Mana Merah Putihmu

8 1 0
                                    


Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku, sepuluh menit lagi jam tujuh tepat. Kuperhatikan kembali seragam coklat yang kukenakan, semuanya sudah rapi di tubuhku. Kuraih ransel kecil lalu berlalu keluar rumah menuju sekolah.

Satu jam lagi upacara dimulai. Tidak seperti tahun-tahun kemarin, upacara tahun ini dilakukan di dua tempat. Tempat pertama seperti biasa di kantor Bupati dan yang kedua di sebuah desa, yang berjarak kurang lebih setengah jam. Bagi kami yang pramuka, diundang di tempat yang kedua, jadi kami harus cepat.

Dengan jarak yang begitu jauh, bagi kami yang tidak bisa membawa kendaraan jadi memakai mobil sewa. Kami meramaikan jalanan dengan suara kami. Sambil bernyanyi aku memperhatikan keadaan sekitar, setiap halaman rumah terdapat Sang Merah Putih. Sungguh adem rasanya hati ini melihat hal itu.
●●●

Sang saka telah dinaikkan diiringi dengan lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ yang terdengar begitu merdu serta penuh penghayatan. Upacara bendera selesai dan para peserta upacara bubar. Kami sekarang sedang bersiap-siap untuk menampilkan atraksi.

“Setelah saya balik kanankan, kalian berjalan berurutan menuju panggung utama. Setelah SDN 1 kita tampil.”

“Balik kanan ... gerak!” setelah hormat kepada pemimpin, kami balik kanan. “MAN JAYA!”

Jalan berurutan menuju panggung utama, SDN 1 telah menyelesaikan atraksi mereka. Mereka membawa bendera merah putih kecil yang terbuat dari kertas.

●●●

“Alhamdulillah ... selesai.”

Kami bersorak riang karena tampilan kami telah selesai dengan suara gemuruh tepukan tangan dari para penonton. Sekarang acara sesi foto bersama pembina. Berfoto dengan memperlihatkan Sang Saka yang berkibar begitu indah di langit biru.
Setelah berfoto, aku mengajak temanku, Syahida, jajan. Selama berjalan terkadang aku melihat bendera yang persis dibawa anak SD tadi terbuang sembarang di tanah. Bendera yang dahulu diperjuangkan dibuang begitu saja. Miris. Ya! Walaupun itu hanya terbuat dari kertas, tapi tidak juga diperlakukan seperti itu.

“Hida, lihat itu!” Syahida yang dari tadi hanya memandang lurus ke depan, menoleh untuk melihat apa yang kutunjukkan.

“Astaghfirullah! Siapa yang memperlakukan bendera seperti itu? Tidak sadarkah mereka jika itu berarti mereka telah menghina para pejuang!”

“Aku kurang tahu soal itu. Sekarang kita pilih dulu bendera-bendera itu.”

Kuambil plastik berukuran sedang yang tergeletak tak jauh dariku. Di sekitar itu bukan hanya bendera-bendera kecil saja tapi sampah-sampah pun berserakan, saling menyatu. Kami memilih satu persatu bendera-bendera itu. Lalu, dari kejauhan kulihat beberapa temanku berjalan menghampiri kami.

“Kalian kenapa?” Ridho mengerutkan kening melihatku membungkuk mengambil sesuatu di tanah. “Bendera?”

“Evi, kenapa bendera-bendera itu di tanah?” Rama kaget melihat bendera berserakan di tanah.

“Weee ... cepat sudah. Kak pembina sudah tunggu kita di sana!” seru Azis mengingatkan. Yah, hanya mengingatkan tanpa membantu. “Lepaskan saja dulu, sebentar kita lanjut pilih benderanya. Nanti dimarahin kita.”

“Kalau kamu mau pergi, duluan saja!” kataku jengkel.

“ya sudah. Aku duluan.”

●●●

“Kalian berempat dari mana?”

“Maaf, Kak.”

“Rama, kalian dari mana?” Rama hanya bergeming.

“Evi?”

“Maaf, Kak. Kami terlambat karena sedang mengumpulkan bendera-bendera yang berserakan di tanah.”

“Bendera? Kenapa bisa?”

“Sepertinya yang membuang itu tidak mengetahui betapa berharganya bendera tersebut walaupun kecil dan terbuat dari kertas.”

“Mana bendera-bendera itu?” Raut wajah yang tadi terlihat marah perlahan memudar tergantikan dengan kesedihan saat melihat bendera-bendera yang kami kumpulkan tadi. “Bawa bendera-bendera ini dan kita laporkan pada panitia acara.”

Kami semua berjalan bersama menuju panitia. Atraksi masih dipertunjukkan, para penonton bertambah banyak. Bukan hanya manusia yang banyak di situ, sampah bekas makan mereka pun bertambah menumpuk. Tempat yang kudapati bersih tadi pagi, sekarang menjadi lautan plastik.

“Kak Adi!” Pak Afandy, Kakak Pembina, menghampiri seorang lelaki berperawakan tinggi besar.

“Hai, Kak Fandi! Lama tidak bertemu.” Mereka berbasa-basi sebagai kenalan lama. “Ada apa ini? Bawa dengan pasukan juga. Oh iya, yang tadi itu keren!”

Pak Adi memberi dua jempol kepada kami yang dijawab dengan senyuman.

“Ini, tadi beberapa dari mereka melihat bendera-bendera kecil ini berserakan di tanah yang bercampur dengan sampah.”

“Ya Tuhan! Siapa yang membuangnya?” Pak Adi kaget melihat plastik sedang berwarna biru yang disodorkan Rama.

“Kami tidak tahu pasti. Tapi sepertinya yang membuang ini tidak mengetahui betapa susahnya para pejuang dulu mendapatkan ini.”

“Aku ke depan dulu yah! Akan kuberitahukan soal ini.”

“Kak Adi! Jangan memakai emosional yah! Dengan kepala yang dingin.” Aku memohon padanya. Diia membalasnya dengan anggukan.

●●●

“Bagaimana perasaan Ibu Bapak sekalian jika Sang Saka diinjak?” Setelah mikrofon telah berganti pemilik, para penonton ricuh, tapi sudah diurus oleh Pak Adi.

“Bukankah itu sama saja dengan menginjak harga diri kita? Harga diri Indonesia.” Aku tahu, dia tidak membutuhkan jawaban dari kami, itu hanya sebagai pengantar. “Sang Saka dihina dan diinjak oleh bangsa lain kita marah besar kepada mereka. Bisakah kalian lakukan hal yang sama pada penghina, pada orang yang telah menginjak harga diri kita? Jika orang itu adalah warga Indonesia sendiri, bisakah kalian memarahinya?”

Semua diam mendengarkan. Mereka masih bingung dengan apa yang telah terjadi.

“Tahukah kalian? Saat kita merayakan hari kemerdekaan, ternyata kita juga telah menginjaknya. Sang Saka, bendera merah putih, entah siapa yang membuatnya berserakan di tanah. Di tanah yang juga terdapat sampah bekas makanan kalian. Bukankah itu penghinaan?”

Kutelisik wajah-wajah para penonton. Ada yang marah, kaget, dan juga biasa saja. “Apakah kalian tidak menghargai kerja keras para pejuang untuk memenangkannya. Kita harus banyak bersyukur, jangan membuat kerusakan seperti itu lagi. Walaupun bendera yang dibuang itu kecil dan terbuat dari plastik, tapi bendera itu berwarna merah putih. Itu lambang negara kita. Itu adalah salah satu dasar negara. Kita harus menjaganya.”

“Saya tak ingin kejadian seperti ini terjadi lagi. Dan saya mohon kepada semuanya, bersihkan lapangan ini, pilih semua sampah-sampah yang berserakan dipungut semua!”

●●●

19 Agustus 2019

Setelah salat subuh, aku bersiap-siap ke sekolah. Putih Abu telah kukenakan dan kerudung juga. Buku telah kubereskan sejak semalam. Semua  sudah selesai, saatnya berangkat sekolah.

Jalan menyisiri jalan setapak. Pagi yang cerah, tapi tidak sesuai dengan suasana hatiku.

Jalanan tampak sepi, sangat sepi, walaupun aktivitas telah dimulai. Rumah-rumah yang kemarin kulihat terdapat bendera merah putih dan umbul-umbul, kini tak ada. Berubah. Bendera itu tak ada di halaman rumah mereka lagi.

‘Apakah Merah Putih hanya dijadikan pajangan saat tujuh belasan saja?’

‘Perjuangan para pejuang hanya dikenang saat tujuh belas Agustus saja?’

Aku tersenyum kecut melihat itu semua. Kupercepat langkahku menuju sekolah. Tak ingin ketinggalan upacara bendera. Hanya di sekolah aku bisa melihatnya sepuasku.

TamaT

Labuan Bajo, 1 Muharram 1441 H

short storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang