CHAPTER 3

4 0 0
                                    

"A simple 'I love you' means more than money," — Frank Sinatra

ALINA POV

"Tunggu! Tolong tunggu!" Aku berteriak sekuat tenaga dan berlari menuju halte bus. Tapi si sopir bus tidak mendengarku, dan menutup pintu bus.

"AH!" Terengah-engah, gemetar, aku mengerang dengan kecewa. Bus pergi, ketika aku hanya beberapa langkah dari halte bus. Sekarang, aku harus menunggu selama sepuluh sampai lima belas menit untuk bus berikutnya. Aku akan terlambat bekerja, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Aku merasa sangat lelah tadi malam sehingga saya ketiduran. Aku sangat bodoh! Lupa mengatur jam alarm.

Aku mengeluarkan hp dari tas dan WA Ny. Andari kalau aku akan terlambat. Aku sedang menggulir kontak ponsel aku ketika saya menemukan nomor Gavin. Aku menyimpan nomornya tadi malam, meskipun tidak ada niat untuk memanggilnya.Gavin adalah tetangga kita sewaktu di Bandung. Rambut cokelat, lucu dengan lesung pipit, tinggi dan ramping. Dia tampak seperti Leonardo DiCaprio muda, tapi dengan rambut cokelat. Selain dari ketampanannya, dia juga cerdas, sangat rendah hati, dan sangat berbelas kasih.

Bagiku, dia adalah pria paling baik yang pernah saya temui. Semua kualitas yang aku inginkan pada seorang pria, ia memiliki semuanya. Dia adalah tipeku.

Aku tumbuh memilikinya sebagai sahabatku, penasihatku, pelindungku, dan... pacarku. Gak juga, dalam mimpi kali. Aku dahulu selalu meng-halu bahwa suatu saat nanti, dia akan menyadari perasaannya untukku, berpacaran, menikah, HAPPILY EVER AFTER.

Ya, aku memang gila, gila cinta. ea. Aku ingin dia menjadi yang pertama dalam segalanya: ciuman pertama, cinta pertama, pacar pertama, dan pertemuan seksual pertama aku.

Tapi Gavin sepertinya menganggapku sebagai adik kecilnya, yang dulu sering ikut di belakangnya, ke mana pun dia pergi sejak aku masih kecil. Dia adalah anak tunggal, dan karena dia selalu bersamaku, mugkin itu membuatnya merasa seperti seoarng kakak. Itulah yang dia katakan dengan bangga, mungkin karena perbedaan usia tiga tahun kita. Tapi dulu aku selalu berharap kita tidak akan tetap berada di kakak-adik zone selamanya. Tapi harapanku tidak pernah menjadi kenyataan. Dia masih menganggap dirinya seorang kakak dari Alina Mahendra.

Terakhir kali kita bertemu, tidak layak untuk dikenang. Bikin malu. Itu terjadi sekitar dua tahun yang lalu, saat itu aku masih berumur delapan belas tahun dan baru lulus SMA.

-flashback-

Kita duduk di sofa, berbicara, kebanyakan tentang ayah. Lengannya merangkulku.

Aku menatap matanya, mempelajari ekspresinya. Aku mencari beberapa petunjuk dan tanda-tanda tentang apa yang sebenarnya dia rasakan bagiku. Jika dia mengembangkan perasaan khusus padaku, dia tidak punya niat untuk menunjukkannya.

  Dia menyadariku, menatapnya. Dia menarik alisnya menjadi lipatan dan menatapku. Lalu aku tersenyum padanya, dan dia balas dengan tersenyum lega. "Alina, tenang saja, semuanya akan baik-baik saja. Tuhan tidak akan memberi kita masalah yang tidak bisa kita tangani."

Aku menggeser posisiku. "Untung kamu ada disini. Aku mungkin tidak tahu harus berbuat apa kalau bukan karena kamu, Gavin." Perlahan aku menundukkan kepalaku dan mencoba menciumnya.

  Gavin pun sedikit terkejut dan mundur. "Alina, kamu masih anak kecil, kamu ngapain?"

  HAH. ANAK KECIL? "Apa yang kamu bicarakan? Lihat aku, aku udah dewasa. Aku delapan belas tahun. Aku bukan gadis kecil lagi." Aku berdiri tegak, dan menghadapnya. "Itulah masalah denganmu, kamu menolak untuk melihat bahwa aku bukan gadis kecil lagi." Air mata mulai menggenang mataku.

  "Shh. Maafin Gavin, Gavin cuman bisa lihat Alina sebagai adik, sebagai anak kecil yang hanya menginginkan perhatian kakaknya. Alina, kamu itu cantik. Suatu hari kamu akan menemukan pria lain yang akan menjadi cinta sejatimu." Gavin memegang tanganku. "Alina, dengarkan aku. Aku akan pergi akhir pekan ini, aku memutuskan untuk bergabung dengan misi medis ke Afrika Selatan."

"Gavin, maksudmu?" Aku tidak mempercayainya. Dia akan pergi.

"Lin, kamu pasti ngerti kalau aku menginginkan ini. Inilah yang aku cita-citakan, membantu orang-orang yang memerlukan pertolongan. Menolong yang tidak cukup beruntung membawa kebahagiaan padaku."

"Berapa lama? Sebulan?"

Ia menggelengkan kepalanya. "Dua setengah tahun."

Rasanya seperti duniaku runtuh. Dia akan meninggalkan Indonesia dalam beberapa hari lagi. Semenjak hari itu, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Ayah berjuang untuk kehidupannya, dan aku tidak pernah meninggalkan sisinya. Gavin sibuk menguruskan berkas-berkasnya untuk pindah, tapi sempat meninggalkan surat, mengatakan goodbye.

ADRIAN POV

Mario memarkir mobilnya diluar kedai kopi yang sama seperti kemarin. Aku tidak minum kopi saat di apartemen atau di kantor kemarin karena kuyakin tidak akan seenak kopi disini.

Mario dan aku, memesan kopi yang sama seperti kemarin. Tapi, ketika aku mencicipi espressonya, aku kecewa. Tidak seenak kemarin. Bahkan tidak memiliki desain hati diatasnya.

"Yang ini rasanya tidak seenak kemarin." Aku mencobanya lagi, rasanya masih sama. Aku meletakkannya kembali diatas meja dan mendorongnya perlahan.

Mario kemudian menatap sang Barista. "Mungkin karena baristanya berbeda."

"Siapa?"

"Perempuan yang memakai kacamata, rambut hitam?"

Aku mengangguk dan memanggil pelayannya. "Aku mau ini lagi, tapi pastikan si perempuan berkacamata yang membuatnya."

"Maaf Pak. Tapi dia belum datang." Yah. Yasuda, artinya gaada guna untuk kita tetap disini. "Mario, ayo berangkat."

Aku berdiri dan berjalan keluar. Aku membuka pintunya sembari membaca email-emailku dan.. menabrak seseorang?

"OW! LIAT-LIAT DONG KALO JALAN!"

"EHH!" Aku langsung menangkap perempuan tersebut sebelum dia terjatuh. Wajahnya sangatlah feminin jika dilihat, dibalik kacamatanya, dia memiliki sepasang mata hijau seperti emerald. Wajahnya familiar. Matanya mengingatkanku kepada seseorang.

"Jalan tuh pake mata." Perempuan tersebut menghela napas dengan kesal dan mengambil tasnya dari lantai.

"Pake mata? Gak pake kaki tuh mba?" Perempuan itu memutarkan bola matanya. "Gapapa?"

"Iya."

"Yakin? Kamu terlihat sangat rapuh." Aku melepaskannya dan dia langsung melangkah mundur.

"Iya, aku lebih kuat dari yang kamu pikirkan. Penampilan terkadang bisa sangat menipu."

Aku mengerutkan kening padanya. "Itu sangat sulit dipercaya, kamu begitu kurus hingga siapa pun bisa dengan mudah mematahkan tulangmu. Kamu bahkan terlihat sangat pucat."

Dia menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum sarkastis. "Terima kasih atas pujiannya. Tapi aku harus pergi, aku sudah terlambat untuk bekerja."  Dia memelototiku, bibirnya menipis penuh dengan iritasi. Perempuan tersebut kembali berjalan dengan sebal.

"Adri, sepertinya tadi itu perempuan yang membuat kopi kita kemarin." Ucap Mario, sewaktu masuk mobil. "Sayang sekali kamu belum mendapatkan kopi pagimu."

"Iya." Aku menghela napas dengan kesal dan duduk mendengar musik yang dimainkan radio dan menatap keluar jendela. Memikirkan mata hijau emerald berkilau. Seperti di suatu music video. Setelah mobil berjalan sekitar lima menit, aku menyuruh Mario untuk memutar kembali.

"Mau kemana lagi Dri?"

"Aku sadar, aku benar-benar memerlukan kopi itu."

Wihh ini sebenernya udh selsai lama ni chapter, tpi ga aku publish mulu bikos votesnya dikit bgtt HUWEE, tpi kan pasrahin ajade, nanti malah ga lanjut2 ni cerita. OIYA JANGAN LUPA VOTE KOMEN YA EHWHW ❤️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ALINADRIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang