Suasana terasa seakan kosong dan hampa. Tiada terik yang menyengat, tiada hembus yang menerpa, dan tak ada pula guyur yang membasahi tubuh. Renjun tahu dia sudah mati. Tidak ada yang mengatakan hal itu langsung padanya tapi informasi tersebut seakan tertanam di dalam kepala sejak dia menjadi hantu. Sama halnya dengan informasi mengenai tiada reinkarnasi baginya. Renjun paham, manusia yang hidup segan mati tak mau seperti dirinya ini sepertinya tidak ada pilihan lain selain menjadi hantu. Tidak hidup, tidak juga menuju alam kematian. Dirinya terperangkap di dunia hantu. Dunia dengan suasana asing yang secara bersamaan sangat familiar baginya. Lagi-lagi karena segala informasi tentang dunia barunya ini seakan bagian dari otaknya. Segala informasi itulah yang menuntun Renjun untuk segera mencari sebuah teritori sesegera mungkin. Dan langkah yang menuntun Renjun menemui takdir barunya.
Mengikuti insting memiliki teritori sesegera mungkin menuntun Renjun menuju kesialan tak terelakkan. "Ma-maaf. Aku tidak semgaja melangkah." Elaknya hendak pergi menjauh dari dua hantu yang dilihatnya duduk diam di sofa memandamg lurus ke depan seakan menonton televisi yang berlayar hitam.
"Tahan langkahmu." Suara yang menghentikan Renjun.
Pertemuan tersebut tidak bisa dipatahkan dengan kata maaf. Seakan itu merupakan takdir yang menempel padanya. "Kau bisa menghantui salah satu kamar dengan syarat menemukan satu teman." Lanjut suara yang menghentikan Renjun. Renjun menoleh untuk melihat secara jelas. Posisi kedua hantu tersebut masih sama, hanya saja yang salah satu dari mereka menoleh ke arah Renjun tanpa memutar tubuhnya.
Renjun berkedip. Ide gila apa itu? Pikirnya. Saat hidup saja sangat susah mempunyai teman. Renjun tidak akan membuang energinya mencari seorang teman di dunia hampa ini, lebih baik energi terbatas digunakannya untuk mendapatkan teritori agar dia tidak menghilang. Hantu pendek itu tidak waras, pikir Renjun lagi.
"Itu hukuman karena kau berani melangkah ke teritoriku. Lebih baik dari pada aku menyerap energimu." Ancamnya.
Renjun meneguk ludahnya gugup. Rasa kesal dan tidak berdaya dirasakan. "Baik." Jawabnya singkat.
Saat Renjun hendak menembus tembok, suara si sialan tadi kembali memperingatinya bahwa ia akan mencarinya jika berani melarikan diri. Dia tiba di luar dengan perasaan putus asa. Sempat berpikir tuhan jahat karena takdir buruk seorang Huang Renjun.
"Apa maksudnya mencari teman? Aku memiliki ingitan tentang rasa kesepian yang mendalam, bisa ku pastikan jika aku tidak memiliki siapapun saat hidup. Lalu, apa gunanya mempunyai seorang teman setelah menjadi hantu?" Gumam Renjun.
Tidak peduli ke mana pikiran kusutnya menuntun, Renjun terus melayang sambil menghindari beberapa tempat yang dirasa memiliki aura kuat. Aura milik hantu yang mungkin saja akan menyerap energinya. Entah berapa kali dia melewati hantu-hantu lemah yang menurutnya aman didekati, hanya saja hatinya seolah menyatakan agar terus melayang. Jika dalam dunia manusia mungkin saja Renjun sudah melayang tak tentu arah selama beberapa jam tanpa menunjukkan sedikitpun ketertarikkannya mendekati hantu mana pun. Hingga akhirnya Renjun menemukan satu hantu yang menarik perhatiannya.
Renjun melayang hingga ke atap bangunan di depannya. Berniat menemui hantu yang terus mengulang kematiannya. Hantu tersebut berdiri di pinggir bangunan, merentangkan tangannya, memejamkan mata, lalu menjatuhkn dirinya ke bawah. Lagi dan lagi. Tiada jeda. Sesosok hantu biasanya akan merasa terganggu jika ada sesuatu yang tak diundang mendatanginya. Tapi Renjun melihat si hantu gila tidak merasa terganggu saat Renjun berdiri memperhatikan dari jarak dekat.
"Apa itu menyenangkan?" Celetuk Renjun saat hantu yang dinamainya hantu gila bersiap melompat.
Si hantu gila membuka matanya yang terpejam. Matanya kosong dan lurus ke depan. Tanpa menoleh, suara serupa bisikan terdengar. "Pergi."
Renjun menggaruk belakang kepalanya dan menggeleng. "Aku ingin menonton." Hal yang sangat aneh untuk dikatakan.
Hantu gila tersebut mendengus tapi mengabaikan Renjun dan kembali melompat. Saat hantu tadi masih berada di bawah, Renjun melayang cepat dan berdiri di posisi hantu tersebut merentangkan tangan sebelum terjun. Ia ingin tahu apa tanggapan yang akan diberi. Senyum Renjun mengembang mendapati dirinya sangat iseng tapi juga penasaran.
Hantu tersebut akhirnya kembali dan berdiri di sebelah Renjun dengan raut wajah kesal. Pasalnya dia tidak bisa melanjutkan acara mati unlimitednya karena Renjun berdiri di tempatnya bunuh diri. "Katakan apa maumu?" Ia bertanya kesal.
"Hm, jadi begitu. Karena secara otomatis jiwamu akan langsung berada di sini, kau tidak akan bisa melanjutkan acara melompatnya jika salah satu kemungkinan hilang." Renjun mengangguk-angguk dengan tangan di bawah dagu. "Lalu, bagaimana jika bangunan ini hilang?"
Dengan kening dikerutkan, ia menjawab. "Jika bukan karena ulah hantu, tidak akan ada efek apapun."
Renjun kembali mengangguk-angguk. "Dunia hantu memang berbeda."
"Jika sudah. Minggirlah."
Renjun menggeleng. "Hm, ingin menjadi temanku?" Ragunya. "Oh, aku Renjun. Namamu?"
Hantu di sampingnya semakin mengerutkan kening. "Kau baru mati? Hantu tidak butuh teman." Hantu tersebut mencibir.
Renjun kembali menggaruk belakang kepalanya. Bingung. "Tinggal denganku. Mau?"
"Kau gila?!"
Renjun berusaha sekuat tenaga agar tidak balik mengumpat. Jelas sekali siapa hantu gila di sini. Tapi Renjun berusaha terlihat setenang mungkin. Dia sendiri juga sadar jika hantu tidak suka diusik mengenai hal yang berhubungan dengan bagaimana caranya mati.
"Baiklah. Sebenarnya..."
.
.
."Akhirnya kau muncul juga. Temanmu? Pilihan yang bagus"
Renjun berdiri canggung bersisian dengan Chenle. Hantu yang setuju menjadi temannya setelah Renjun menceritakan masalahnya dengan hantu di apartemen ini. Di depannya berdiri dua hantu tampan dengan senyum ramah. Sebagai hantu baru, tentu saja Renjun merasa mereka sangat aneh. Bagaimana mungkin hantu bisa seramah ini? Lalu Renjun tidak mengerti maksud 'pilihan bagus' tapi memilih bungkam.
"Aku Ten, dia Hendery."
Renjun mengangguk singkat. "Aku Renjun. Dia, Chenle"
"Kau bisa menghantui dua kamar di apartemen ini." Kata Ten, yang paling pendek dari dua hantu pemilik apartemen ini.
Fokus Renjun pada kata menghantui. Artinya dua kamar tersebut masih milik Ten hanya saja dia mengizinkan mereka menetap di sana.
Renjun merinding tiba-tiba. Dirasakan sebuah tatapan menusuk di sebelahnya. Chenle menatapnya sambil menyatakan 'yang memiliki balkon punyaku' ke dalam kepala Renjun.
.
.
.
ㅡ
Bersambung.Maaf semua pembaca Mati!
Lama banget gak update karena ngatur hati yang kurang puas dengan hidup. Terus... sibuk nonton bl series thai."-";Anyway! Thanks masih setia jadi timses Luwoo walaupun moment Luwoo gak ada lagi. T^T
Thanks juga masih setia baca Mati, artinya kalian ikut mendukung akun ini mengabadikan Luwoo. Lol.
Btw, baru update app wattpad dan banyak banget perubahan. -_-
I'm luwuco successor, cya~
KAMU SEDANG MEMBACA
MATI
FanfictionLucas dan Jungwoo mati. Berdua menyiapkan hati ke kehidupan selanjutnya. Not a romance thriller story. You'll find characters death, a bit of suicide, assult, and violent. Ofc, alot of ghosts.