The Shoes

39 12 13
                                    

Kebakaran hebat di distrik-bzzzttt

"Hm, kebakaran mulu, lagi trending ya?" Dion, remaja 16 tahun, keluar dari dapur setelah selesai sarapan melewati tv di ruang tengah.

Bzzzzzzttt - satu jasad hangus- bzzzt-gelang- Bzzztttzz- leher terkoyak. Polisi masih menyelidiki - bzztt bzzz bzttt

Tik!

Dion mematikan tv karena menurutnya sinyal saluran berita itu kurang bagus dan hanya membuat bising saja. Ia memandangi jam dinding yang menunjukan pukul 6.15.

"Dika! Cepetan! Ditinggal nih!" seru Dion. Dion duduk di sofa dan memakai sepatunya. Tak lupa gelang bermanik hitam di tangan kanan pemberian neneknya yang tak pernah lepas.

"Iya, iya! Otw," Dika yang dua tahun lebih muda dari Dion bergegas turun menuju meja makan dan membawa roti lapis yang ada di sana dengan mulutnya. Ia pergi menuju Dion yang sudah berdiri di ambang pintu dengan kunci rumah yang sudah tertanam.

Dion segera mengunci rumah dan hendak melangkah keluar pekarangan ketika ia melihat adiknya yang sibuk mengunyah sarapan. Matanya tertuju ke kaki adiknya. Tatapan Dion kini berubah menjadi malas dan tidak suka.

Helaan napas gusar dapat Dika dengar dari mulut kakaknya. Sebelum kakaknya berkata sepatah kata apapun, Dika menyela terlebih dahulu dengan decihan dan matanya yang memincing. Ia berencana langsung pergi.

"Seneng banget pake sepatu lusuh itu. Gak bisa beli yang baru? Bokek?" sindir Dion.

"Urusannya sama kakak?" tanpa berbalik menatap Dion, Dika menggulirkan bola matanya malas. Lagi-lagi masalah sepatu.

"Malu woy! Liat napa, dekil, lusuh, bolong-bolong. Gak jadi bahan bully tuh? Perlu kakak beliin?" sepatu Dika memang tak pernah luput dari pantauan kakaknya.

Entah masalah apa yang Dion alami hingga ia sangat membenci dan bersikeras untuk membuang sepatu adiknya. Memang barang lama yang warnanya sudah setengah pudar itu memasuki fase tak layak pakai. Toh, Dika tidak masalah dengan itu, kenapa Dion harus mempermasalahkannya?

"Gak, tuh? Ini punyaku, jadi terserah aku. Gak usah sok ngatur, bisa?" Dika yang mulai kesal pergi meninggalkan Dion tanpa membiarkan kakaknya selesai bicara.

"Kamu atau kakak yang buang?" teriak Dion yang terpaut beberapa meter dari Dika.

"Cih, coba aja kalau bisa!" seru Dika setelah membalikan badannya selagi tersenyum remeh dan mencemooh. Ia kembali melangkahkan kakinya menuju sekolah.

Eh? Matanya... Merah? Apa salah liat? Iya, pasti salah liat, pikir Dion.

Dion mengernyitkan dahinya. Ia merasa janggal. Tetapi Dion tak punya banyak waktu untuk memikirkan itu. Ia pun berlari menyusul Dika yang sudah berjalan ke sekolah, hanya berjarak lima ratus meter jauh di depan. Kalau tidak lari? Bisa terlambat.

***


Saatnya bagi Dion untuk pulang telah tiba. Begitu ia sampai di depan pintu rumah, Dion sadar pintu tidak dikunci. Bisa dipastikan Dika sudah masuk dengan kunci duplikat miliknya.

Seharusnya, bila Dika sudah pulang duluan, Dion akan mendapati dapur yang berserakan makanan dan adiknya yang menonton film di sofa ruang tengah. Tetapi, semua bersih dan sepi.

Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke hp Dion.

Dika
Main ke rumah Aksa. Tadi pulang dulu taruh tas.

Dion mematikan ponselnya. Kebiasaan, pintu gak dikunci lagi, ucapnya dalam hati. Kini Dion sendirian di rumah besar itu.

Dion hanya tinggal berdua dengan adiknya. Orang tua mereka di luar negri. Kerja, kerja, dan kerja. Entah apa Mama-Papa mereka masih sayang kepada anaknya atau tidak. Mereka hanya mengirimkan uang bulanan yang nominalnya lumayan besar tanpa kabar untuk pulang. Telfon sekali setahun pun tidak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 19, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The shoes  [ One Shoot ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang