Awal

47 4 2
                                    

Author P.O.V

Suara rintik hujan yang berjatuhan di atap rumah perlahan mereda. Kicauan burung mulai terdengar merdu. Aroma alami dari hujan yang jatuh ke tanah, petrikor, seakan enggan untuk pergi. Damai, adalah kata yang dapat kita gambarkan dari suasana tersebut. Tetapi tidak bagi Adlana, seorang gadis berambut hitam panjang yang memiliki bola mata berwarna coklat terang, lesung pipi di pipi kiri nya, dan kulit putih nan mulus seperti bayi.

Adlana tengah berjalan kian-kemari di dalam kamarnya. Mempersiapkan diri untuk ospek fakultas pertamanya. Ia telah menggunakan celana jeans dan kaos putih seperti apa yang diminta para kakak tingkat.

"Ana! Ada Arsen dibawah! Cepet turun sini, sarapan dulu!"
Mendengar teriakan sang ibunda, Adlana bergegas membawa perlengkapan yang diperlukan lalu berjalan menuruni anak tangga menuju ruang makan. Disana ia bisa melihat bunda nya, adik perempuannya, Adrina, dan Arsen.

"Oh- hai Sen! Lo udah siap buat hari ini?"
Tanya Adlana sembari mengambil roti yang diisi dengan selai strawberry kesukaannya. Arsen mengangguk menanggapi pertanyaan Adlana.

"Nak Arsen, titip Ana ya maaf ngerepotin."
Bunda tengah sibuk membuat bekal untuk Adrina. Arsen hanya tersenyum menanggapi bunda. Arsen adalah seorang lelaki bertubuh tinggi sehingga sering kali Adlana memanggilnya jerapah. Mereka sahabat dari kecil, Arsen sudah terbiasa mengantar jemput Adlana sejak SMP dengan motor nya.

"Bunda, udah ya Ana sama Arsen pergi dulu, takut terlambat nihh!" Adlana meraih tangan bundanya untuk salim.
"Bunda, Arsen pamit dulu." Arsen mengikuti apa yang dilakukan Adlana. "Udah yuk Na, sebentar lagi jam 8."
Mereka pun berjalan menuju motor kawasaki milik Arsen.

Adlana P.O.V

Seperti biasa Arsen bawa motor nya santai, nggak ngebut. Jalanan juga masih basah karena hujan yang baru saja berhenti.

"Eh sen, gue takut deh." Arsen berdeham menanggapi celotehan gue.
"Takut kenapa? Ketemu bebeb waktu SMA, ya?" Sontak gue menepuk tengkuk nya.
"Ah bangsat lo gaasik! Gue lagi panik tolol." Arsen tertawa puas mendengar gue yang lagi kesel.
"Kasar banget anak bunda, gue bilangin mampus lo."
"Astaghfirullah iya maaf om, khilaf."

Gue keluarin semua hal yang lagi gue pikirin pagi itu ke Arsen. Dia emang sahabat gue yang paling baik dari dulu. Selalu dengerin celotehan gue yang gaguna, antar jemput gue sampe dikira kita pacaran. Ogah sih gue dibilang pacaran sama dia, Arsen udah kayak saudara kembar gue. Udah gitu ultah kita sama.

Tak lama, motor Arsen memasuki tempat parkir universitas kita. "Buset rame banget jir." Kata gue setelah melihat para maba dari fakultas farmasi berkumpul di depan gedung fakultas. Oh iya, gue sama Arsen ini satu jurusan. Gimana ga bosen coba gue ketemu dia dimana-mana?!

Akhirnya gue sama Arsen berjalan  mendekati maba lainnya. Sesekali kita ngobrol sama yang lain, kenalan biar ga cengo banget gitu kan. Tiba-tiba, kakak tingkat yang tak lain adalah anggota BEM muncul keluar dari gedung, berbaris lalu menatap kami tajam. Gue, Arsen, dan yang lainnya ikut berbaris. Bodohnya kenapa gue baris paling depan gue jadi salting. Namun bukan tatapan mereka yang bikin gue salah tingkah. Melainkan luka lama yang sekarang tengah berdiri di hadapan gue.

Rezvan. Iya dia. Cowok yang gue omongin sama Arsen selama perjalan ke kampus. Dia cinta pertama gue pas SMP. Gue sampe minta bantuan kakaknya Arsen, Lala buat nyomblangin gue sama Rezvan. Si Arsen mah cuma ngeiyain gue doang, ngeledekin gue kalo ada Rezvan. Sampe suatu hari gue dianter pulang Rezvan karena Arsen sialan mendadak diare dan harus pulang cepet. Sejak saat itu gue semakin deket sama doi, sampe pas gue duduk di bangku SMA, dia nembak gue. Dan hubungan kita lancar jaya sampe kita memutuskan buat putus pas dia otw kuliah. Begonya gue ga cari tau dimana dia kuliah. Arsen yang kasih tau gue kalau Rezvan juga anak farmasi di kampus ini. Rasanya mau pulang aja gue ngeliat muka dia yang natap gue datar.

Anjir. Fak. Arsen gue mau pulang.

Gue berharap Arsen mendengar isi otak gue. Tapi si dongo malah sok tertib merhatiin kating yang mulai ngomong. Gue semakin tidak beruntung pas gue tau kalau Rezvan ketua BEM nya.

AmigoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang