BAB 06 MIMPI YANG NYATA

3.4K 1K 36
                                    

Aku masih belum percaya dengan ucapan Devin kemarin. Aku kira dia hanya bercanda tapi setelahnya dia malah menelepon keluarganya terutama kedua orang tuanya dan juga mama papaku. Alhasil pernikahan dipercepat, dan semua rencana yang sudah disusun berubah total. Aku tidak jadi menikah dibalroom hotel, karena Devin mintanya hari ini juga kami menikah, padahal persiapan untuk semuanya masih 80 persen. Entah apa yang membuat Devin ngotot ingin mempercepat. Kalau aku memang lebih baik begini, sebelum Devin pergi entah kemana lagi. Karena dia terlalu sibuk. 

Semalam mama mengatakan kalau aku tidak apa-apa pernikahan tidak dilakukan secara mewah. Meski kedua orang tua sepertinya kecewa karena aku dan Devin sama-sama anak tunggal. Aku jawab yang penting aku dan Devin sah, itu saja sih permintaanku.

"Mbak akhirnya gaun ini bisa dipakai ya? Kan aku terharu udah susah buatnya eh nggak jadi."

Rina yang pagi ini mendampingiku memakai gaun pengantin yang seharusnya dipakai oleh Lisa kini melekat pas ditubuhku. Padahal ini juga bukan ukuranku, hanya saja aku dan Lisa memang sepertinya satu ukuran.

"Akhirnya ya nggak terbuang percuma."

Aku mematut diri di depan cermin, menatap diriku yang sebentar lagi menjadi nyonya Devin. Baru kali ini setelah sekian lama aku mengejar-ngejar Devin sejak jaman sekolah, kalau aku miliknya. Selama ini dia memberi sinyal yang paling abu-abu. Tidak putih sekalian ataupun hitam. Selalu saja samar, dia saja belum pernah sedikitpun mengatakan kalau dia mencintaiku.

"Oliv... keluarga Devin udah datang." Mama sudah melongokkan kepala ke dalam kamar dan tentu saja Rina langsung mendekatiku dan tersenyum.

"Ayuk mbak."

Jantungku berdegup kencang menyambut hal ini.

******

"Sah."

Tangis haru tentu saja tidak bisa aku sembunyikan saat mendengar suara itu. Akhirnya aku menikah dan menjadi istri sahnya Devin. Mama dan Rina langsung memelukku sesaat setelah ijab qobul. Devin sendiri tampak begitu tampan dengan balutan jas warna hitam dan peci dengan warna senada. Aku dan Devin memang mengenakan busana nasional. Tapi Devin menolak saat aku menyarankan memakai jas pasangan dari gaun ini yang harusnya dipakai Wiliam. Dia mengatakan sudah mempunyai jas sendiri. 

"Jangan nangis kayak gini, nanti make up kamu luntur."

Mama mengatakan itu karena aku masih menangis terisak. Akhirnya aku tersenyum dan mengusap air mataku. Kulirik Devin yang sedang dikerubuti oleh papa dan papa mertuaku. Acara ijab qobul ini memang dibuat sakral dengan hanya mengundang tetangga sebagai saksi dan keluarga saja. Resepsi pernikahan akan diadakan nanti siang, di halaman rumahku. Sederhana saja.

"Iya mama."

Mama langsung tersenyum dan memelukku sekali lagi, lalu bergabung dengan yang lainnya. Rina sudah menghilang mempersiapkan gaun yang akan kugunakan nanti siang. Dia memang asistenku yang paling handal. Aku segera mendekati Devin yang langsung menoleh begitu aku berada di dekatnya. Tidak ada senyum merekah di wajahnya, seperti biasa dia hanya berwajah datar. Kadang, bagi orang yang belum mengenalnya Devin itu sosok yang benar-benar menakutkan. Tapi aku sudah melewati beberapa tahun dengannya, mendapatkan rengkuhan dan kalimat-kalimat kangen yang jarang sekali dia ucapkan, tapi hal itu sudah lebih dari cukup.

"Kak.."
Devin mengulurkan tangan untuk merangkul bahuku, lalu mengernyit ketika menatap gaunku.

"Ehm nanti nggak pake ini kan?"

Aku menatap gaun warna putih tulang ini, sederhana tapi elegan.

"Enggak, nanti yang buat resepsi kan udah aku buat jauh-jauh hari. Warna biru laut, pokoknya bagus."

Devin menganggukkan kepalanya "Bagus deh, aku nggak suka warna putih tulang ini."

Aku hanya terhenyak mendengar ucapannya. Dia selalu saja begitu. Akhirnya kulingkarkan tanganku di lengannya dan menggelendot manja.

"Baik suamiku."

Devin tampak terkejut dengan ucapanku ini, tapi kemudian senyum tipis menghiasi wajahnya.

"Baik juga istriku."

Mataku mengerjap saat mendengar itu. Sudah beberapa tahun aku belum pernah mendapatkan pengakuan dari Devin, selalu saja dia mengatakan aku inilah aku itulah. Diakui pacar saja jarang, tapi sekarang dia mengatakan ini dengan begitu lugas. Tentu saja refleks aku berjinjit dan mengecup pipinya. Membuat Devin kini membelalak saat menatapku. 

"Ciuman selamat datang buat Tuan Devin, eh suamiku."

Aku tersenyum lebar, tapi Devin hanya menghela nafasnya lalu kembali ke wajahnya yang datar lagi. Tidak apa-apa yang penting aku sudah menjadi istri sahnya.

BERSAMBUNG

Yuhuuuu abang Devin datang yeee yang nebak- nebak hayooo bener gak?

SNOW PRINCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang