Prologue

40 23 5
                                    

Badanku sudah lelah. Staminaku rasanya sudah ku habiskan selama beberapa jam belakangan ini. Tapi, rasanya aku tidak mau berhenti begitu saja. Aku belum puas dengan apa yang ku lakukan. Jadi, setelah beristirahat selama beberapa menit, aku beranjak bangun untuk melanjutkan apa yang ku lakukan tadi. Menari.

Ya, aku sudah menguras staminaku selama beberapa jam belakangan ini hanya untuk menari. Itu tidak masalah bagiku karena menari sudah ku anggap sebagian hidupku juga. Tapi tetap saja, jika aku menari tanpa henti dari pagi hingga larut malam seperti ini, pasti ada saja yang mengomel.

Saat sedang asiknya aku menggerakan badanku, tiba-tiba saja pintu tempat latihanku terbuka dari luar. Lalu, sudah bisa kutebak. Itu pasti Rani, sahabatku dari kecil. Dia pasti akan mengomeliku.

"Astaga, Sila! Lu mau bikin badan lu kebagi dua ya?!"

Tuh, kan benar. Rani selalu saja mengomel jika aku terlalu bersikeras latihan menari. Lagian, ini juga untuk kebaikanku.

Ya sudah, karena Rani sudah mengomel dengan kedua tangan di pinggangnya dengan muka galak beserta alis yang bertaut tersebut, aku terpaksa berjalan ke speaker di ujung ruangan untuk mematikannya. Setelahnya, aku berjalan kembali untuk mengambil minumanku di sudut ruangan yang lain dengan diiringi tatapan Rani yang masih saja jutek mengikutiku.

Melihat aku yang seolah tidak menyadari kehadirannya, Rani memutuskan berjalan ke arahku yang kini sudah duduk berselonjor di depan kaca. Dia pasti mau lanjut mengomel.

"Sila! Lu dengerin gua gak sih? Bisa-bisa lu sakit pas hari H kalo latihan dari pagi sampai malam kayak gini."

Tuh, kan sekali lagi aku benar. Aku hanya memandanginya malas karena aku tau, membalasnya hanya membuat keadaan semakin rumit.

"Lagian, buat apa, sih lu latihan untuk audisi gak berguna itu? Mau jadi apa lu di sana? Belum tentu lu langsung didebutkan, kan?!"

Aku menoleh ke arah Rani. Lantas, aku bangun dari dudukku sambil membanting air minumku ke lantai. Lalu, aku berkata kepadanya, "Itu bagi lu aja Rani! Bagi gua, itu berguna banget. Dengan mengikuti audisi itu gua dapat mewujudkan mimpi gua sejak dulu. Lu mana ngerti dengan dunia menari, sih. Lu cuman ngerti dunia lu aja!"

Ku kira, Rani akan menyesal setelah mendengar kata-kataku. Nyatanya aku salah. Dia malah balik menyudutkanku, "Mimpi apa yang lagi lu omongin? Mimpi ketemu sama si Han Jisung itu, huh?! Kebanyakan ngayal lu!"

Aku berang. Lantas, sebelum aku membalas perkataannya, Rani sudah berbalik pergi dengan langkah dihentakkan dan disusul bantingan pada pintu tempat aku latihan. Seharusnya aku yang melakukan itu. Seharusnya aku yang marah kepadanya, bukan sebaliknya.

Aku hanya menghela napas melihat kepergian Rani. Kami memang sering bertengkar, tapi tidak pernah lebih dari lima menit. Mungkin, ini pertengkaran hebat kami setelah beberapa tahun.

Biasanya, jika kami bertengkar hebat, aku akan menghilangkan stres dengan tidur. Tapi tidak kali ini, aku akan menghilangkan stres dengan cara lain. Melanjutkan tarianku yang belum selesai karena terinterupsi oleh Rani tadi. Ya, aku memutuskan mengabaikan omelan Rani tadi dan memutuskan menari hingga menjelang fajar.

Aku tidak peduli apapun lagi. Yang aku pedulikan hanya satu, aku harus lolos audisi itu. Aku harus bertemu dengan Han Jisung.

tbc

ini emang sengaja dibikin narasinya bahasa baku, sedangkan percakapannya bahasa gaul atau non baku. karena gue emang nyesuain sama latar tempatnya, yaitu Jakarta.

makasih udah baca, dan semoga kalian suka. jangan lupa untuk selalu vomment hehe.

jangan lupa juga untuk selalu mencintai han jisung dan stray kids. see you on next chapter, bubay!!

I Am Actually Han Jisung BiasedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang