Apakah menjadi abdi Tuhan adalah suatu kutukan?
- ©2019, influenceaurora ; [Wanna-One's] Park Jihoon (Jeremy Romeo) & [Izone's] Choi Yena (Yeslin Juliette) ; a ficlet [732 words] ; Fantasy, Friendship, & Supranatural ; for general -
Menjadi seorang grim reaper─manusia menyebut kami sebagai 'malaikat maut', terbilang bukanlah suatu anugerah yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Daripada menyebutnya sebagai kutukan, aku lebih suka berdalih jika aku masih punya utang di kehidupan sebelumnya dan mencabut nyawa adalah kesempatanku untuk membayar utang itu.
Menjabat sebagai grim reaper juga bukan hal yang mudah. Setelah melintasi batas surga dan neraka, kami akan tiba di Akademi Langit yang akan memilah kami sesuai divisi yang pantas untuk kami tempati. Konon katanya, seorang pendosa besar─sepertiku─akan ditempatkan dibawah naungan Departemen Roh Suci Divisi Pencabutan Arwah setelah menjalani pelatihan selama kurun waktu tertentu, tergantung sub-divisi mana tempat kau akan ditugaskan.
"Jadi, ini adalah kehidupan keduamu sebagai pencabut nyawa. Benar begitu?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari seorang rekan grim reaper yang juga seorang gadis kala menyesap kap kopinya sembari duduk menjajariku. Ia menoleh lantas menyodorkan kap kopi yang lain kepadaku. Aku pun menerimanya dan menyeruput isi kap tersebut sedikit.
"Rupanya cerita itu sampai ke telingamu juga, ya. Memang benar. Kenyataan bahwa aku mengetahui identitas kehidupan laluku sebagai seorang petinggi elemen es bernama Jeremy Romeo dan manusia biasa bernama Park Jihoon bahkan mengejutkan diriku sendiri. Karena kau pun tahu jika kita tidak bisa mengingat apapun setelah memasuki Kerajaan Langit. Namun itu semua justru tidak berlaku padaku," ulasku membalasnya. Gadis itu nampak berpikir keras lantas mengangguk. Ah, benar. Sebagai seorang pencabut nyawa, tentunya ia tidak sebodoh itu untuk bisa mengerti ucapanku 'kan?
"Lalu apa dosamu sampai-sampai kau harus menjadi grim reaper senior yang menjabat selama dua periode seperti itu?" sepertinya ulasanku spontan mendongkrak grafik kuriositasnya semakin memuncak seiring pertanyaan-pertanyaan itu mengudara. Aku membenarkan letak topiku lalu menyeruput lagi kap kopiku, memberi seutas jeda yang membuat hening seketika menyergap kami kala itu.
"Aku tidak bisa menceritakan detailnya. Mungkin menurut Tuhan, dosaku di kehidupan pertama terlalu besar sehingga sulit untuk dimaafkan. Kau tahu 'kan, seorang pendosa besar seperti kita akan diberi pilihan, apakah kita akan menebus dosa tersebut dengan menjadi pencabut nyawa atau ditenggelamkan di neraka paling dalam?" jelasku lagi. Gadis itu tersenyum lantas melempar dengan ketepatan akurat kap kopinya yang sudah kosong ke tempat sampah.
"Jika kau diberi kesempatan untuk mengingat tentang masa lalumu serta dosa apa yang kau perbuat, apa kau akan menerima tawaran itu?"
Ia terdiam. Benakku pun kini menerka-nerka apa kiranya klausa macam apa yang akan kau jadikan balasan, "Meskipun mungkin nantinya aku akan menyesal, kupikir tidak ada salahnya. Aku juga ingin tahu berapa kali lagi aku bisa merasakan hidup sebagai makhluk-Nya sebelum arwahku di tempatkan, entah di surga atau neraka. Kita memiliki empat kesempatan untuk hidup dan aku berharap setidaknya aku masih memiliki satu kesempatan untuk menjadi hamba-Nya yang berbudi."
Hening kembali menyergap dan sejamang fokusku hanya mematut parasnya. Memerhatikannya dalam diam, aku merasakan hal ganjil kini menerjang otakku, seolah-olah kilas balik menuntunku untuk mengetahui suatu hal lain yang masih tersembunyi. Aku seperti pernah mendengar kalimat itu, entah kapan dan di mana.
"Kau tahu, aku merasa kita saling mengenal di kehidupan sebelumnya. Ketika pertama kali aku melihatmu, ada suatu ingatan aneh yang muncul dan kebetulan kau ada di sana. Entah apa kau memerhatikan atau tidak, kita masing-masing memiliki pin dengan motif yang sama namun bertolak belakang. Pin-ku berbentuk kepingan salju dengan pernik matahari di sisi kanan atasnya, sementara pin-mu berbentuk matahari dengan pernik kepingan salju di sisi kirinya. Apalagi hanya kita yang memiliki pin sejak lulus dari akademi. Tidakkah kau penasaran?" tandasku pada akhirnya.
"Mungkin saja kita saling berkait, atau jangan-jangan kau ada di kehidupanku sebelumnya."
Aku hanya terkekeh mendengar simpulanmu. Bagiku terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa kita terikat satu sama lain dalam permainan Tuhan. Namun aku juga tidak bisa seskeptis itu meniadakan kemungkinan yang ada, "Aku berharap kau bisa menemukan kembali ingatanmu dan tidak menyesali keputusan Tuhan. Karena Dia sangat suka mempermainkan takdir, asal kautahu saja."
Aku menandaskan isi kap kopiku yang sudah tinggal setengah lantas bangkit dan melempar kap tersebut ke tempat sampah, "Baiklah, sebaiknya kita bersiap-siap. Hanya tinggal sembilan puluh detik lagi sebelum waktu kematian. Sepertinya arwah satu keluarga akan menjadi tugas terakhir kita hari ini."
Gadis itu berdiri pun merapikan pakaiannya, memosisikan dirinya di sisi kananku. Kami mulai membuka amplop berisi kertas bertuliskan nama arwah yang menjadi tanggung jawab terakhir kami untuk hari ini. Dua nama menjadi tanggung jawabku dan dua nama lainnya menjadi tanggung jawabnya.
"Apa kau mau tahu siapa namamu dalam ingatanku? Asal kautahu saja, namamu indah sekali, sampai-sampai aku tidak bisa berhenti menyebutnya dalam mimpiku. Namamu... Yeslin Juliette."
─finish.
Fiksi ini dibuat di tahun 2017 olehku (nama pena: aiveurislin) dan diremake seperlunya untuk keperluan giveaway yang diadakan kak itok (pluviossie / raindulce). Selamat 10k, ya, kak itok hehehe!
YOU ARE READING
Grim Reaper
FantasyKau punya empat kesempatan untuk hidup di muka bumi ini. Jadi, lakukanlah yang terbaik! #PLUVIOSSIEMINIGA GRIM REAPER ©2019, influenceaurora