Timeline

61 3 1
                                    

Yang pertama Jeffrey. Awal musim panas merupakan garis mulanya saat kami bersinggungan saat menunggu pesanan kopi di café kecil dekat stasiun, aku yang sedang menunggu kereta untuk mengunjungi rumah ibuku untuk berlibur dan dia yang sedang menunggu keluarga kecil kakaknya tiba dari luar kota. Kami bercengkrama sebentar dengan basa-basi yang berujung bertukar kontak. Selanjutnya diteruskan dengan saling menulis pesan dan kadang telfon berdurasi panjang saat kami sama-sama tidak bisa menutup mata di malam-malam yang melarut.

Aku sadar betul sudah jatuh cinta, aku tahu benar inilah rasanya mencintai seseorang. Hati yang mulai menghangat saat membaca pesan darinya, telfon yang selalu ditunggu tiap malam. Tiap kali ia tersenyum, mengucap namaku dari bibirnya, gandengan tangan yang hangat dan rengkuh tubuhnya pada tubuhku— semua tanda-tanda yang membekas dan membuat hati berdegup lebih cepat...

Dan pada suatu hari, aku terbangun tanpa eksistensi Jeffrey lagi di kehidupanku. Not even a single trace of him left behind in my life, I just knew that myself.

I'm not even sure if I'm still 'me' anymore.

But surprisingly, I'm not that panic, like I knew that this would happen from the start.

It comes to a full circle all over again, even tho it's not a completely identical circle from before, I reckon.

Yang kedua namanya Bara. Yang menyatukan kami adalah putri tunggalnya, yang kala itu merindukan sosok seorang ibu, dan aku kebetulan merupakan perempuan yang bisa mengisi celah kosong tersebut di hati putri semata wayang lelaki itu. Perkenalan pertama kali dengan Bara hanya selewat saja, sebatas kolega hubungan atasan dan bawahan yang sering kali bertegur sapa di saat sama-sama lelah dan mencari dosis kafein di pantry. Yang berperan penting dalam hubungan kami memang Aya, putri Bara yang tidak hanya sekali dua kali saja dia bawa ke tempat kerja. Anak manis itu mengitari ruangan kantor seharian, menghampiri om dan tante yang bekerja disana satu-satu, gampang bosan seperti bocah balita pada umumnya. Dan kebetulan aku cukup handal menangani anak kecil, alhasil Aya sering menggambar dan bermain origami di mejaku, sama seringnya dengan tidur di sofa di ruangan bapaknya jika beliau sedang sibuk rapat redaksi.

Gadis berusia 4 tahun itu makin sering menempel padaku. Biasanya Bara hanya memberi ucapan terimakasih secara kasual karena sudah rela direcoki oleh Aya, ataupun dengan bentuk traktiran dari coffee shop sebrang jalan. Sampai akhirnya kami makin dekat satu sama lain, Bara mengundang ke acara ulangtahun Aya, Bara mengajak menemaninya mendatangi acara pernikahan temannya, Bara menawarkan ikut menjemput Aya dari rumah neneknya, Bara meminta tolong memilihkan baju untuk Aya.

Aku merasakannya lagi, semua tanda-tanda yang membekas dan membuat hati berdegup lebih cepat.

Hingga suatu saat, Bara took a sudden huge leap in our relationship. He wants me to be his wife, to be Aya's mom.

And I said 'yes' in a heartbeat.

Satu kantor sempat geger karena berita mengejutkan dari kami, but then they took it well after that. Tidak sampai setahun berikutnya, kami menikah. Aya memanggilku 'bunda', setiap pagi membangunkan Bara dengan kecup lembut di pipi, Aya tidak mau pergi sekolah jika rambutnya tidak ditata oleh bundanya, Bara suka melihatku tenggelam dalam bajunya yang kebesaran di tubuhku, Bara memenangkan lomba balap lari melawan ayah-ayah lainnya saat family day di sekolah Aya—

Lalu kembali lagi, dua hari setelah ulang tahun Aya yang ke sembilan, aku terbangun tanpa Bara dan juga Aya.

Aku ingat setetes airmata turun dipipiku kala itu, merindukan Aya. But I know she don't even exist anymore. And thus, my life goes on— another life of mine.

Yang ketiga Marcel. Dia muncul saat aku mulai tidak 'merasa' lagi, bayang Bara maupun Aya sudah tidak senyata dulu. And somehow I just missed being loved. Kami bertemu di acara pernikahan teman mutual, berawal dengan sama-sama setengah bercanda menggunjing ibu-ibu yang membawa empat gelas sekaligus suguhan es krim dari prasmanan saat kami menunggu giliran mengambil jatah kami. Ternyata Marcel adalah senior tingkat akhir yang satu UKM dengan temanku yang berbahagia kala itu, walaupun aku baru pertama kali bertemu dengannya, anehnya Marcel beraura familiar. Perkenalan kami hanya sampai sebatas itu saja sampai suatu ketika temanku itu bercerita kalau Marcel bolak-balik menanyakan aku kepadanya, dan kebetulan juga kami akhirnya bertemu lagi di parkir depan perpustakaan pusat. Setelahnya berjalan dengan natural, pesan-pesan di kala senggang, panggilan telfon yang tidak pernah lupa aku angkat jika sedang lowong, lalu kemudian berujung dengan menentukan tanggal untuk pergi berdua.

TimelineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang