu yang diinginkan para tetangga ketika menghabiskan waktunya di sini," jawab Mafalda.
Aku mengangguk mengerti dan Mafalda pergi dengan pakaian kotorku.
Setelah berkutik di atas meja tanpa hasil. Aku melempar pena sembarang arah, frustasi. Karena lagi, aku tidak dapat melupakannya. Aku selalu menunggunya menelepon dan mengatakan bahwa dia tidak akan menikah dan akan berkunjung kembali ke Crema menemuiku.
Ayah dan Ibuku duduk di sofa ruang tengah. Ayah dengan tembakau di mulutnya dan Ibu yang menaruh kepalanya di atas paha Ayah.
Ayah dan Ibu selalu tahu, tanpa kuberi tahu. Mereka tahu hubunganku dengan Oliver bukan hanya sebatas pertemanan. Mereka tahu aku menangis akan kepergiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Remember Everything | Call Me By Your Name
FanfictionElio mengingat segalanya.