1.0

10 1 0
                                    

Matahari mulai menampakkan keganasannya. Aku sudah biasa dipasok sinar UV oleh matahari. Aku mengunjungi warung kopi sederhana untuk melindungi diri. Aku duduk di bangku paling ujung barisan belakang. Tangan ini mengibaskan udara ke bagian wajah yang bercucuran keringat.

"Lu mau pesen apa, Sel?" tanya Mbak Sulastri, istri pemilik warung.

"Numpang neduh aja. Abisnya, diluar panas." Aku tertawa kecil. "Mau beli minuman, tapi uangnya buat makan, Mbak."

"Makan juga butuh air, Sel!" Mbak Sulastri duduk di sebelahku. Menyodorkan sepiring gorengan dan satu gelas air mineral. "Makan aja, gak usah bayar. Meskipun gorengannya tinggal tiga, sih."

Tak tanggung-tanggung, aku melahap satu persatu gorengannya hingga bersih. Mbak Lastri bertanya padaku, "Lu di rumah makan, apa kagak!?" Si Mbak keheranan dengan cara makanku.

"Dikit." Mbak Lastri menggeleng, ia mengusap-usap rol rambutnya yang berada hampir di seluruh bagia kepala. Aku terdiam cukup lama, melihat kemacetan yang setiap hari tak henti-henti.

Mbak Lastri mengambil secarik kertas milikku, membaca sekilas, dan mengembalikan lagi pada tumpukannya. "Tiap hari cuma nempelin ini? Kerja, Sel! Jakarta itu keras! Hidup bukan cuma makan angin!" Tinjuan keras dalam jantung membuat semangatku mundur seketika. Aku menatap kosong ke sembarang arah.

Setelah berbicara itu, Mbak Lastri bangkit dan melangkahi bangkunya.

"Alamma!" Ia melihat kebelakangnya dan benar saja. Dasternya tersangkut di salah satu paku yang berdiri bengkok. Seusai tawa kami, Mbak Lastri pun menarik daster tersebut hingga robek. "Abaaang! Lain kali palunya yang benar!"

Dalam sisa-sisa tawaku, aku mendengar suara langkahan hak tinggi yang cukup nyaring, lalu memicingkan mata terhadap gadis yang baru duduk di kursi yang sama. Aku terus memperhatikan wajahnya yang tertutup surai panjangnya. Sadar aku terus memperhatikannya, ia menoleh ke samping. Aku beri dia senyuman, ia pun membalas dengan senyuman tipis, bahkan sangat tipis, sampai ia menutupi sebelah wajahnya dengan tangan.

Ajak ngobrol gak, ya? Nanti malah di sangka sok kenal lagi, hm ....

Aku melamunkannya sebentar, menerka-nerka apa reaksinya ketika aku mengajak berbincang sekilas. Aku menaik-turunkan napas ini, memberi aba-aba untuk memulai percakapan. Mulutku terbuka, akan mulai berbicara.

"Bang, ini uangnya." Gadis itu berdiri, menyodorkan sejumlah uang, lalu duduk dan melamun kembali.

"H-hey." Ia mendelikkan matanya ketika berpaling padaku. Tatapannya dingin, wajahnya datar seperti tidak punya lagi ekspresi yang menyenangkan. "Boleh kenalan?" Ia menyetujui permintaanku dengan isyarat mengangguk

Aku mendekat, lalu duduk di sampingnya. "Namaku Graselliva." Ia menjabat tanganku dan memberitahu namanya. "Nadiatmika." Ia memberiku senyum kehangatan.

Aku melihat kembali pakaiannya. Tak mencirikan anak sekolah, sama sepertiku. "Tadi itu Bapak kamu?" tanyaku spontan. Ia mengangguk, lalu aku bertanya kembali padanya. "Kenapa lari? Itu Bapak kamu, lho."

Nadia menghela napasnya berbarengan dengan senyuman sinis. "Biasa, ada masalah." Ia memainkan kedua jarinya dan menatap penuh curiga padaku. "Lo yang nunjukkin jalan lurus Bapak gue, ya!? Ngaku, lo!" Aku terkaget-kaget, menggelengkan kepala dengan cepat dan menyilang-nyilangkan tangannya.

Kalau aku membenarkan, Nadia bakalan ngejauh dari aku? Nanti aku gak punya temen lagi. Aku mengaduh pada diriku sendiri.

"Santai aja kali. Gak usah tegang gitu mukanya. Gue gak bakalan ngejauhin lo kalau bukan tanpa alasan." Ia tersenyum kembali padaku yang tengah menahan malu.

INSANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang