"Matamu abu-abu.." aku mencoba memecah keheningan yg membuatku canggung. Pria German ini benar-benar telah mengambil hatiku.
"Tidak, mataku biru."
"Abu-abu," entah aku yg salah lihat atau memang di tempat asalnya sana warna mata seperti itu dinamai biru.
"Biruuuuuuu. Kemarilah, lihat baik-baik."
Dan dengan bodohnya aku mendekatkan wajahku padanya, tepat di depan mukanya. Cukup dekat untuk merasakan nafasnya menyentuh kulitku. Membuat semuanya semakin canggung dan aku takut dia bisa mendengar suara jantungku yang berdebar-debar.
"Ya, matamu memang biru, mata biru yang cantik," kataku sambil membuang mukaku. Aku asal saja bicara padahal aku masih yakin kalau matanya abu-abu.
"Kau tau, matamu juga cantik, seperti mata rusa."
"Mata rusa?"
"Iya rusa. Kau tau rusa kan? Mata mereka coklat dan besar. Sangat menarik perhatianku saat kita pertama kali bertemu."
"Ah, begitu ya?" aku tidak tau harus berkata apa dan aku tidak menyangka dia punya pendapat seperti itu tentangku. Tapi hal itu cukup membuat beberapa tunas bunga tumbuh di hatiku.
"Aku lanjutkan pekerjaanku dulu," ya Tuhan, bodohnya aku! Kenapa malah itu yang keluar dari mulutku. Pdhal sudah jelas aku masih ingin menghabiskan sedikit lagi waktuku dengannya.
"Okay, silakan."
Dan dia pun kembali sibuk dengan laptopnya. Sementara aku kembali menerka-nerka apa isi hatinya.