i know you

57 10 8
                                    

Aku mendengarnya. Dia yang sedang membicarakanku diam diam di belakang tembok ini. Dia tertawa terbahak bahak.

Oh tidak, aku salah.

Mereka.

Mereka membicarakanku. Suaranya mungkin tak akan terdengar oleh orang lain karena mereka–sekarang–bisik-bisik. Namun aku mendengarnya.

Jelas.

Sangat jelas.

Hingga aku berusaha menutup telingaku, namun suara itu terus terdengar. Aku keluar dari bilik tolilet. Berlari sekencang yang ku bisa dengan air mata yang telah membasahi kedua pipi ku.

'Kenapa ini terjadi padaku? Aku tak ingin hidup seperti ini. Hidup menderita dengan kebahagiaan yang orang lain inginkan. Jika memang mereka menginginkan apa yang aku punya, tolong beri mereka, Ya Tuhan. Beri mereka.' Aku menjerit dalam hati.

Aku menghapus air mataku kasar. Berlari menembus kerumunan yang menatapku heran. Kata kata tadi masih terngiang jelas. Aku tak tahu harus lari kemana lagi. Teriakan teman teman yang memanggilku masih terus terdengar.

Tiba tiba aku berhenti berlari. Dengan serentak teriakan itu juga berhenti. Tatapanku berusaha fokus pada ujung sepatu bersihku, namun gagal, pandanganku memburam karena air mata. Aku merasa pundakku ditepuk. Aku menghiraukannya, masih menangis dalam diam hingga tubuhku bergetar.

"Hei, tenanglah. Kau aman disini. Menangislah, menangis sepuasmu."

Ia memelukku. Pelukan ternyaman yang pernah aku rasakan. Ia menenangkanku. Perkataan sederhana yang berdampak besar pada tubuhku. Aku menangis lebih kencang, tak mempedulikan siapa yang aku buat basah seragamnya. Benar benar aku keluarkan semua tangisanku kala itu juga. Tubuhku bergetar hebat. Sangat sangat hebat. Hingga aku merasakan kesemutan karena terlalu lama bergetar.

Ia menepuk nepuk punggungku lembut. Terkadang juga mengusap rambut hitam panjangku perlahan. Aku masih menangis di pelukannya. Tak mempedulikan orang orang yang berkumpul semakin banyak. Bahkan harum mint segar dari badannya sangat menenangkanku.

Setelah dirasa cukup tenang, aku mundur beberapa langkah. Melepaskan pelukannya. Aku buru buru menghapus air mata yang akan jatuh kembali dengan kedua tanganku. Aku tak ingin ada drama tambahan di lorong kelas XII ini.

Aku mulai memfokuskan pandanganku pada tubuh tegap dihadapanku. Awalnya tak bisa, hingga akhirnya aku melawan rasa perih karena terlalu lama menangis. OH TIDAK! Aku berjalan mundur lagi, hingga menabrak tiang di belakangku.

Aku tak percaya ini semua.

Aku sungguh tak percaya.

Namun aku menikmatinya.

Aku sangat terkejut ketika sadar bahwa seseorang yang baru saja memelukku dan menenangkanku tadi adalah seorang kutu buku yang terkenal dingin dan tak suka bersosialisasi. Tanganku dengan refleks menutup mulutku yang kini sudah terbuka lebar.

Dia adalah Giovani Diltama. Seorang siswa dengan segudang prestasi akademik maupun non-akademik. Ia memiliki sejuta fans dimana mana. Termasuk aku. Visualnya yang tak terlalu tampan, malah bisa dibilang biasa saja, tak membuat para fans mengucilkannya. Hanya dengan modal tinggi ia memiliki fans. Sifat minus di dirinya hanyalah sikap dingin dan antisosialnya yang membuat para guru pun geleng geleng kepala.

Lelaki yang masih berdiri beberapa langkah didepanku ku ini, menyunggingkan sebuah senyuman. Senyuman yang hanya sekali para murid lihat selama mereka bersekolah disana.

Pandangannya masih setia mengarah kepadaku. Jantungku bahkan berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Mungkin bisa mengalahkan suara jeritan para fans Gio di telingaku. Sejenak, aku melupakan masalahku tadi.

Its Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang