Saya terdiam mati kutu. Seolah bumi telah berhenti berputar pada porosnya. Mata saya kaku. Tak percaya, sebuah wajah dengan hidung mancung serta mata kecilmu membuat saya seolah melawan waktu. Entah kandungan apa yang kamu simpan sehingga mampu menyihir saya. Kamu tersenyum dengan polosnya. Membentuk kerutan pada gelembungan pipimu. Menunjukan giginya yang nampak seperti pagar berjajar.
"Buku mu sempat saya pinjam kemarin. Terima Kasih," katamu,lembut dengan senyuman seolah seperti garis bujur.
Saya ingat! Suara itu, suara yang mendadak membuat mata saya terbelalak. Bulat seperti menatap hantu. Saya terdiam seketika. Berusaha mencerna setiap kata dengan suara khas itu. Saya mengenalnya.
"Ga," suara saya mendadak tercekat. Seolah tercekik oleh detakan jantung. Sebutir keringat tampak sudah menitik pada sekujur wajah seperti embun es pada gelas.
Kamu menatap saya. Matamu mengisyaratkan pertanyaan, namun lagi-lagi... sial! saya terlalu terhanyut oleh senyummu. "Iya?"
"Aga" Payah! saya seolah tak siap berkata..
Lagi-lagi, kamu tersenyum. "Ah kamu, kaya teman kecil saya aja manggilnya 'aga'."
"Kamu ingat?"
"Apa?"
Wajahmu terheran. Kamu menatapku penuh tanya. Mimik wajahmu kebingungan. Dan lagi-lagi saya terdiam. Ekspresi itu seolah telah membisukan semuanya. Sialnya,itu justru mengenai hati saya. Itu seperti kepingan. Yang memporak porandakan perasaan. Saya menghela nafas untuk merangkai beberapa kata.
"Kamu ingat saya?"
Kamu semakin bingung. "Ta, kamu kan teman saya, ya saya ingat."
"Teman masa kecilmu?" Pelan-pelan saya menyalurkan kata-demi kata yang berkonstraksi di dalam hati.
"Saya tidak punya teman masa kecil!"
"Kenapa?"
Kamu mengalihkan pandanganmu. Matamu menatap sendu kearah pohon mahoni di depanmu. Kamu berjalan perlahan. Derap kakimu seolah ikut mengantarkan aku untuk mengikuti. "Dia udah pergi,Ta. Entah kapan kembalinya? padahal saya selalu menunggu."
"Siapa?" Aku bertanya lagi. Untuk memastikan jawaban dari sebuah presisi hati yang kerap kali merasa tidak puas dengan kondisi.
"Namanya Aletta. Sama kayak kamu. Cuma saya nggak tahu sekarang dia dimana?" Kamu menatapku. Mata hitammu seolah menemui manik-manik mataku yang kaku. "Terakhir,saya bertemu dia waktu umur 7 tahun."
Kamu masih sama,belum berpaling dari tatapan itu. Tatapan itu bukan lagi sebuah senyuman. Matamu mendadak menjadi sendu. Layu. Bahkan bulu mata lentik itu terlihat basah. Saya memperhatikan semuanya. Butiran itu seolah dengan beraninya tersangkut dibulu mata lentikmu. Aga,kamu tahu? Itu seperti kepingan nyata buat saya.
Detik itu juga,kepingan itu seolah menghujani hati saya. Seperti dentuman besar yang menghempas setelah membawanya untuk terbang tinggi. Saya menatap kamu yang kini tengah menatap kaku ke arah pohon mahoni. Tepat di satu sisi,manik-manik mata saya seolah seperti tertarik. mengeluarkan butirannya. Halus,disertai kehangatan yang menjulur. Justru sialnya kehangatan itu menyakitkan segalanya. Termasuk perasaan.
*****
Beberapa hari setelah itu,kamu sering datang kepadaku. Meskipun untuk sekedar menjemput dengan sepeda dan membunyikan bel nya pagi-pagi. Atau datang ke kelasku untuk menawari ke kantin, atau belajar bersama. Setiap kali saya menanyai itu katamu selalu menjawab. "Karena kamu orang pertama yang saya kenal,jadi saya nyaman."
Kita itu seperti bulan dan matahari. Kamu mungkin bulannya dan saya mataharinya. Setiap hari selalu ada dan kadang bertemu. Tapi tidak saling menyapa. Sejak matahari dan bulan terpisah karena waktu,kamu mungkin lebih merindukan bintang yang pertama menemanimu waktu itu. Bukan matahari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Semesta
Short Story[KUMPULAN CERPEN] "Entahlah, jenis seperti kisah apa dirimu. Semenjak pertemuan singkat, namun menghasilkan proses yang panjang, semesta sepertinya sudah menyoretkan satu kisah unik di dalam bukunya. Katanya, pemerannya itu aku dan juga kamu. A...