Prolog

31 5 1
                                    

Gadis berambut sepunggung itu tampak berdiri sembari menatap hamparan laut berwarna kebiruan itu. Senyum tersungging di bibir mungilnya.

Tak peduli jika hawa dingin menyelimuti tubuhnya yang hanya dibalut dress selutut, ia tetap bergeming di tempat.
Sampai akhirnya sebuah lengan kokoh melingkari pinggang rampingnya.

"Liat apa?" bisiknya dekat sekali dengan telinga sang gadis. Membuat tubuhnya membeku beberapa saat. Meski mereka sudah lama menjalin hubungan. Entah kenapa gadis itu masih saja sering tak siap oleh sentuhan ataupun keintiman yang kadang di ciptakan sang kekasih.

"Lagi liat laut, " jawabnya lirih.
Bisa ia rasakan jika rengkuhan sang pria bertambah erat.

"Masuk, yuk!" ajak pria itu sembari menempelkan dagu di pundak kecil sang gadis. "Disini dingin. Aku takut kamu sakit, " lanjutnya.

Kepala gadis itu menegok ke belakang. Hingga langsung bertatapan dengan pemilik mata keabuan yang bersorot teduh.
Bahkan sampai saat ini ia masih saja tak menyangka. Jika pria yang saat ini memeluknya adalah kekasihnya. Dulu... Hanya dengan menatapnya saja, ia sudah bahagia. Namun kini, justru ia bisa memilikinya. Entah apa yang yang diliat lelaki itu dari dirinya. Ia bukan gadis yang sangat cantik, bahkan umur mereka lumayan terpaut jauh. Tapi lelakinya justru menjadikan ia kekasih, padahal diluar sana tak sedikit wanita begitu mendambakannya.
Entahlah. Yang jelas kini ia begitu bahagia. Tak peduli jika orang di luar sana menganggap jika hubungan merka tak bakal lama.
Kenapa? Ya karna umur mereka.

"Kak, " panggilnya pelan. Namun bukannya mendapat jawaban malah sebuah kecupan yang ia terima. Gadis itu langsung itu melotot.

"Sekali lagi manggil Kakak, aku bakal cium bibir kamu, " ancamnya. Terkekeh saat melihat semburat merah terlihat dari kedua pipinya. Dan itu justru membuatnya semakin menggemaskan. Jika saja ia tak bisa mengendalikan dirinya, sudah ia terkam semanis cheery tersebut.

"Hey, mau kemana?" teriaknya saat gadisnya berlari kecil menyusuri bibir pantai. Tawa berderai saat keduanya berlarian saling mengejar.

"Apa yang paling menyenangkan, selain bisa berbagi kebagiaan bersama seseorang yang kita cintai. "
**

"Cih, ngelamun lagi,tuh!!" Arya menggelengkan kepala saat dirinya masuk ke dalam apartemen sang sobat. Dan menemukan pria itu justru melamun sembari menatap sebuah pigura.

Ia tahu kebiasaan sang sahabat. Tapi lama-kelamaan dirinya jengkel juga dengan tingkahnya itu. Jika memang masih Cinta kenapa gak berjuang buat mendapatkannya lagi. Bukannya hanya menghayal dari sebuah benda mati.

"Vin!" Arya menepuk pundak Malvin. Pria itu langsung tersadar, sembari menoleh padanya.

"Eh, elo ya? Kapan dateng?" tanyanya bingung.

Arya menghela nafas, lalu melirik foto yang berada dalam gengaman Malvin. Foto seorang gadis berponi yang tengah berdiri menatap hamparan laut.

"Mikirin dia?" tanya Arya pelan.

"Sejak kapan coba gue gak mikirin dia?" Malvin bertanya balik.

"Ya kalo loe masih Cinta kenapa loe gak temuin dia? Daripada laoe cuma ngehayal, dan gak dapet apa-apa."

Malvin berdiri, meletak Foto itu dengan hati-hati di atas meja. Kemudian berdiri di pinggir jendela. "Kalaupun gue maksa buat ketemua dia. Gue yakin seratus persen, kalo dia gak mungkin mau ketemu gue, " ujar Malvin seraya menatap ke luar sana.

"Loe tahu? Apa yang paling menyakitkan daripada putus Cinta. Yaitu dengan melihat orang yang kita cintai, membenci kita karna kesalahan kita sendiri. Dan gue gak sanggup liat tatapan kebencian dari sorot matanya. "

Arya diam. Entah kenapa semua Hal yang ia ingin sampaikan seperti hilang begitu saja.
Ia tak mengerti apa yang sahabatnya itu rasakan. Yang ia tahu memang penyesalan itu begitu dalam. Bahkan, meski sudah lima tahun berlalu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang