Titik Nol

99 12 5
                                    

Setiap hal yang baru dimulai memang selalu berat, terkadang makin lama akan terasa ringan. Namun, tak jarang akan membuat jatuh bahkan terinjak injak.

       Dalam setiap langkah kehidupan, sifat akan slalu menjadi sorotan. Jika setiap orang memiliki sifat yang lumayan sama. Tidak bagiku, aku berbeda dari yang lainnya.

       Kala itu, mungkin terakhir kali aku bertemu sosoknya. Walaupun tak saling sapa dan rupanya pun samar dalam pikiranku. Akan tetapi, yaa. Aku mengenalinya. Batinku ku serasa bergejolak memperebutkan bagian dalam emosiku. Apakah akan sedih seraya terharu, atau akan terbakar api amarah yang mebara.

                                     ***

Kisah ini pun dimulai, hahh memang kisah ini gak akan penting buat kalian. Tapi, mungkin bisa jadi untuk pengisi waktu luang.

Sore pun tiba, senja mulai menunjukkan pesona jingga yang menghiasi cakrawala. Ditengah bisingnya hiruk pikuk kota kutemui anak itu. Dibawah tratak toko pakaian dengan balutan pakaian kusam. Kumendekat lalu memberinya sebuah bingkisan berisi martabak yang kubeli diseberang toko itu.

"ini, masih anget dimakan gih. Dihabisin hari ini belum makan kan?"

"eh, iya kak. Makasih"

Anak itu menjawab dengan lirih sembari menyantap makanan yg kuberi. Ku ambil gitar yang ada disebelahnya dan mulai kupetik memainkan lagu. Anak itu pun bertanya...

"Tadi habis dari mana,kak?"

"oh, tadi habis ada urusan di dinas"

"Enak ya kak, jadi orang yang beruntung"
Anak itu menunjuk ke kerumunan anak yang sedang asyik bermain bersama orang tuanya.

"Mereka enggak seberuntung yang kamu kira, kamu jauh lebih beruntung dari mereka"

Lagi lagi dengan suara lirih, anak itu kembali bertanya

"Kenapa sih, Tuhan ngasih aku hidup kalo ujung-ujungnya sengsara kayak gini. Kalo dibilang ujian hidup masak tiap hari, gak adil!"

"Jangan bilang Tuhan gak adil, tuhan ngasih ini ke kamu karena dia tau bahwa kamu bisa melewatinya. Ya, seperti saya dulu"

                                      ***

Tepat enam tahun yang lalu...

Ku duduk termangu menatap gemerlap kejora di kaki langit. Ditemani hembusan dingin nya angin malam dan rintikan air hujan yang membasahi tubuh. Sesekali ku usap air mataku yang semakin deras seraya meratapi nasib kala itu, sama sekali tak baik sedikit pun.

Dalam hati ku berkata lirih..

"untuk apa aku hidup?"
"untuk apa tuhan menciptakan ku? Jika hanya untuk disia siakan"
"betapa beruntungnya mereka..."

Belum selesai ku mengucap, petir menggelegar menyambar sangat dekat dengan posisi ku yang duduk diatas atap rumah. Aku pun paham tuhan telah menegurku.

Aku semakin meratapi kesedihan yang seakan semakin menyayat hati. Teringat akan kedua orang tua ku ya telah berpisah. Dan kini aku pun hidup sendiri.

Tak lama berselang, terdengar teriakan dari bawah. Memanggil namaku...

"Hey, koe ngopo neng kono rene medun!"

Dia memanggilku dengan logat dan bahasa jawa nya. Aku pun merangkak lalu turun kebawah. Dia adalah astra orang yang menjadi satu-satunya penyemangat hidup ku. Ia selalu membantuku dalam urusan apapun.

"Koe ki ngopo meneh?" ia menepuk pundakku.
"Emm, ora kok mas. Rapopo" aku pun menjawab mengatakan bahwa aku tidak apa-apa. Walaupun sebenarnya... Namun, ia pun segera tau apa yang kurasakan kini.
"Ayo melu aku wae timbang ngene ki, ra guno" ia pun menarik ku untuk ikut dengannya.

Kami pun berjalan menuju gedung setengah jadi yang berada tidak jauh dari rumahku. Kami pun duduk dilantai paling atas gedung itu dan menatap ke ufuk barat. Langit yang biru kian lama makin menjingga.

"Lihatlah, indah bukan?" itu mungkin untuk yang kesekian kalinya. Ia mengajak ku melihat senja. Yaa karena sudah biasa bagiku dan terasa bosan.

"Senjaa... Dia datang menyuguhi pesona nan indah. Namun tak bertahan lama ia kemudian akan pergi untuk berganti dengan gelapnya malam. Dia datang lalu pergi. Namun, ia berjanji bahwa ia akan kembali pada saat waktunya tiba"

Aku tidak suka jika ia kembali berkata-kata sok puitisnya. Bukan nya tidak suka aku selalu tak paham akan kata-katanya. Membuat diriku harus berfikir keras saat menafsirkannya.

Senja telah menenggelam dan malam pun tiba.

                                      ***

Derap LangkahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang