Di tempat ini, aku terbiasa memilih kursi yang berada di ujung sudut ruangan. Sambil bermabuk tanpa ada yang menemaniku kurasa disinilah tempat yang paling aman bagi seseorang yang datang sendirian dan sangat memuja kesepian dalam diri.Mudah saja bagiku memilih untuk duduk di meja bartender dimana adanya sumber cahaya terbesar yang menerangi tempat gelap ini, tapi kuyakin disana aku hanya akan menjadi umpan empuk bagi para pelacur murahan yang dengan pandainya merayu menggunakan tubuhnya.
Aku tidak mau.
Mabuk ku malam ini tidak memiliki alasan sama sekali. Sudah menjadi rutinitasku untuk melupakan kehidupan dunia hanya dengan satu atau dua botol bir keras untuk menyaksikan pergantian hari yang membosankan.
Biasanya aku akan melakukan hal terlarang ini jika memiliki masalah di hari tersebut ataupun yang akan datang.
Sialnya, aku selalu bertemu dengan masalah di setiap waktu. Puji tuhan aku tidak menemukan masalah sedikitpun hari ini. Bahkan hampir di selang pergantian waktu pun aku masih belum menemukan masalah.
Ini bukanlah apa-apa bagiku, mau bermasalah atau tidak aku akan tetap ingin melupakan hari-hariku.
Ini sangat menyenangkan.
Beberapa waktu disini, aku tidak merasakan apapun selain keheningan dalam diri yang menulikan pendengaranku. Akan tetapi lama kelamaan tubuhku seakan menegang akibat aura dingin yang datang menyelimuti.
Baru kali ini aku merasa terintimidasi oleh seseorang. Mana mungkin ia bisa melihatku yang bahkan aku sendiri tak bisa melihat kedua tanganku. Tak ada segaris cahayapun yang menyorot ke arah diriku.
Ini sangat aneh.
Perasaanku tidak salah. Aku melihat seorang pria yang mengarahkan wajahnya ke hadapanku.
Jika ia tidak melihat ke sekitaran ku lalu kemana lagi ia akan melihat. Menyakitkan jika ia harus membelok tajam pandangannya hanya untuk memerhatikan seseorang.
Aku yakin pakaian yang ia pakai berupa setelan jas kasual berwarna hitam ditambah topi hitam yang sedikit turun menutupi setengah wajahnya.
Pria itu benar-benar berpakaian serba hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki. Karena ia berdiri di suatu titik dekat lantai dansa dimana lampu dapat menyinarinya sekilas, ketika sinar itu datang menyinari pria itu, aku bisa melihatnya dengan jelas.
Kami telah bertatapan cukup lama hingga aku bertanya-tanya mengapa pria itu terus melihatku seperti singa yang ingin menerkam mangsanya hidup-hidup.
Jika ia memang pria mesum seperti kebanyakan pria disini, maka seharusnya ia salah menargetkan orang yang akan dipaksa untuk melayaninya.
Celanaku panjang, kepalaku terlindungi oleh tudung dari jaketku, dan ku kancingkan seluruh pakaianku hingga lenganku sekalipun.
Jelas-jelas aku terlihat sebagai pelanggan muda yang sesat dibandingkan pekerja disini.
Ada apa dengan pria itu?
Tatapan tajamnya tak beralih sedikitpun ke yang lain. Ia terus menatapku dan itu membuatku merasa terganggu.Kulihat meja bartender yang sepi pelanggan, tak ada yang duduk di sana membuatku berpikir sepertinya lebih baik aku kesana dan mengobrol dengan bartender yang mungkin bisa membuatku merasa aman dan hangat dibandingkan berdiam diri disini.
Aku tidak mau di tatap oleh pria itu selamanya.
Mengerikan sekali.
Aku berjalan ke meja bartender itu dan duduk di salah satu kursi yang tingginya se pinggangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me or The Other of Me
Short Story. . . Mau bermasalah atau tidak, aku akan tetap ingin melupakan hari-hariku.