dark.

145 23 3
                                    

disclaimer: tidak ada keuntungan finansial yang diambil dari pembuatan karya ini, yang dibuat untuk kepentingan hiburan semata.

.

.

.

.

.


he's dancing in the dark,

she is doing so,

and it's all about the scattered rose petals and the shadow that sweep it all. it's all about the lone swing and lonely jump and the darkness that engulfs the spotlight, but still; they are reaching each other's arm to end the show with grasp.

.

Hanya tertinggal seberkas cahaya temaram untuk Seulgi di ruang latihan itu.

Ia menatap bayang-bayangnya sendiri pada cermin, begitu gelap. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berjinjit pada ujung jari-jari kakinya. Gerakan tangannya memulai balet itu dengan gemulai,

kemudian ia menghanyutkan dirinya sendiri dalam tarian di kegelapan. Ia sudah menonton beberapa video balet beberapa hari ini, dan ia merekamnya sendiri dalam ingatan, mempraktikkannya dengan kreasinya sendiri, kombinasi gerakan-gerakan. Melompat, berputar, gemulai dan tangkas, yang lentur dan penuh penghayatan. Ia mencoba membebaskan beban-bebannya seperti mawar yang membiarkan kelopak-kelopak layunya berjatuhan.

Seulgi mengakhirinya dengan gerakan yang sama dengan gerakan pembuka. Ia terengah-engah, kembali memandangi refleksinya pada dinding cermin. Lantas ia pun terduduk, mematikan lampu dari lightstick itu sehingga yang ada hanya benar-benar kegelapan. Ia mengatur napasnya sebentar, hingga kemudian saat normal kembali, ia pun berdiri, memasukkan lightstick dan ponsel ke dalam tas, mencangklong benda itu pada bahu kanannya.

Saat itulah lampu ruang latihan dinyalakan.

. . .

Jongin tak punya tempat lari yang lebih bagus lagi selain ruang latihan. Dia tidak makan malam, tetapi tidak juga merasa lapar. Dia hanya ingin berlari, meskipun itu artinya ia melakukan entah break dance, balet, popping, atau apapun sejenisnya.

Lorong sudah sepi, banyak lampu yang telah dimatikan, tetapi ruang latihan biasanya tersedia dua puluh empat jam terutama bagi artis-artis yang memerlukannya (atau para trainee, jika mereka bersedia menambah waktu latihan). Jongin, dengan bucket hat hitamnya dan kaos longgar dan celana latihan, menuju ke tempat itu tanpa semangat yang berarti.

Ia menyalakan lampu ruang latihan, dan sebuah sosok mengejutkannya seperti hantu.

Mereka hanya bertatapan, Jongin memandangnya dengan mata sedih. Seluruh alasannya untuk berlari berada di sini, dan pikirannya mendadak gamang kembali. Mereka tidak bertegur sapa, Jongin hanya bergeming sampai Seulgi pergi.

Jongin semakin bingung dengan keadaan mereka berdua—

—terlebih, saat itu, Seulgi sedang memakai sweater miliknya.

Tetapi, pergi tanpa kata.

. . .

Jongin mencoba menghubunginya dengan sedikit keyakinan.

Kekhawatirannya benar, Seulgi tak menjawabnya. Dia menimbang-nimbang berbagai pilihan sambil memukul-mukulkan ponselnya ke telapak tangannya, tetapi pada akhirnya dia tak bisa memilih apapun.

dreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang