TERGANTUNG

48 3 0
                                    

Aku masih menatap wajah manis yang sedang sibuk membuka cangkang kepiting dengan capitan. Air mukanya berubah-ubah, sesekali mengernyit geregetan sambil memberikan kekuatan untuk mencapit cangkang kepiting, sesekali senang ketika berhasil memakan daging lembut setelah bersusah payah membuka cangkangnya. Dia terlihat anggun meski dengan berbagai macam ekpresi tadi. Dia membalas tatapanku lalu tersenyum. Tangannya terulur memberikan daging kepiting yang baru saja dia dapat dari susah payahnya. Aku buka mulutku lantas mengunyahnya. Jangan lupa mataku masih pada objek manis itu. Hanya saja kosong.

Pikiranku terus berputar-putar mencari jawaban dari pertanyaanku yang sebenarnya itu-itu saja. Sungguh aku tak habis pikir. Aku, Arjuna Wira Anugerah sedang menatap gadis moody yang sedang memakan kepiting di resto seafood Pantai Bali Selatan dengan sejuta pertanyaan.

---

Hai, kalian sudah tahu namaku. Tapi untuk mempertegas akan aku ulangi. Aku Arjuna Wira Anugerah. Cowok tulen lulusan Universitas Gajah dengan prodi DKV peminatan creativepreneur dua tahun lalu. Umur? Masih tergolong muda untuk disebut pengusaha sukses. Tapi itu memang kenyataan, di umur dua puluh aku sudah menciptakan usaha percetakan skala kecil, dan empat tahun berikutnya usahaku Alhamdulillah sudah mulai mengudara di pasar nasional. Namun, sekarang aku tidak akan menceritakan mengenai bagaimana aku mencapai tingkatanku sekarang melainkan menceritakan gadis yang sedang duduk manis sambil makan kepiting di depanku.

Dia Jovi. Jovianne Cahaya Putri. Sahabat dari zaman putih abu sampai sekarang. Dia gadis cuek yang pertama kali berani berkenalan denganku ketika aku baru saja pindah ke sekolahnya. Dia benar-benar cuek ditambah lagi dengan bumbu jutek sehingga menghasilkan rasa dingin ketika kau baru mengenalnya pertama kali. Tak masalah bagiku karena di balik tabir itu, dia imut (menurutku), dia cerdas dengan segala ide-ide nyelenehnya dan dia berprinsip. Hanya saja aku bermasalah dengan prinsipnya sampai saat ini. Dan prinsip itulah yang masih menjadi misteri bagiku.

Kalian tahu kata 'tergantung'? Benar. Kata berimbuhan ter- dengan kata dasar gantung. Kadang bermakna suatu kata kerja pasif kadang bermakna suatu kondisi. (maaf jika salah) Lalu apa masalahnya dengan Jovi?

Semenjak aku kenal dekat dengan gadis ini, hampir setiap hari aku mendengar kata itu. Mulai dari membuat janji, presentasi, berdiskusi, sampai membuat kondisi temanku menjadi buruk. Dia gunakan kata 'tergantung' dalam setiap percakapannya.

Jika kau tanya, "Jov, lo mau ga pergi ke Gramed? Katanya ada novel baru best seller lho." Maka dia akan jawab "Oh, boleh. Tapi ga tau juga. Tergantung mamah aku ya ngijinin atau engga nanti." Lalu jika kau tanya, "Jov, kalo lo dikasi pilihan nolongin si Jun-Jun ato nolongin si Anton, anak basket tadi?" Aku berharap dia akan menolongku, tapi coba kau dengar jawabannya. Dia bilang, "Kalo aku sih tergantung. Kalo misalnya Jun-Jun kondisinya ga terlalu parah, aku mending nolong si Anton duluan." Dia benar-benar jahat.

Ah, Aku ingat saat dia presentasi mapel sosiologi rasanya. Temanku iseng bertanya, "Jov, tadi kamu bilang ada beberapa daerah yang menjadikan judi sebagai budaya. Menurut kamu judi itu termasuk hal yang baik ga sih jika kita membiarkan judi sebagai budaya leluhur?" tebak apa yang dia jawab. Yak, betul! Dia menjawab, "Menurut aku sih tergantung. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihat fenomena ini. Ingat teori relativitas budaya? Mungkin budaya kita tak membenarkan judi tersebut. Tapi ternyata menurut budaya yang dimaksud malah membenarkan praktik judi itu sendiri. Kita tak bisa menyalahkan mereka begitu saja."

Kebiasaan itu berlanjut ke jenjang perkuliahan. Ada seorang kakak tingkat, mengadu padaku. Kebetulan aku dan Jovi sedang melamar untuk tinggal di asrama dan kami harus melewati seleksi wawancara salah satunya. Kating itu bilang, dia bertanya pada Jovi, "ketika kau berhadapan dengan kegiatan UKM dan kegiatan asrama dimana mereka diadakan bersamaan, yang mana akan kau pilih. Tak mungkin juga kan kau sering mangkir dari kegiatan asrama hanya karena UKM?" itu pertanyaan menjebak kawan. Aku juga dihadapkan hal yang sama saat wawacara. Kalau aku, aku menjawab dengan pasti bahwa aku akan mengikuti kegiatan asrama terlebih dahulu sebelum kegiatan UKM. Terdengar idealis bukan? Namun, gadis ini? Dia dengan cuek bilang, "kalau saya sih tergantung kak. Kegiatan yang mana punya prioritas lebih tinggi. Tak harus ikut kegiatan asrama terus kan kak? Saya juga ingin mengembangkan diri di luar asrama. Kalau harus saklek ke UKM atau harus ke asrama, saya tidak bisa memilih. Saya akan memperhitungkan prioritas. Event mana yang kehadiran saya sangat dibutuhkan, di sana saya ada." Jawaban itu berhasil membuat kating itu speechless.

TergantungWhere stories live. Discover now