Prolog

7.7K 374 10
                                    

Seorang gadis tengah duduk bersimpuh di atas sebuah permadani lebar yang menutupi lantai rumah mewah tempat ia bekerja saat ini. Sedangkan di hadapannya, ada sang majikan yang tengah duduk  memandangnya dari atas sofa empuk di tengah ruangan.

"Jadi, apa kau benar-benar yakin untuk berhenti bekerja, Della?" tanya Kakek Johan, majikan sekaligus pemilik rumah tempat Della bekerja selama kurang dari dua tahun belakangan ini.

"Iya, Tuan. Saya yakin. Karena, saya harus segera kembali ke kampung halaman saya." Angguk Della sejenak menatap Kakek Johan, sebelum akhirnya kembali menundukkan kepala.

"Baiklah, kalau itu sudah menjadi keputusanmu." Desah Kakek Johan panjang tanpa berniat bertanya kembali. "Besok aku akan menyuruh Romi untuk mengantar sampai ke kampung halamanmu."

"Tidak usah, Tuan! Terima kasih. Saya bisa pergi sendiri. Kebetulan, besok salah satu teman satu kampung saya juga akan kembali. Jadi, saya bisa pulang bersamanya." Jelas Della, membuat Kakek Johan terdiam sejenak.

"Benarkah? Ya sudah, kalau begitu..." angguk Kakek Johan, lantas mengambil sebuah amplop dari saku belakangnya dan menyerahkannya kepada Della.

"Ini gajimu untuk bulan ini."

Della menerima amplop berisikan uang pemberian Kakek Johan dan menganggukkan kepalanya sekali lagi. "Terima kasih, Tuan" ucapnya.

Kakek Johan lalu bangkit dari duduknya. Dengan tampang sedikit lesu, lelaki tua itu berjalan meninggalkan Della yang langsung pergi ke kamarnya yang berada tepat di sebelah dapur.

"Kau benar-benar akan pergi, Della? Apa tidak bisa ditunda sampai minggu depan lagi?" tanya Dewi begitu Della tiba di kamar mereka dan menutup pintu kamar tersebut.

Alih-alih segera menjawab, Della hanya tertawa pelan, dan menggelengkan kepalanya.

"Ini sudah satu minggu sejak terakhir kali kau memintaku untuk tinggal lebih lama, Dewi," kata Della, berjalan menuju kopernya yang tadi sempat ia letak di atas kasur tempat ia dan Dewi beristirahat setiap malam.

"Iya, tapi..."

Dewi tidak jadi melanjutkan ucapannya. Dia hanya diam memandang lesu pada Della yang tengah sibuk memasukkan beberapa potong pakaiannya ke dalam koper.

"Rumah ini pasti akan semakin sepi kalau kau pergi." Keluh Dewi pelan, menundukkan wajahnya sedih.

"Yah…habis, mau bagaimana lagi? Aku harus segera pulang ke rumah untuk melunasi hutang keluargaku pada juragan tanah yang ada di kampung. Aku harus menikah dengan anak mereka, jika ingin keluargaku terbebas." Cerita Della dengan seutas senyum di wajahnya.

"Memangnya, keluargamu itu hidup di zaman apa, sih? Kenapa masih ada cara seperti itu untuk membayar hutang?" gerutu Dewi, lagi-lagi hanya dibalas kekehan kecil oleh Della.

"Namanya juga orang tidak mampu. Kalau tidak ada uang, menikah pun jadi!" sahutnya riang, entah mengapa langsung membuat Dewi merasa curiga.

"Tapi, Della, kenapa ya, aku merasa, setiap kali kita membahas masalah ini, kau terlihat begitu senang untuk ukuran orang yang akan dinikahkan paksa karena hutang? Bukankah harusnya kau bersedih? Tapi, kenapa wajahmu malah berkata sebaliknya?" selidik Dewi menatap wajah Della yang seketika pula tertawa.

"Hah? Bersedih? Untuk apa?!" kelakar Della melambaikan tangannya sebentar di hadapan Dewi dan menggelengkan kepalanya heran.

" Aku beritahu satu hal padamu, ya…. Aku justru sudah lama ingin menikah dengan Beno. Dia itu pemuda paling tampan di desaku. Siapa yang tidak mau dengan lelaki seperti dia? Dia itu ibarat pangeran. Apapun akan aku lakukan untuk membuat dia menjadi milikku. Aku bahagia, karena aku sangat menyukainya. "

Sexy Lady : Pernikahan yang tak diinginkan (Tersedia di PlayStore!) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang