Prolog

5 0 0
                                    

Halo, aku Tisa. Lengkapnya Tisafa Anggraini. Aku sekolah di salah satu SMA Negeri di Bandung. Aku tidak ingin sombong sih, tapi, temen-temen bilang otakku 'cukup' encer.

Karena otak yang lumayan encer ini, dulu waktu daftar di SMA, aku termasuk di golongan orang orang yang lulus tanpa tes.

Akan kuceritakan sedikit, awal mula cerita cinta-cintaan ala anak SMA labil yang ada di hidupku. Aku gak tau banyak, aku gak sadar ada hal apa di otakku yang menyebabkan aku kembali ke urusan cinta yang sempat aku jadikan musuh berat di hidupku.

Saat itu, hari pengurusan berkas di sekolah baruku, ada ratusan orang yang lewat di hadapanku, sama sepertiku, mengurus berkas untuk masuk SMA. Tapi ada tiga orang yang mengunci pandanganku—well, sebenarnya hanya satu orang.

Dia mengenakan jaket jeans motif army berwarna hijau tua, badannya tinggi berisi, di sampingnya, ada wanita paruh baya yang aku asumsikan sebagai ibunya, dan satu lagi laki-laki yang wajahnya mirip. Aku tidak tau itu siapa, aku juga tidak ingin menerka banyak. Mereka mengantri di jalur diluar rayon, sedangkan aku sedang mengisi berkas berkas yang kurang lengkap.

Aku tidak tau takdir memang berpihak padaku atau semuanya memang hanya kebetulan, karena sekitar 2 jam setelah kejadian itu, mereka melintas di tempat aku dan teman-temanku duduk, ingin membeli map di koperasi sekolah yang letaknya memang tak jauh dari tempatku.

"Loh tante?" Salah satu temanku bersuara lantang, lalu berdiri menyalami wanita yang aku asumsikan sebagai ibunya. "Athala sama Ryan sekolah disini?"

Aku gak terlalu dengar percakapan apa yang mereka lontarkan setelahnya. Beberapa menit kemudian, Fero—temanku yang tadi menyapa, kembali ke tempat setelah bersalaman dengan 2 anak laki-laki itu. Kami menatapnya dengan alis tertaut.

"Temen SD, gak nyangka bakal satu sekolah lagi," katanya.

Aku mengangguk mengerti. Dan semuanya dimulai dari sana. Aku belum tau betul siapa nama anak laki-laki berjaket army itu, sayang sekali, hahaha.

Tapi jujur, aku tidak bisa menyangkal kalau wajahnya tidak bisa hilang dari pikiranku. Dia kelihatannya pendiam, atau bisa kuasumsikan tipe laki-laki ganteng yang suka tebar pesona dan modus sana-sini.

Dan dari situlah, cerita ini aku mulai.

The LouvreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang