"Kamu yakin, nggak mau aku antar?" Sita berjingkat-jingkat, berjalan mundur sehingga kini berhadap-hadapan dengan Orin yang hanya berjarak satu langkah.
Orin menggeleng tegas. "Nggak ah, mabok kalau bonceng kamu. Apalagi mood-nya lagi berantakan sejak pagi."
Sita meringis, mengeratkan tali ranselnya, masih dengan langkah yang terayun mundur. Salah satu hobinya yang petakilan ya seperti itu, kalau belum nabrak tiang aja, belum berhenti.
"Udah hepi kok Rin, matahari kan udah mulai condong ke barat." kerling Sita.
Orin tertawa sumbang. "Apa hubungannya sama matahari condong?"
Sita menghentikan langkahnya menyimpan senyuman. "Itu berarti udah lewat setengah hari, mana pernah aku ngambek lama-lama."
Untuk kali ini, Orin tak bisa menyembunyikan tawanya. Dan memang benar, Sita adalah sosok yang paling tidak bisa ngambek lama-lama. Makanya, sekesal apapun Sita dengan tingkah playboy Jefry, perempuan itu pasti akan kembali ceria dan hilang ngambeknya.
Jefry?
Orin mengerjap, mendapati satu sosok tak asing yang berdiri di depan sebuah mobil, tepat di halaman parkir kampus. Mobil itu terlalu mencolok, begitu juga pemiliknya.
Baru saja Orin ingin memberi tahu Sita, perempuan itu sudah membalikan tubuh dan terpaku pada satu titik yang sama dengan tatapannya. Pada seorang Jefry, yang kini sudah menyadari kehadiran mereka dan tengah melambaikan tangan. Jangan lupakan senyuman maut lelaki itu yang di umbar cuma-cuma di hadapan semesta.
"Selalu senyuman sok manis itu." Sita mendesis, menghentakkan langkah.
Mengikuti langkah Sita di sisi kiri, Orin membalas sengit desisan Sita. "Sok manis aja bikin kamu terpaku."
Dan ya, balasan dari Sita adalah pelototan mata tanpa ada kalimat balasan apapun.
"Hai, kalian udah mau pulang?" Jefry menyambut, saat Sita dan Orin tiba tiga langkah di depannya.
Orin menyambut dengan senyuman. "Hai Kak, iya nih, matahari udah mau condong, jadi pulang deh."
"Apaan sih Orin," Sita menyahut sinis. Dia melirik ke belakang bahunya sebelah kanan, ada beberapa mahasiswi yang menghentikan langkah dan berkasak-kusuk. Yang bisa Sita pastikan sedang membicarakan lelaki di hadapannya ini.
Inginnya, Sita menyembunyikan Jefry, namun, saat tatapannya beralih pada lelaki itu. Jefry justru sedang melambaikan tangan pada beberapa cewek-cewek dengan tak lupa di suguhi senyuman cassanova andalannya.
"Playboy ini." Sita menggeram, mengambil langkah seribu, segera melayangkan satu cubitan cabai di lengan Jefry, yang otomatis membuat lelaki itu berjengit dengan jeritan tertahan. Bahkan mundur beberapa langkah hingga menubruk kap mobilnya sendiri.
Orin geleng-geleng kepala sesaat, sebelum berganti untuk mengukir senyuman samar pada beberapa mahasiswa yang lewat di sekitarnya, meminta pengertian atas sedikit kegaduhan pada dua orang di hadapannya ini.
Jefry dan Sita masih di sibukkan dengan acara cubit-cubit dan menghindar.
"Ampun, sakit Ta. Udah. Udah." Jefry menangkap kedua pergelangan tangan Sita, mencengkeramnya erat agar tak lagi melayangkan cubitan.
Cubitan dari Sita itu pedasnya melebihi cabai rawit.
Meski sudah berulangkali, tetap saja rasanya Jefry tidak akan terbiasa. Tapi, Jefry senang saat Sita mengambil tindakan untuk mencubit dirinya, itu berarti gadis itu kesal.
Kekesalan Sita bagi Jefry adalah sebuah perhatian.
"Jangan ngambek dong, kan aku yang di cubit, gimana sih?" Jefry melepas cekalan tangannya di tangan Sita, namun bukan melepas sepenuhnya, justru menggenggam jari kelingking gadis itu. Satu hal lain yang juga Jefry sukai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Being A Perfect Love -End-
Romance*Sebagian part sudah diunpublish "Mencintai diam-diam itu sesak. Apalagi pura-pura bahagia pas dia jalan sama orang lain. Tapi, memang hanya seperti ini yang mampu kulakukan. Terhalang banyak hal, membuatku tertahan di tempatku." -Arsita Kumala Nam...