Dia adalah dia.
Perempuan manis yang duduk dan berbahagia.
Setidaknya, ia tertawa.
Itulah mengapa mereka menganggap dia bahagia.Dia adalah dia.
Perempuan pecandu kopi pahit espresso dan buku-buku terbitan lama.
Menyesap kopi secara perlahan sembari memuja setiap kata dalam cerita.
Seakan beban tak pernah datang padanya.Dia adalah dia.
Perempuan cantik berwatak liar.
Tersenyum dan bercanda dalam kesempurnaan.
Tanpa sadar, sinar dalam dirinya luas berpendar.Dia adalah dia.
Perempuan yang aku kagumi di tengah tatap gusar para sebayanya.
Dia tetap bersinar tanpa pernah ada yang menyadarinya.
Setidaknya, sampai dia menemukanku dalam belenggu rasa yang tercipta.Dia adalah dia.
Perempuan yang kucinta.
Setidaknya, sampai kata 'kita' raib dalam jangkauan mata,
atau, justru tak akan pernah tercipta?
Gema tawa yang tadi memenuhi indra pendengarannya mendadak sunyi. Secarik kertas dengan ketikan berjenis Cutive Mono yang ditemukannya tadi pagi dan baru dibacanya itu benar-benar menyita seluruh kesadarannya. Jauh dalam lubuk hati, ia berharap semua ini berasal dari seseorang yang didambanya diam-diam.Tadi pagi, ia menemukan secarik kertas di tengah-tengah buku paket kimia yang entah mengapa bisa terletak di laci meja. Dari dalam sana, terselip kertas kumal yang mencuat. Kertas yang tadinya ia pikir hanyalah contekan ataupun ringkasan yang biasa ditulisnya itu diletakkan dalam sakunya tanpa melihat. Ia bahkan benar-benar tidak menyangka akan ada seseorang yang mengiriminya sajak seperti itu mengingat seluruh kaum adam yang pernah mendekatinya secara terang-terangan mundur perlahan ketika melihat Abraham dan Mario yang seakan menyamar menjadi pengawal siap siaganya. Belum lagi, Oliver, Enggar, dan sekawanannya yang lain. Mereka benar-benar membuat siapapun yang berencana dekat dengannya perlahan pergi tanpa suara. Namun, ia bahagia dengan itu. Ia bahagia dengan segala perlindungan yang didapatkannya dari sahabat-sahabatnya ketika ia sedang jauh dari rumah.
Kertas itu digenggamnya dengan cukup erat, kemudian kembali disakukan seperti sebelumnya. Ia tak ingin memikirkan hal tak penting seperti yang baru saja mengganggu otaknya. Lagipula, akan jauh lebih baik jika ia menggunakan otaknya untuk memikirkan strategi perihal olimpiade terakhir yang diikutinya mengingat ia sudah menginjak kelas 12.
Sekalipun berusaha bersikap tak perduli, nyatanya, otaknya masih dipenuhi tanda tanya. Bahkan, hatinya ikut menerka-nerka sekalipun ia mengharap seseorang pula. Ini seakan jauh lebih rumit dari teori Engagent dan Zusammen yang selama ini dipelajarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TLS 1: Semasa
Teen FictionTemuilah, Nevanda dan Kaivan. Kedua anak manusia yang dipertemukan oleh takdir semesta. Semesta merestui, hanya saja itu untuk sementara. Selebihnya, semesta memilih diam dan terfokus pada perlakuan mereka terhadap nasib. Ada suatu masa di mana seme...