Prasangka

1 0 0
                                    

Manti mendesah murung di meja makan yang masih berantakan. Baru saja suaminya, Iman sarapan disitu dan sekarang suaminya sudah kembali mengendarai matic bekas yang dipakainya buat ngojek. Setiap hari dalam tiga pekan ini suaminya mengantar jemput Bu Lita yang baru ngontrak di rumahnya H. Muin. Kata suaminya, Bu Lita booking motornya buat antar jemput kerja. Mungkin karena itu dia lupa akan janjinya memberikanku hadiah istimewa di ulang tahun pernikahan yang ke-2, fikirnya.
Suaminya begitu sumringah mendapat tawaran antar jemput Bu Lita. Apakah hal itu begitu membahagiakan?.

Suaminya sering di booking tetangga, pria dan wanita tapi tak pernah ia seresah ini. Ia tak tahan dengan pertanyaan dan cibiran ibu-ibu tetangganya yang mengatakan kalau ia bodoh membiarkan suaminya di manfaatkan oleh Bu Lita. "Bukan dimanfaatkan bu-ibu, wong tiap hari dia bayar kok." Kata Manti menyanggah, berusaha menutupi kegundahan hatinya.
"Ya tapi masa Bu Manti ngga liat apa Bu Lita begitu mesra sama suami sampeyan?."
Manti masih berfikir positif tapi pertahanannya runtuh ketika mendengar gosip-gosip tentang perselingkuhan suami Aminah dengan anak SMA. Oh Tuhan, pelakor. Kata itu sering terdengar sekarang. Dan mungkin lagi jadi trending topik.
Tapi apa yang bisa diharapkan dari suaminya yang hanya tukang ojek?. Tampangnya juga pas-pasan. Apa karena suaminya orang yang baik, yang mudah dimanfaatkan?. Manti berusaha mengenyahkan fikiran tidak baik itu. Ia tau suaminya lelaki setia dan bertanggung jawab, orangnya juga sabar dan rajin beribadah. Ataukah ketiadaan anak selama 2 tahun pernikahan jadi pemicunya? Tidak. Tidak. Suaminya pernah bilang, jika mereka belum punya anak sampai saat ini, berarti Allah masih belum mempercayakan titipannya pada mereka. Allah tau mereka sedang berusaha mencari rezeki halal-Nya dan menabung agar bisa punya rumah sendiri.

Suaminya, Bang Iman tidak kerja sendiri, Manti membantu menambah pundi-pundi rupiah dengan menjual kripik pisang yang di titip di warung. Kerjanya serabutan, bisa jadi tukang cuci piring, cuci pakaian, jasa setrika dan pekerjaan rumah lainnya. Setiap hari setelah suaminya sarapan, jika tak membuat kripik pisang, Manti biasanya ke rumah tetangga menawarkan bantuan. Tapi setiap dari rumah tetangga, kepalanya terisi dengan gosip-gosip yang menggoyahkan hatinya. Dari sinilah setiap suaminya pulang ia selalu berkeluh kesah. Suaminya dengan sabar mendengarkan dan berkata istrinya itu harus sabar bersuamikan dia yang tukang ojek. Tidak mungkin kan ia pilah-pilih jenis kelamin tetangga. Manti sedikit lega malam itu.

Tapi ketenangannya kembali terusik ketika di minggu keempat terdengar gosip dari Bu Darmi yang melihat suaminya mengantar Bu Lita ke rumah sakit. Waktu itu memang suaminya sempat pulang makan siang dan shalat, kemudian terburu-buru pergi katanya ada hal darurat. Ya Allah, benarkah suaminya kena godaan pelakor? Deru deram dadanya menunggu suaminya pulang untuk diinterogasi. Ia tak punya handphone untuk menghubungi suaminya. Mereka sedang penghematan.
Jam 9 malam suaminya baru pulang. Kelihatannya tidak bersama Bu Lita. Terlihat wajah lelah suaminya yang ingin minta dibuatkan kopi seperti biasa. Tapi suaminya urung meminta melihat Manti yang masih berdiri diam di depan pintu. Biasanya jika pulang bekerja istrinya akan menyambut senyum dan segera mencium tangannya.
"Kenapa baru pulang larut begini, Bang?" Manti bertanya dengan ketus sambil masuk ke dalam dan duduk di kursi plastik.
"Baru selesai ngantar Bu Lita, Sayang. Kenapa sih kok mukanya cemberut gitu. Abang butuh dipijat nih?" Seloroh suaminya berusaha bercanda. Mata Manti melotot "Trus mana Bu Lita? Kok ngga bareng pulangnya?"
Bang Iman terdiam sedetik. "Hari ini terakhir Abang antar jemput Bu Lita, Bu. Besok udah ngga ngontrak lagi dia di rumahnya H. Muin."
"Trus dimana dia sekarang?." Bang Iman menatap istrinya ragu. "Yang penting Abang udah ngga antar jemput dia dah mulai besok." Sedikit kesal Bang Iman berucap. Ia bingung dengan sikap istrinya sekarang.
"Abang harus jujur sama istri. Jangan-jangan bener kata ibu-ibu disini bahwa Bu Lita itu pelakor dan berusaha memanfaatkan abang."
Bang Iman menatapnya terluka. "Astagfirullah, kenapa istri abang jadi begini sih?. Istigfar sayang." Bang Iman mengusap wajahnya yang pias.
"Jadi apa coba? Ayo abang jelasin." Mata Manti menatap tajam. Sepertinya penjelasan suaminya belumlah cukup.
"Ya Allah, Mantii Mantii. Kamu jangan terpengaruh dengan gosip-gosip ibu tetangga. Ngga selamanya yang mereka katakan itu benar. Husnudzon dong sayang." Mata Manti mulai panas. Tapi ia hanya diam menunggu kelanjutan penjelasan suaminya. Ia hanya ingin tau, bukan mengajak suaminya berdebat. Sambil menghela nafas Bang Iman mulai bercerita.
"Selama ini abang ngantar Bu Lita ke rumah sakit nengok suaminya yang sakit stroke. Dia pulang pergi karna tak tahan tidur di rumah sakit. Bu Lita ini keluarganya H. Muin, lho. Coba tanya sama H. Muin. Kenapa abang ngga ngomong selama ini karna Bu Lita yang ngelarang dulu abang cerita sama kamu. Dia malu kalo ketahuan suaminya kena stroke setelah jadi tersangka penggelapan uang perusahaan. Tadi sebelum dzuhur suaminya meninggal jadi abang bantu-bantu karna suaminya mau dibawa ke kampung orang tuanya. Bu Lita ikut serta makanya tadi siang sekalian Bu Lita ambil barang-barangnya. Abang juga salah harusnya abang ngomong aja sama kamu dari awal biar ngga salah paham." Bang Iman menggeleng2kan kepala. Selama ini ia berteori Komunikasi adalah pangkal utama dalam rumah tangga. Tapi ia tak pernah membayangkan jika komunikasi adalah pangkal masalahnya malam ini. Selama ini dikiranya semua baik-baik saja. Ia tak tahu ternyata istrinya memendam rasa cemburu pada Bu Lita. Pikirnya wajar istrinya kadang berkeluh kesah beberapa malam ini. Tapi ia benar-benar tidak tahu karna sampai tadi siang istrinya masih baik-baik saja, tidak bertekuk wajah seperti sekarang ini. Diliriknya wajah istrinya yang sedikit memerah sambil meremas-remas ujung kerudungnya. Kemudian tersenyum dikulum. Istrinya sedang menunjukkan reaksi saat cemburu. Ah, bumbu dalam keluarga.
Bang Iman seperti teringat sesuatu. Dirogohnya saku jaket kumalnya. Dikeluarkannya sebuah amplop.
"Ini titipan Bu Lita, bu. Katanya bonus diluar pembicaraan bookingan. Buat kamu. Mungkin isinya duit, abang belum buka."
Manti mengambil amplop itu dan membukanya. Uang seratusan berapa lembar. "Kata Bu Lita, buat nambah modal kamu dalam usaha kripik pisang." Tanpa bisa tertahan, air mata Manti keluar begitu saja. Selama ini ia berprasangka buruk pada orang yang akan membantunya.
"Sekalian itu jadi hadiah pernikahan, boleh kan?. Uang hasil ngojek biar ditabung aja. Kemarin katanya kamu suka bikin cake jadi butuh mixer sama oven. Baiknya itu aja yang dibeli. Kalo uangnya ngga cukup, tambah dengan hasil ngojek aja, ya sayang." Manti tak bisa lagi berkata-kata di tengah deras air matanya. Perasaan malu dan bersalah begitu mendera.
Terdengar rintik hujan turun membasahi bumi. Menyiram hati-hati yang gerah agar menjadi lebih sejuk.
"Tenggorokan abang kering ini, bu. Sudah bolehkah abang meminta secangkir kopi?." Sedikit canda mungkin bisa mencairkan kekakuan ini. Istrinya sudah bisa tersenyum dengan pipi merona yang ia sukai.
"Ah maaf, bentar ya bang." Manti segera ke dapur untuk membuatkan kopi dan mengolah pisang sepatu matang yang sempat terabaikan. Takkan ada makanan lain yang nikmat selain kopi dan pisang goreng di cuaca hujan yang dingin-dingin basah ini. Sambil bekerja Manti menata hatinya yang sempat campur aduk tadi. Ah, kenapa perasaannya bisa seperti ini. Mungkin ia terlalu banyak mendengar gosip-gosip dari ibu-ibu tetangga. Besok-besok akan ia batasi pembicaraan dengan mereka.

-- Selesai --

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 17, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KUMPULAN CERITA PENDEKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang