Prolog

13 0 0
                                    

Ini bermula pada saat aku masuk SMA. Dimana aku adalah seorang gadis yang suka mengkritik dan suka sekali membuat orang lain tertawa.

Namun, berubah pada saat aku melihatnya menjadi perwakilan peserta yang menerima tanda calon siswa baru. Sifatku perlahan berubah.

Ketika dihadapannya, aku menjadi pemalu dan enggan berbicara. Entah mengapa semua itu berjalan seperti air. Mengalir, namun aku tak tahu apakah air itu akan tiba di muara indah ataukah di muara buram dan runyam.

Aku menyimpannya dalam satu kali pandangan. Menyimpannya dengan rapi didalam memori juga hati. Bayangan wajahnya terus menghantuiku. Bahkan, aku berharap untuk bisa satu kelas dengannya dulu. Tapi takdir tak memihakku. Kelas kita berjauhan, seperti halnya jarak dan waktu. Berjauhan, sangat.

Aku hanya sesekali bertemu dengannya di kantin, dan di masjid sekolah. Atau tak sengaja berpapasan ketika ingin ke kamar mandi. Dan yang paling membuatku semangat untuk Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) adalah ketika ia membantuku mengambil balon yang tersangkut di sebuah pohon.

Tak terlalu tinggi memang, tapi tetap saja waktu itu tubuhku masih pendek, tak bisa menggapainya. Lalu ia datang dan menjulurkan tangannya ke atas. Meraih tali balon yang menjuntai. Dengan ragu dan gugup, aku meraih balon yang diberikannya itu. Dan bergumam mengucapkan terimakasih.

Aku terkejut, ketika mendengar nada berat yang mengucapkan “sama – sama” sambil tersenyum. Aku ingin balas tersenyum, namun aku hanya mampu menundukkan kepala saja.

Ketika ia melangkah menjauh, aku menatap punggungnya seraya tersenyum, yang kemudian hilang di tikungan gerbang sekolah.

Andai saja ada mesin waktu yang bisa membuatku kembali kesana. Menikmati masa SMA yang penuh warna dan cerita. Juga menikmati senyumnya dari kejauhan. Berharap ia balas menatapku dan tahu perasaanku.

Namun, itu hanya ada dalam bayangan dan angan.
Ketika aku melihat diriku sendiri, aku baru menyadari. Aku sungguh tak pantas jika bersanding dengannya.
Oh, ayolah. Ini seperti sebuah lelucon. Tapi aku menyukainya.

Dia cukup terkenal dikalangan calon peserta didik baru. Dia pintar, bahkan jago bermain gitar. Dan yang paling membuatnya terkenal adalah wajahnya yang tampan, berwibawa, dan pemikirannya sangat bijaksana.

Siapa yang tak menyukainya? Hanya gadis bodoh yang tidak ingin bersanding dengannya. Bahkan salah satu temanku, kufikir ia menyukainya juga. Aku memang bukan ahli membaca bahasa tubuh, tapi jika dilihat dari gerak geriknya, juga tatapan matanya ketika melihat si penolongku itu…. Berbeda. Dan aku hanya bisa memendamnya sendiri.

Jika kamu membaca ini, benci aku sesukamu. Aku pengecut, yang bahkan hanya menyimpan rasa rahasiaku ini sendiri. Maaf, dulu aku sering menikmati senyummu dari kejauhan. Sering memikirkanmu ketika pulang ke rumah. Dan sering mencoretkan namamu di buku rahasiaku.

Dan dari sinilah, aku akan bercerita tentang kisahku dan si penolong.

©24 Juni 2019

Ps. Cerita ini pernah aku publish salah satu dari sekian banyak akun wp yang aku punya (forget password huhu). Lalu berakhir disini. Insyaallah, aku lanjut sampe ending. Doakan ya teman-teman:'
Salam, ame😊

My Secret FeelingWhere stories live. Discover now