Ini cerpen lama. Harap maklum kalau masih banyak kekurangan. 😀
***
Apa memimpikan lelaki lain ketika sudah menikah itu termasuk selingkuh?
Sejak terbangun Subuh tadi aku terus merutuki kekonyolanku. Ya, dengan sekonyong-konyong bunga tidurku dimasuki oleh sosok pria yang jelas bukan suamiku. Tidak tanggung-tanggung, seseorang yang wajahnya begitu familier itu terus menghantui sejak tiga malam terakhir.
Jangan dipikir aku menyukai lelaki jangkung berkulit sawo matang itu. Tidak. Aku tipikal istri setia. Pun dengan hatiku. Aku justru heran mengapa lelaki itu selalu hadir dalam mimpiku. Aku akui, parasnya memang lumayan dengan hidung sedang--tidak mancung juga tidak pesek--alis yang tebal, rahang yang tegas dan badan proporsional. Tapi, sekali lagi kutegaskan, aku benar-benar tidak memiliki perasaan apa pun dengannya.
Sebelum dipersunting suamiku dua bulan lalu, aku bahkan belum sekali pun menyukai seseorang hingga mengakar ke dalam relung hati. Saat kuliah dulu, aku adalah aktivis dakwah kampus. Soal menjaga hati, sudah pasti tidak perlu diragukan lagi. Aku memang keukeuh hanya akan mencintai satu lelaki dalam hidupku. Dialah suamiku. Maman Surahman.
Bunyi alarm mobil membuyarkan lamunanku. Sedari tadi aku hanya mematung di ambang pintu gerbang yang terbuka sebagian. Tubuh mungilku mendadak membeku saat menyadari aku hendak ke rumah lelaki itu.
"Mau ke kantor ya, Den?" Itu suara Mas Maman. Manik mataku justru terkunci ke arah lelaki yang kini sudah membuka pintu mobil SUV berwarna putih. Aku seolah hilang ingatan jika pandangan kedua itu akan dihitung dosa. Seharusnya aku segera menundukkan pandangan. Bukan malah terus menerus terpaku kepadanya.
Lelaki itu menoleh. "Iya, Mas. Nanti keburu ada meeting, jadi berangkat agak pagi," jawabnya dengan senyum yang lebar. Lelaki itu memang selalu memanggil Mas Maman dengan sapaan "Mas" karena usianya hanya terpaut 3 tahun.
Sudah dua tahun ini Mas Maman bekerja sebagai tukang kebun paruh waktu di tempat lelaki itu. Sebetulnya, suamiku di sini merangkap kerja apa saja. Saat sang majikan pergi ke kantor, Mas Maman yang akan menjaga rumah besar berlantai dua itu. Aku sendiri sebagai istri ikut membantu pekerjaan suamiku. Mbok Tiyem, asisten rumah tangga yang sudah bekerja lama terpaksa harus pulang kampung karena anaknya meminta untuk beristirahat di rumah lantaran usia yang sudah memasuki senja. Jadi, akulah yang sekarang menggantikan segala macam tugas domestik.
"Saya pergi dulu, Mas. Assalamu'alaikum," pamit lelaki itu tanpa sedikit pun menggubris keberadaanku.
Setelah menjawab salam, Mas Maman segera berlari kecil menuju pintu gerbang, membukanya lebar-lebar agar mobil bisa lewat dengan sempurna. Aku menghela napas panjang begitu lelaki itu sudah menghilang saat mobilnya berbelok ke arah kanan. Kutatap punggung sedikit terkulai dari pria yang tengah menutup kembali pintu gerbang itu sayu. Ada segepok perasaan bersalah yang menimpuk hati saat memandang tubuh tinggi kurus itu.
"Apa aku kurang bersyukur sama keadaan Mas Maman sampai-sampai aku malah memimpikan majikan suamiku sendiri?" batinku gusar. Ya, mungkin saja aku terganggu dengan omongan para tetangga atas lelaki pilihanku. Bagaimana tidak? Aku adalah seorang sarjana lulusan Ilmu Komunikasi di Universitas Padjadjaran. Memilih menikah dengan lelaki yang hanya lulusan SMA dan bekerja sebagai tukang kebun, tentu akan dianggap aneh oleh sebagian besar orang.
Aku tidak malu dengan kondisi suamiku. Aku memilihnya karena Allah. Dia lelaki sholeh yang rajin ke masjid. Aku terkesima dengannya ketika dia dengan telaten merawat ibunya yang hanya terbaring tak berdaya di atas kasur bertahun-tahun lamanya-sebelum akhirnya dipanggil Allah setahun yang lalu. Ah, apa mungkin hatiku belum sepenuhnya ikhlas memilih Mas Maman?