Anastasia Sena berlari kencang menaiki bukit. Mentari pagi yang indah, dengan bunga-bunga di sekitar kakinya. Berlari terus hingga mencapai puncak bukit, dimana ia bisa melihat kerajaan di bawahnya. Saat ini, di umurnya yang ke-15, masa-masa menuju kedewasaan, adalah hal yang terberat baginya. Dan tentu saja, dapat keluar dari istana itu merupakan hal yang paling diinginkannya.
Aneh rasanya jika kelinci tiba-tiba melompat ke arahnya, hingga membuatnya jatuh terduduk. Gaun kerajaan yang dipakainya ini terasa menyulitkannya. Gaun kuning-hitam itu dengan beratnya yang membuatnya kelelahan itulah yang membuatnya mudah terjatuh. Dan dengan manja si kelinci tadi itu memanjat ke pangkuannya, dan tertidur dengan mudahnya. Melihat hal ini, Sena tertawa kecil, tawa yang yang jernih. Tangannya bergerak mengelus tubuh putih bersih kelinci. Alangkah menyenangkan jika ia diperbolehkan memelihara hewan. Tapi tuntutan kerajaan melarangnya memelihara hewan. Pernah sekali ia memelihara Kucing, tapi ketika keluarganya tau, kucing itu menghilang begitu saja tanpa kabar.
Setelah puas bermain-main dengan kelinci itu, Sena bangkit berdiri, membersihkan bagian belakang gaunnya, dan berjalan menuruni bukit. Di tempatnya tinggal, ada beberapa pohon yang sengaja dipelihara keluargnya. Ia paling suka pohon apel, karena pohon apel yang dirawat keluarganya itu menghasilkan buah apel asam manis yang memainkan indra perasa di lidahnya. Ketika memasuki pepohonan apel keluarganya itu, ia merasa ada yang mengawasinya. Benar saja, sekelebat bayangan biru menghilang ke arah pepohonan lebat di sampingnya. Tanpa memusingkan hal itu. Ia belari kecil seraya bersenandung riang memasuki area kediamannya. Kerajaan Kuning.
***
"Katakan, kenapa kali ini engkau terlambat, Sena?"
Sena terlihat panik, pasalnya ia lupa jika pagi ini ada pelajaran yang harus diikutinya. 'Tata Cara Berbicara'. Salah satu pelajaran wajib anggota kerajaaan, agar menjaga wibawa mereka. Matanya menelusuri ruangan itu. Meja berlinen yang menjadi favoritnya itu ada didepannya, dan sofa empuk menjadi tempat duduknya. Didepannya ada pria berbaju merah, dangan perawakan tinggi, sudah cukup tua, dengan seragam kerajaan yang dikenakannya. Orang itulah yang disebut 'guru'. Ia tak tau pasti apa yang menyebabkan dirinya merasa takut. Tapi ada sebuah hawa dimana ia akan merasa takut. Dan hawa itu saat ini sedang ia rasakan.
"Aku, pergi ke bukit di sana," jawabnya polos. Dan ketika ia tahu ia mengucapkan hal yang salah. Ia terlambat untuk memperbaikinya.
"Sudah berapa kali ayahmu mengingatkanmu agar tidak bermain di bukit sana? Kau ingat bukit itulah yang merenggut Anastasia. Ibumu," ucapan pelan yang sarat akan rasa marah itu keluar dari mulut pria di depannya ini.
"Ta-tapi aku hanya bermain dengan kelinci."
"Kau ingat bagaimana ibumu tewas? Karena kelinci yang ditemukannya itu adalah mangsa kawanan serigala saat itu. Kau ingat betapa hancurnya ayahmu mengetahui hal itu? Saat ini kau harus belajar dengan giat, ayahmu yang menginginkan hal ini. Engkau satu-satunya penerus kerajaan ini. Kau harus dibekali hal-hal penting, dan saat kau sudah siap. Kerajaan ini akan dipimpin olehmu."
Ia tahu, ia tahu suatu saat ia akan menjadi penguasa negeri ini. Tapi hati kecilnya berkata ia tidak pantas. Sangat tidak pantas. Ada suatu hal yang mengingatkannya akan ibunya. Hal tersebut adalah gaun yang dibuat ibu sewaktu ia hidup. Gaun yang dirancang agar ia gunakan ketika menjadi Ratu penguasa negeri ini kelak. Tapi untuk saat ini, ia belum pantas.
Begitu lepas dari genggaman gurunya itu, Anastasia berlari ke kamarnya. Mengunci dirinya dalam ruangan penuh warna kuning. Tempat tidur dengan selimut berwarna kuning. Lemari dan lantai yang berwarna kuning. Dengan beberapa penambahan hitam di berbagai sisi. Jendela yang mengarah ke balik pepohonan. Disinilah ia, di atas menara utara, kamarnya. Rambut pendeknya yang berwarna kucing pucat itu begitu kusut. Gaunnya saat ini lengket dengan air mata. Bukan pilihannya menjadi putri mahkota. Bukan keinginannya menjadi ratu. Bukan keinginannya menjadi penguasa. Dibalik hal itu, ia merasa lelah. Capek. Dan diantara senja dan malam, ia terlelap.