1

230 29 59
                                    


Aku meringkuk di lantai. Mendekap erat lutut di dada. Cara terakhir melindungi bagian tubuh yang paling berharga, dari hantaman kursi yang siap diayunkan Takahashi Honda.

"Lihat dirimu!" Kapten tim baseball SMA Tohoku itu mengejek kemampuanku membela diri. Dia tahu fisikku lemah. Kurus, tidak seperti anak laki-laki lain.

Wajah berdebu mencium lantai. Napas tersengal. Bagi sebagian orang, partikel lembut itu tidak mengganggu. Tapi bagi ku, itu membahayakan karena bisa memicu reaksi alergi. Tubuhku menegang, bersiap menghadapi yang terburuk.

"Hei! ... Kalian sedang apa?"
Tiba-tiba seorang siswi muncul di depan pintu aula, berkacak pinggang seperti piala. "Cepat masuk kelas! kalian sudah ditunggu," perintahnya tegas, tanpa menyadari betapa genting situasi yang sedang aku hadapi.

Beberapa tahun kemudian.

Aku memandang ke luar jendela bus tour yang membawaku ke Sekisui Heim Super Arena.

Musim dingin sudah berlalu. Warna putih salju yang membosankan, kini berganti pink dan peach mendominasi sepanjang jalan. Di sinilah aku sekarang. Kota pohon, Sendai. Kota tua berumur 400 tahun yang terkenal akan kecantikan alamnya. Tempat di mana aku lahir dan menghabiskan masa kecil.

Udara sejuk musim semi menyapa begitu aku turun dari bus. Melihat ke atas, langit cerah dihiasi awan putih.
Kami orang Jepang percaya musim semi adalah waktunya perpisahan dan pertemuan dengan orang-orang baru. Aku berharap dengan tulus itu benar.

Alasanku kembali ke Sendai adalah dia. Berharap bisa menghabiskan waktu bersama. Berjalan bergandengan tangan di bawah indahnya bayangan pohon zelkova di Jozenji-dori Avenue. Seperti dulu, saat masih sekolah.

Bertahun-tahun menetap di Kanada, aku habiskan hari-hari dengan berlatih menyempurnakan teknik skating. Tidak ada yang paling aku inginkan selain pulang ke rumah.

Apalagi saat bergelut dengan cidera berkepanjangan. Atau saat asma tiba-tiba menyerang. Keinginan itu semakin kuat. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan apa yang aku rasakan.

Jadi perjalanan pulang kali ini adalah obat penghilang rasa sakit paling mujarab, selain yang biasa diresepkan dokter pribadi tentunya.

"Butuh bantuan dengan barang bawaan?"
Seorang pria berkebangsaan Spanyol, dengan ramah menawarkan bantuan.

Namanya Javier Fernandes. Aku biasa memanggilnya Javi. Teman dekat selama berlatih di Kanada. Menjadi akrab karena kami dilatih oleh pelatih profesional yang sama. Javi adalah juga rival tangguhku di setiap kompetisi skating tingkat dunia.

"Ini hari terakhir pertunjukan Fantasy On Ice. Usahakan untuk tidak mengahancurkan pergelangan kakimu. Okey?" Cara Javi memberi semangat membuatku tertawa kecil.

Perjalanan jauh dari Toronto ke Tokyo, sempat membuatku kelelahan, jatuh sakit hanya beberapa hari menjelang pergelaran skating musim semi kali ini. Tapi aku memaksa untuk terus meluncur di atas es, membuat semua orang khawatir. Mereka bilang aku akan pensiun dini jika tetap keras kepala.

Tanpa menghiraukan Javi, aku langsung menuju Ice rink untuk gladi resik. Merasa antusias mendengar kabar teman-teman semasa sekolah datang untuk memberi semangat. Itu berarti aku akan bertemu Harumi Sato.

Harumi... musim semiku yang cantik

Begitu memasuki arena skating, wajah-wajah lama memanggilku dari pinggir ice rink. Aku menyapa, menjabat satu per satu tangan mereka dengan hangat.

Delapan tahun berlalu. Nyatanya aku hampir tidak mengenali Harumi Sato yang berdiri paling ujung. Dia banyak berubah. Menjadi wanita dewasa yang anggun. Manis alami tanpa polesan make up berlebih. Sungguh ironi.

Spring TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang