Suasana koridor ramai kala gue berjalan untuk pulang menuju kelas. Pikiran gue penuh dengan nama Kristal dan kejadian tadi dimana dia menyebut gue lucu.
Ngaco.
Gue lucu dari mananya?.
Duk.
Aduh.
Siapa sih ini yang jalan buru-buru banget? Tapi posisi gue di sini juga salah karena daritadi ngelamun dan nggak memerhatikan jalan yang dipijaki.
“Eh loh? Aru? Ketemu lagi kita.”
Gue masih menunduk sambil mengusap dahi kala suara seseorang yang begitu gue kenal menginterupsi. Ini... Kristal?.“Oh, sakit ya. Maaf Aru, ya ampun gue jalan nggak hati-hati, jadi begini. Emang dasarnya gue ceroboh, dahi lo nggak apa-apa kan kena tulang bahu gue? Lo juga kenapa nunduk begitu deh jalannya kayak lagi punya beban hidup satu ton. Sekali lagi maaf atas kecerobohan gue.”
Cerocos Kristal tanpa henti, diam-diam gue menarik senyum. Hati gue seketika merasa hangat, mungkin ini terjadi karena gue merasa Kristal begitu perhatian sama gue?
Dan gue rasanya ingin menghilang aja dari bumi ketika gue mengangkat kepala dan mata gue tepat bertemu dengan matanya. Begitu menyihir, apalagi saat kemudian tangan cewek itu bergerak menyentuh dahi gue dan mengusapnya pelan dan terkesan lembut.
Bagaimana caranya biar gue nggak gue jatuh sama lo, Kristal? Apa karena perlakuan lo yang begitu manis atau gue yang terlalu mengambil perasaan?
*
Biar gue bercerita sedikit.
Tingkah Kristal di mata gue rasanya udah lebih dari teman. Ya, meski semua orang tau dia itu sosok yang baik, tapi sikap yang Kristal tunjukkin ke gue itu beda. Lo bisa sebut gue baperan, karena itu memang faktanya. Gue nggak pernah berinteraksi dengan lawan jenis, kecuali hanya untuk tugas. Itulah sebabnya gue merasa perlakuan Kristal sangat spesial, karena gue belum pernah mendapati seorang cewek bersikap seperhatian dia.“Kristal tadi ketemu gue di koperasi. Anaknya cerewet ya, suka ngobrol. Pantesan bisa temenan sama lo.” kata Rian sesaat setelah dia duduk di samping gue.
“Memangnya salah ya kalau gue pendiam?”
“There is no something wrong as long as you are being yourself, anyway.”
“Salah nggak sih kalau misalnya gue menginginkan Kristal jadi... hng... lebih dari teman?”
“Apanya yang salah? Lo manusia, kan? Ya wajar sih kalau lo suka sama cewek kayak dia. Cantik? Iya. Baik? Iya. Pintar? Iya. Gampang bergaul? I—”
“Nggak usah dilanjut, jatuhnya kayak dia terlalu sempurna buat gue yang buluk ini.” ucap gue memotong perkataan Rian.
“Oh, jadi lo rendah diri?”
“Tapi menurut lo ada kemungkinan nggak ya Kristal suka sama gue?”
“Ada—"
“Hah? Masa iya? Gue banyak kurangnya begini, anjir.”
“—Kalau lo mencintai diri sendiri dan berhenti merendah diri.”
Belum sempet gue balas perkataannya, Pak Ganjar datang. Gue nggak bisa fokus selama pelajaran, perkataan Rian terus terngiang.
Kata-kata Rian terngiang di otak gue, kenapa ya bisa-bisanya gue berpikir Kristal suka juga sama gue? Nggak ada ceritanya dia suka sama cowok yang pas-pasan begini, namun pikiran itu segera terganti oleh kejadian yang gue anggap manis dengan Kristal.
Kenapa gue selalu berpikir kalau dia punya perasaan yang sama?Apa gue mulai aja deketin dia ya?
Tapi gimana kalau gue ditolak?
Gimana kalau orang lain berpikir kalau gue terlalu ngarep mau nembak cewek sebersinar Kristal?
Tapi apa Kristal yang bersinar terang bak mentari cocok bersanding sama sinar redup kayak gue? Argh, soal logaritma di depan dan masalah Kristal bikin kepala pusing tujuh pangkat dua keliling!
"Madrugada coba selesaikan soal di depan!"
Kok gue? Biasanya juga nggak pernah di-notice—meskipun gue seringnya mengerti."Saya belum paham, Pak!" alasan gue sambik setengah berteriak.
Pak Ganjar mengangguk samar. Kemudian menatap murid lain.
"Gue tau lo bingung, tapi coba aja deketin. Kalau sakit hati yah, itu kan konsekuensi.” Rian berbisik.
Jadi... gue harus mencoba deketin Kristal? Tapi apa ini hal yang tepat?
Di hari-hari berikutnya gue mulai mendekati Kristal. Entahlah dia sadar atau nggak, gue hanya bisa berharap kalau sesuatu yang baik akan terjadi suatu saat nanti.“Eh, Aru, gue pamit dulu ya ada keperluan. Ngomong-ngomong, makasih traktiran sama waktu lo yang udah dipakai buat mendengarkan keluh-kesah gue. Emang lo yang paling mengerti, sekali lagi makasih ya.”